Di luar kampungnya, Haderi tak dikenal sebagai Haderi atau nama aliasnya, Angli. Pelajaran sejarah menyebut namanya sebagai Ibnu Hadjar yang memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Kalimantan Selatan.
Haderi lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, pada 19 April 1920. Buku Sedjarah TNI-Angkatan Darat, 1945–1965 menyebut Haderi berwatak keras. Sedari bocah suka berkelahi dan sangat ingin menjadi kepala jagoan.
“Dia tidak berpendidikan tinggi. Dia masih bersemangat komunal. Setahu aku buta huruf [Latin]. [Hanya] berpendidikan agama standar,” kata sejarawan Muhammad Iqbal kepada Historia.ID.
Ketika revolusi Indonesia meletus pada 1945–1949, Haderi berusia sekitar 20 tahun. Revolusi memberi tempat kepada Haderi yang bermental jagoan.
Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Haderi memakai nama Ibnu Hadjar ketika ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan Indonesia melawan tentara Belanda. Adalah kebiasaan sebagian orang Indonesia di masa lalu, ketika mereka dewasa memakai nama atau alias lain selain namanya. Misalnya, Kahar Muzakkar punya nama kecil La Domeng.
Baca juga: Beberapa Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar
Pada masa revolusi, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Pangkalan IV atau ALRI Divisi IV di Tuban, Jawa Timur, mengirim misi konsolidasi mendukung Republik Indonesia ke Kalimantan. ALRI mengirim perwira untuk menjalin kontak dengan pendukung Republik Indonesia di daerah yang diduduki tentara Belanda.
Meski berada di Jawa Timur, ALRI Divisi IV dipimpin oleh Letnan Kolonel Djakarija bin Madun, seorang bekas pelaut dari Kalimantan. Para perwiranya juga banyak yang berasal dari Kalimantan. Bahkan, Ahmad Zaidi adalah orang Serawak (kini bagian dari Malaysia).
Surat dari Markas Pertahanan ALRI Divisi IV Bagian SOI yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia menyebut perwira ALRI Divisi IV, yakni Letnan Zoehri dan Letnan M. Moersjid lalu merekrut Hassan Basry.
Hassan Basry lama belajar di Jawa. Buku Hassan Basry, Bapak G[e]rilya Kalimantan, Pejuang Kemerdekaan menyebut pemuda kelahiran Padang Batung, Kandangan, 17 Juni 1923 itu belajar di pondok pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sejak 1939. Awalnya Hassan Basry adalah pemimpin pasukan Banteng Indonesia. Dalam komando ALRI Divisi IV, dia kemudian menjadi komandan Batalyon Rahasia ALRI IV yang berdiri pada 18 November 1946 di Tabat, Haruyan. Ibnu Hajar lalu terserap dalam ALRI IV tersebut.
Baca juga: Batalyon Jawa yang Merepotkan Tuan Tanah di Toraja
Setelah ALRI IV di Tuban bubar, perjuangan di Kalimantan tidak surut, meski berdasarkan Persetujuan Linggarjati, Kalimantan berada di luar wilayah Republik Indonesia. Hassan Basry dan Ibnu Hadjar terus berjuang. Dia tak kembali pada profesi lamanya sebagai petani dan pencari madu yang andal.
Ibnu Hadjar tak sekadar jadi serdadu bawahan. Sebagai jagoan, dia punya pasukan sendiri, meski jumlahnya kecil. Medan Kalimantan memang besar, tapi jumlah penduduknya tidak banyak. Kelompok santri menjadi kombatan potensial bagi ALRI Divisi IV. Hassan Basry sendiri berasal dari kalangan santri.
Pada masa perjuangan itu, reputasi Ibnu Hadjar sebagai jagoan sejak muda membuatnya punya kans menjadi komandan. Van Dijk menyebut dia adalah perwira ALRI Divisi IV dengan pangkat letnan dua dan memimpin satuan-satuan gerilya di sekitar Kandangan. Buku Tandjungpura Berdjuang Sedjarah Kodam XII/Tandjungpura, Kalimantan Barat menyebut Ibnu Hadjar adalah salah satu komandan pasukan penggempur dalam komando yang dipimpin oleh Hassan Basry.
