Masuk Daftar
My Getplus

Para Ibu di Lapangan Hijau

Menjadi ibu tak menghalangi seseorang untuk tetap berkarier di sepakbola. Tujuh perempuan tangguh ini contohnya.

Oleh: Randy Wirayudha | 22 Des 2019
Amy Joy Rodriguez, salah satu pemain timnas putri Amerika yang tetap berkarier sembari menunaikan tugasnya sebagai ibu bagi anak-anaknya (Foto: fifa.com/ussoccer.com)

SEPAKBOLA modern tak lagi melulu milik pria. Kaum perempuan pun sudah jempolan memainkan si kulit bundar, termasuk di negeri kita. Tak jarang pula memunculkan ibu-ibu tangguh, para pesepakbola putri yang tetap merumput meski tengah hamil dan setelah melahirkan.

Tengok saja Sydney ‘The Kid’ Rae Leroux, striker klub NWSL (Liga Sepakbola Putri Amerika) Orlando Pride dan timnas putri Amerika Serikat. Pada 2016, ia sudah jadi ibu dari seorang bayi laki-laki hasil pernikahannya dengan pesepakbola MLS (Liga Amerika) Dom Dwyer. Menjadi seorang ibu dari bayi bernama Cassius Cruz Dwyer tak menghentikan karier Leroux di lapangan hijau meski sempat cuti setahun dari klub dan timnas saat hamil dan setelah melahirkan.

Cerita berbeda saat peraih emas Olimpiade 2012 itu hamil anak kedua. Leroux tetap berlatih di tengah usia kehamilan 5,5 bulan pada Maret 2019. “Mulanya saya mengira takkan ikut latihan pramusim saat hamil 5,5 bulan tapi lihatlah sekarang,” kicaunya di akun Twitter-nya, @sydneyleroux, 4 Maret 2019.

Advertising
Advertising

Leroux mengaku menghindari kontak fisik dengan rekan-rekan setimnya di sesi latihan. Baru pada April 2019 Leroux mengajukan cuti. Namun pada 29 September 2019 ia sudah tampil lagi untuk klubnya selepas tiga bulan melahirkan.

Sydney Leroux yang masih berlatih saat tengah hamil lima bulan (Foto: Twitter @sydneyleroux)

Baca juga: Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa

Kisah Leroux hanya seujung kuku dari entah berapa banyak pesepakbola putri di abad ke-21 yang memilih tetap berkarier meski sudah jadi ibu. Tidak hanya yang straight, beberapa pesepakbola lesbian juga tetap bermain meski sudah jadi ibu hasil dari bayi tabung.

Cerita agak berbeda datang dari para pesepakbola putri yang berkarier di era abad ke-20. Sebelum era 1990-an, sepakbola masih tabu buat kaum hawa. Selain jamak dinyinyiri, para pesepakbola putri acap dibikin was-was lewat argumen kesehatan, utamanya kesehatan organ wanita. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pilih gantung sepatu saat sudah menikah dan punya anak.

Berikut ini enam pesepakbola putri abad ke-20 yang tercatat masih punya kemauan kuat bermain saat sudah menjadi ibu, atau bahkan masih sempat berlatih dan tampil saat tengah hamil:

Katrine Søndergaard Pedersen

Pedersen mulai meniti karier pada 1993 bersama tim muda Stensballe IK. Setahun berselang, ia mentas di klub Denmark lainnya, HEI. Pada 1994 itu pula bek kelahiran 13 April 1977 itu masuk dan jadi langganan timnas putri Denmark hingga 2013 dengan rekor 210 laga internasional. Alhasil, ia termasuk pesepakbola putri paling dihormati di Eropa.

Dari hubungan asmaranya dengan sesama pesepakbola, Maiken Pape, Pedersen hamil anak pertama pada November 2013, sekaligus mengumumkan pensiun dari pentas internasional.

