No Korompis hadir dalam revolusi kemerdekaan di Sulawesi Utara. Ia membawa pesan kepada orang sipil pro-Republik Indonesia di Sulawesi Utara dari para serdadu KNIL di Manado yang ingin berontak kepada otoritas Belanda. Pemberontakan meletus tepat pada 14 Februari 1946.
No Korompis tak hanya pembawa pesan, ia juga seorang kombatan. Ketika pemberontakan serdadu KNIL di Manado gagal, ia terus melawan bersama laskar Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) dan Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Selama beberapa hari, ia dan kawan-kawannya mempertahankan Tondano. Mereka juga sempat berusaha merebut senjata di tangsi polisi di Tondano meski akhirnya tertangkap.
Serdadu KNIL sekali lagi berontak, juga dibantu orang sipil, pada 3 Mei 1950. Setelah pemberontakan muncullah Batalyon 3 Mei bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang lalu menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
No Korompis bersama Sam Mangindaan bergabung ke dalam APRIS. Sebagai pemimpin laskar, No Korompis dapat pangkat kapten. Ini tidak mengherankan. Komandan Batalyon 3 Mei dan wakilnya, Alex Mengko dan Fred Bolang, juga dapat pangkat mayor dan kapten. Sebelumnya, keduanya sersan KNIL yang memimpin pemberontakan 3 Mei.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Penyesuaian pangkat lalu terjadi. Ada perwira dari daerah setempat, tapi berjuang di Jawa pada 1945–1949, yang mempermasalahkan pangkat No Korompis, Fred Bolang, dan Alex Mengko.
“No Korompis sudah berpangkat kapten diturunkan sampai sersan. Begitu juga teman-teman mereka,” kata Ventje H.N. Sumual dalam Memoar. Kapten ke sersan jelas penurunan yang jauh. No Korompis bukan satu-satunya yang kecewa dengan keputusan itu. Mantan KNIL, Jan Timbuleng juga kecewa.
M.S. Kamah dalam Catatan Seorang Wartawan menyebut Jan Timbuleng berasal dari Tomohon dan pernah bergabung dengan Batalyon 3 Mei melawan Republik Maluku Selatan di Maluku. Ada yang menyebut Jan Timbuleng merasa terkatung-katung setelah pulang dari Maluku.
“Di masa pemerintahan Kepala Daerah Ticoulu (di Minahasa) beberapa pemuda bekas PPI/eks TRISU yang tidak tertampung dalam APRIS membentuk pasukan sendiri dengan nama Pasukan Pembela Keadilan (PPK) yang secara populer dikenal sebagai Barisan Sakit Hati,” kata H.R. Ticoalu dalam biografinya, Profil Seorang Abdi Masyarakat.
Dengan membentuk PPK, No Korompis di Sulawesi Utara mirip Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan. Mereka bekas pejuang yang jadi gerombolan karena kebanyakkan dari mereka tidak diterima masuk ARIS.
Baca juga: Ibnu Hadjar, Pejuang yang Kecewa
No Korompis, Sam Mangindaan, dan Jan Timbuleng memimpin gerakan orang-orang kecewa itu di pedalaman Sulawesi Utara. Di hutan itu, tidak hanya vegetasinya lebat, tapi juga menyediakan fauna yang cukup, sehingga mereka dapat bertahan hidup lama dalam perang. Mereka tidak masalah menyantap ular, kelelawar, dan tikus hutan.
Barbara Sillars Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati menyebut anggota PPK paling beberapa ribu, persenjataannya sedikit, dan sesekali mereka melakukan serangan berupa gangguan kecil.
PPK pernah terlibat kontak senjata dengan TNI dan paramiliter Brigade Mobil (Brimob). Surat kabar Indische Courant voor Nederland, 25 September 1954, menyebut 16 anggota PPK tertangkap di Tumpaan, Amurangdi tahun 1954. Di antaranya terluka kena tembak ketika kabur.
PPK mulanya masih bisa diajak bernegosiasi. H.R. Ticoalu pernah mencoba bicara dengan mereka. Uta Sanger dan Mat Pulukadang, pemuda Kampung Jawa Tondano, rela jadi penengah. Usaha itu tidak melibatkan Mayor H.V. Worang, komandan Resimen Infanteri ke-24 di Sulawesi Utara. Ketika No Korompis hendak masuk kota, pasukan TNI melakukan operasi militer. No Korompis pun tak jadi menyerah.
Baca juga: Pamflet Gelap Menyerang HV Worang di Malam Natal
PPK pernah bentrok dengan pasukan Worang. Koran Indische Courant, 10 Setember 1955, menyebut pada 31 Agustus 1955 PPK menyergap rombongan Worang di sekitar desa Maumbi. Mayor Worang terluka dan harus dirawat.
Setelah Sam Mangindaan meninggal, pimpinan PPK dipegang No Korompis dan Jan Timbuleng. Namun, No Korompis akhirnya menyerahkan diri. Koran De Nieuwsgier, 21 Desember 1956 memberitakan, No Korompis ditahan di Makassar dan diadili. Jan Timbuleng pun jadi pemimpin PPK. Pengaruhnya di PPK lebih besar daripada No Korompis.
“Pelor dikatakan cuma melambung dari dadanya karena kekuatan magisnya. Banyak yang percaya kekebalan Timbuleng begitu kuat selama ia berdiri di atas tanah, ia tidak mempan peluru apapun,” tulis Harvey.
PPK kemudian bergabung dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara pada 1957. Menurut Phill M. Sulu dalam Permesta dalam Romantika, Kemelut, & Misteri, bergabungnya PPK Jan Timbuleng dengan Permesta tak lepas dari ikatan keluarga antara Jan Timbuleng dengan salah satu pentolan Permesta, Laurens Frits Saerang.
Jan Timbuleng menikah dengan Pauline Saerang, adik Laurens Frits Saerang. Pasukan PPK Jan Timbuleng lalu menjadi Brigade 999. Mereka pun menjadi tidak terlihat sebagai sekadar pengacau keamanan belaka.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Mulanya bekas PPK Jan Timbuleng menguntungkan bagai Permesta yang dipimpin J.F. Warouw dan Ventje Sumual. Pada April 1957, Brigade 999 terlibat dalam penyerbuan ke Sulawesi Tengah di bawah komando Mayor Daniel Julius Somba. Bulan madu PPK Jan Timbuleng dalam Permesta memburuk setelah 1959. Mereka hanya dianggap sebagai tukang adang dan tukang rampas oleh orang-orang Permesta.
“Pasukannya merampok rakyat di mana-mana, sehingga semakin menumbuhkan antipati masyarakat umum terhadap PRRI-Permesta secara keseluruhan,” kata Sumual. Puncaknya terjadi pada Oktober 1960 ketika Warouw diculik anak buah Jan Timbuleng. Ketika Jan Timbuleng dipanggil Sumual, ia berusaha ditangkap orang-orang suruhan Sumual.
Jan Timbuleng berkeras tak mau ditahan dan berusaha kabur. Anak buah Sumual memberondongnya hingga roboh. Anak buahnya, Hermanus Jus Parengkuan berhasil kabur hingga akhirnya ia menembak Warouw.
Sumual beruntung, karena bekas bawahan Jan Timbuleng di PPK dan Brigade 999, seperti Gerson Sangekang alias Goan dan Otje Lisangan, tunduk kepada Sumual. Setelah permasalahan Permesta selesai pada 1962, masalah PPK pun juga berakhir.*