Satuan-satuan tempur itu jumlahnya kecil. Area gerilyanya menembus dearah Kalimantan Tengah. Lawan mereka adalah tentara KNIL yang jumlahnya tidak begitu banyak. Namun, tentara KNIL tidak memprioritaskan memburu gerilyawan macam Ibnu Hadjar sehingga perlawanan gerilya di Kalimantan bisa terus hidup.
Baca juga: Serdadu KNIL Jawa di Kalimantan Utara
Hassan Basry dan para pejuang Kalimantan Selatan patut dikenang berkat Proklamasi 17 Mei 1949 yang menyatakan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia. Kala itu Kalimantan berstatus daerah pendudukan Belanda, namun pendukung Republik Indonesia masih terus hidup dalam gerakan bawah tanah.
Otoritas Belanda di Kalimantan pun hanya menganggap Hassan Basry dan kawan-kawannya sebagai pemberontak belaka. Otoritas Belanda pun tak perlu terlalu lama repot mengurusi Hassan Basry dan anak buahnya. Sebab, sejak 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan tentara Belanda harus angkat kaki dari Indonesia.
Pasca pengakuan kedaulatan merupakan masa yang baru bagi Letnan Dua Ibnu Hadjar dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Setelah ALRI Divisi IV bubar, kombatan macam Hassan Basry dan Ibnu Hadjar menjadi bagian dari Angkatan Darat. Ibnu Hadjar lalu dikirim ke Kalimantan Barat. Buku Tandjungpura Berdjuang Sedjarah Kodam XII/Tandjungpura, Kalimantan Barat menyebut Ibnu Hadjar tiba di Pontianak dengan kapal Kaimana pada 16 Januari 1950 dengan memimpin sebuah batalyon dari Banjarmasin atas perintah Panglima Tentara dan Teritorium (TT) VI yang berpusat di Banjarmasin.
Panglima TT VI kala itu adalah Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala. Kalimantan Barat sebelum 1950 sempat dikuasai elite yang dekat dengan Belanda. Kehadiran APRIS di Kalimantan Barat sempat ditolak oleh elite lokal di Pontianak. Salah satunya Sultan Hamid II yang mewakili dewan-dewan federal, Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO) dalam Konferensi Meja Bundar dan cenderung dekat dengan Belanda.
Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Suka tidak suka para elite itu harus menerima kehadiran APRIS di Kalimantan Barat. Setelah 1950, petinggi militer Indonesia yang baru saja berkedudukan di Jakarta memutasi pasukan-pasukan dari Jawa ke Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya. Termasuk batalyon yang dianggap kiri. Kehadiran tentara dari Jawa itu akhirnya menambah masalah di daerah, termasuk di Kalimantan Selatan.
Ibnu Hadjar lalu kembali ke Kalimantan Selatan. Gazali Usman dalam “Pengaruh Persetujuan Linggarjati Terhadap Perjuangan ALRI IV Pertahanan Kalimantan”, termuat dalam Seminar Sejarah Nasional III Seksi Sejarah Mutakhir menyebut setelah kembali dari Pontianak, Ibnu Hadjar merasa mendapat perlakuan yang menyakitkan hati. Ada perbedaan fasilitas dengan pasukan dari Jawa.
Parahnya lagi Hassan Basry tak diangkat jadi panglima atau sekadar pembantu panglima di TT VI dan Gusti Muhammad Noor juga digantikan Dr. Murdjani sebagai Gubernur Kalimantan. Tak heran jika kemudian muncul ungkapan satire di kalangan rakyat Kalimantan Selatan: “setelah dijajah Belanda, kini Kalimantan dijajah Jawa”.
Baca juga: Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Ibnu Hadjar melihat banyak bekas pejuang yang tidak bisa diterima ke dalam APRIS, yang setelah RIS bubar pada 17 Agustus 1950, menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Buta huruf dan fisik yang tidak sehat menjadi alasan penolakan, kesetiaan atas perjuangan semasa revolusi tidak diperhitungkan.