Namun ia tetap bermain di klub sekaligus jadi ibu hingga benar-benar gantung sepatu di klub terakhirnya, Stabæk, pada 2015. Ia pun jadi pesepakbola legendaris asal Denmark paling diingat publik selain Peter Schmeichel dan Laudrup bersaudara (Michael dan Brian). “Ia (Pedersen) menjadi inspirasi bagi sepakbola putri,” sebut Presiden FIFA Sepp Blatter saat merayakan 125 tahun DBU (induk sepakbola Denmark), dikutip situs FIFA, 18 Mei 2004.

Brandi Denise Chastain

Meski Piala Dunia putri sudah digelar pada 1991, baru pada 1999 mulai populer dan mengglobal. Pesepakbola putri AS Chastain adalah ikonnya, gegara ia mencetak gol penentu dalam drama adu penalti di final kontra China.

“Sebelum 1999 publik tak banyak tahu pesepakbola putri. Itu tahun yang hebat bagi sepakbola putri hingga menjadi populer dan Chastain jadi pahlawannya. Selebrasinya tertangkap kamera banyak fotografer saat ia berlutut, berteriak dengan memejamkan mata dan meninju ke udara, melepas baju dan hanya mengenakan bra sport. Brandi menjadi ikon instan. Bahkan orang yang tak mengerti sepakbola pun mengenal Brandi –si bintang sepakbola dengan bra sport-nya,” ungkap jurnalis Michelle Medlock Adams dalam biografi Brandi Chastain: No Hands Allowed.

Baca juga: Jalan Panjang Piala Dunia Kaum Hawa

Lahir di San Jose, California, 21 Juli 1968, Chastain sudah mengolah si kulit bundar sejak SMA. Hobi itu dilanjutkannya di kampus, sejak 1986 dia bermain untuk tim California Golden Bears dan Santa Clara Broncos. Pada 1993, ia hijrah ke tim Jepang Shiroki FC Serena. Sejak 1988, ia masuk timnas Amerika dan menjadi andalan hingga 2004. Chastain turut dalam tim juara Piala Dunia Putri pertama tahun 1991 dan turut dalam tim ketika menyabet emas di Olimpiade Atlanta 1996 dan Sydney 2000. Dia baru pensiun di klub California Storm pada 2010.

Pemain serba bisa yang mampu tampil di posisi bek, gelandang, hingga penyerang itu sudah jadi ibu dari seorang putra, Jaden Chastain Smith, sejak 8 Juni 2006. Kendati sempat pensiun, istri dari pelatih Santa Clara Broncos Jerry Smith itu kembali bermain pada 2009 sembari mengurus Jaden dan putra tirinya, Cameron Smith. Chastain baru gantung sepatu lagi setahun setelahnya.

Faye White

Namanya populer baik di klub, Arsenal Ladies, maupun timnas Inggris dalam kurun 1996-2013. Ikut mengantarkan tim “Tiga Singa” hingga ke final Piala Eropa 2009, prestasi kapten tim Inggris selama 11 tahun itu lebih mentereng di klub. Dia sudah memenangi 10 gelar liga, sembilan FA Cup, empat Community Shield, dan satu Piala UEFA.

Dari pernikahannya dengan Keith Mulholland, White hamil pada April 2012 dan memutuskan pensiun dari timnas. Namun ia masih bermain di klub meski sudah melahirkan putra pertamanya, Lukas Mulholland, pada 2013. Sayangnya di tahun yang sama ia terpaksa gantung sepatu.

“Semua orang bilang karena saya sudah punya bayi. Tapi bukan itu alasannya. Saya masih mampu menjalankan tugas (pemain). Kemampuan saya masih ada. Tubuh saya juga masih kuat, namun lutut saya yang bermasalah,” ujarnya, dinukil Daily Mail, 20 Maret 2013.

Martina Voss

Sejak masuk timnas Jerman pada 1984, Voss turut mempersembahkan empat Piala Eropa. Di klub pun eks gelandang KBC Duisburg, TSV Siegen, FCR 2001 dan Duisburg itu termasuk langganan juara. Kini ia masih berkarier di sepakbola sebagai pelatih timnas Jerman.