Sementara itu, bekas KNIL yang dulunya musuh para pejuang, malah dengan mudah masuk ke dalam TNI. Bahkan mendapat kenaikan pangkat beberapa tingkat lebih tinggi ketika masuk TNI, seperti serdadu jadi kopral atau sersan. Alasan pokoknya dalam rangka penyesuaian gaji.
Di Lapangan Merdeka (kini jadi Masjid Sabilal Mutadin) terjadi acara serah terima bekas KNIL ke dalam APRIS/TNI. Koran Nieuwe Courant, 2 Maret 1950, memberitakan acara penerimaan mantan KNIL yang jumlahnya satu kompi (kira-kira 70 hingga 100-an orang) di Lapangan Merdeka.
Bekas Sersan Mayor KNIL J.P.M. Sualang sebagai komandan kompi dapat pangkat Letnan Satu. Sersan KNIL Slamet dan Sersan KNIL Mohammad bin Sabu naik menjadi Letnan Dua. Kopral Alitaroeno menjadi Pembantu Letnan. Alitaroeno, Slamet, dan Mohammad bin Sabu menjadi komandan peleton dalam kompi Sualang.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Bekas KNIL itu bahkan dengan seragam lamanya tampak lebih gagah daripada bekas pejuang. Pemandangan itu setidaknya terlihat oleh seorang bocah sekolah dasar (kala itu disebut Sekolah Rakjat) dalam upacara peresmian TT VI/Kalimantan pada 20 Juli 1950 di halaman kantor Gubernur Kalimantan di Banjarmasin. Waktu itu, anak-anak sekolah seperti Zaini Azhar Maulani, yang berusia sekitar 11 tahun, diikutkan dalam upacara militer itu.
“Pasukan eks KNIL yang berseragam bagus bersenjata lengkap berdiri rapi di posisi tengah. Di kiri kanannya, di bagian pinggir, berbaris pasukan eks gerilya dengan pakaian seadanya dan dengan senjata beraneka ragam,” kata Zaini Azhar Maulani dalam otobiografinya, Melaksanakan Kewajiban Kepada Tuhan dan Tanah Air. Belakangan Zaini Azhar Maulani menjadi Panglima KODAM Tanjungpura yang merupakan penerus dari TT VI/Kalimantan.
“Ketika kemudian banyak sekali [dari mereka] nggak masuk [TNI],” kata Iqbal. Ibnu Hadjar termasuk bekas pejuang yang tergolong baik nasibnya. Dia melihat kesedihan orang-orang yang dulu berjuang seperti dirinya. Dia bukan priyayi yang sedari kecil diajarkan pentingnya karier. Semangat komunalnya hidup ketika dirinya berada di tentara. Doktrin militer kala itu belum mampu menghancurkan semangat komunal di kalangan tentara. “Dia mendengarkan suara-suara anak buahnya yang malang itu,” kata Iqbal.
Baca juga: Ketika Eks KNIL Menyerang Markas APRIS
Taufik Abdullah dalam Sejarah Ummat Islam Indonesia menyebut Ibnu Hadjar sebenarnya tidak termasuk golongan yang didemobilisasi atau tidak diterima masuk TNI/APRIS yang hendak dikembalikan ke masyarakat alias dikembalikan jadi orang sipil. Ibnu Hadjar adalah orang yang bersimpati kepada mereka yang ditolak masuk TNI.
Suara jeritan hati anak buahnya itu membuat hati Ibnu Hadjar bergelora dan mengulangi sejarahnya masuk hutan. Jika dulu lawan Belanda, kini lawan otoritas pemerintah pusat Republik Indonesia.
“Cara mereka melawan masuk hutan dan membuat gangguan. Lawan mereka TNI yang di antaranya bekas KNIL,” kata Iqbal.
Jika Ibnu Hadjar bersikap seperti kebanyakan anak priyayi atau pegawai negeri, yang tidak perlu pusing dengan nasib orang lain dan hanya memikirkan keselamatan kariernya, tentu dia nantinya bisa pensiun sebagai mayor TNI di zaman Orde Baru.*