Mulanya sosok kelahiran Duisburg, 22 Desember 1967 itu dikenal sebagai seorang lesbian dan sempat berpacaran dengan sesama pemain timnas, Inka Grings. Namun pada 1 Oktober 2009 ia menikahi pria bernama Herman Tecklenburg dan tak lama kemudian mengandung anak pertamanya. Pun begitu, ia masih tetap bermain.

“Saya masih bermain sampai hamil empat bulan di bawah pengawasan dokter kandungan. Saya tak pernah takut, namun lawan saya harus tahu bahwa saya sedang hamil. Dua minggu setelah melahirkan, saya sudah mulai latihan lagi dan bermain setelah lima pekan melahirkan. Tapi memang harus diakui sulit bagi saya untuk sekaligus menyusui karena sulitnya mengatur jadwal laktasi dan latihan,” aku Voss, dikutip jurnal FIFA terbitan 2007 bertajuk “Health and Fitness for the Female Football Player”.

Christie Patricia Pearce

Sebelum bercerai dengan suaminya, Chris Rampone, pada 2017, ia dikenal dengan nama Christie Rampone. Bek kelahiran Fort Lauderdale, Florida pada 24 Juni 1975 itu memulai karier sepakbolanya pada 1993 di tim kampus Monmouth Hawks. Empat tahun berselang dia masuk Central Jersey Splash yang menandai kiprahnya di kompetisi profesional. Tahun itu juga Christie masuk timnas Amerika.

Namanya sempat viral pada Agustus 2009. Pasalnya, menyitat situs FIFA, 27 Agustus 2009, Christie, pemain merangkap pelatih caretaker tim Sky Blue FC, masih ikut tampil di babak play-off WPS (Women’s Professional Soccer) Champioship walau tengah hamil tiga bulan. Hal itu turut jadi faktor ia dianugerahi WPS Sportswoman of the Year.

Ia cuti saat kehamilannya memasuki usia empat bulan hingga melahirkan putrinya, Reece. Pada 2010, kembali tetap merumput bersama timnas Amerika hingga 2015 dan bersama klubnya hingga pensiun pada 2017. Ia mencatat rekor dua kali juara Piala Dunia Wanita (1999 dan 2015).

Papat Yunisal

Hampir segenap hidupnya dihabiskan di sepakbola. Lahir di Subang, 11 Juni 1963, Papat Yunisal mulai berkarier di Putri Priangan sejak 1979 dan masuk timnas PSSI Putri pada 1981. Prestasi tertinggi striker mungil itu, mengantarkan timnas putri jadi finalis ASEAN Women’s Championship 1982.

Empat tahun berselang ia dipersunting pria yang enggan ia sebutkan namanya. Tak lama kemudian ia pun mengandung dan sempat vakum dari rumput hijau. Papat sudah comeback berlatih bersama Putri Priangan tak lama setelah melahirkan anak pertamanya.

Baca juga: Totalitas Srikandi Lapangan Hijau

“Saya baru 40 hari lahiran sudah main, saking antusiasnya ingin main lagi. Saya ke dokter untuk cek kesehatan saya, cek nadi saya semua. Saya juga tanya, masih layak (secara medis) enggak saya bermain bola?” kata Papat kepada Historia.

“Terus sama dokternya dibolehin. Syaratnya harus pake gurita yang bener-bener nge-press. Setelah itu main saya. Enggak ada rasa-rasa sakit apa gitu,” lanjut perempuan yang pensiun dari timnas pada 1987 dan dari klubnya tiga tahun berselang itu. Kini sebagai ibu dan juga nenek dari lima cucu, ia masih mendarmabaktikan dirinya sebagai Ketua Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI).

Baca juga: Tendang Bola Bisa Hilang Keperawanan?

TAG

wanita perempuan sepakbola-putri sepakbola hari-ibu

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung