Suatu hari pada 1960-an, Kolonel Suhario Padmodiwirio mengadakan inspeksi ke daerah yang kini termasuk Provinsi Kalimantan Utara. Kala itu, sang kolonel yang dikenal sebagai Hario Kecik, menjabat panglima Komando Daerah Militer (Kodam) yang bertanggung jawab atas daerah Kalimantan Utara dan Timur. Kodam itu berpusat di Balikpapan. Ketika lelah melakukan inspeksi, dia diajak makan.
“Uwis jam piro, Mas?” kata seorang tua asli daerah itu tapi bukan orang Jawa. Artinya “sudah jam berapa, Mas?” Hario Kecik merasa heran.
“Eh, Opo Pake ngerti coro Jowo?” tanya Hario Kecik. Artinya “Eh, apa Bapak mengerti bahasa Jawa?” Orang tua itu hanya meringis saja.
“Makanan sudah ada, mari makan, Pak,” kata pria tua itu. Hario Kecik semakin bingung.
Baca juga: Bangsawan Jawa Memilih KNIL
Kapten Tosin menghampiri Hario Kecik dan mengatakan bahwa makanan sudah siap. Hario Kecik lalu bertanya pada Tosin soal percakapan yang membingungkan antara dia dan bapak tua tadi. Tosin pun segera bertanya ke bapak tua itu. Jawabannya membuat Tosin tertawa.
“Ternyata pada zaman Belanda orang tua itu sering dipaksa mengantar pasukan KNIL dalam patroli. Setiap kali jika prajurit bertanya kepada juru masak, ‘uwis jam piro, Mas?’ sebagai desakan halus atau pernyataan bahwa mereka sudah lapar, pasti tidak lama lagi makanan akan dihidangkan,” cerita Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit. KNIL adalah Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang merupakan angkatan perang kolonial.
Akhirnya, pertanyaan “uwis jam piro, Mas?” yang dijawab oleh juru masak dengan segera menghidangkan makanan, membuat bapak tua itu berkesimpulan bahwa arti “uwis jam piro, Mas?” adalah “mari kita makan”.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
Daerah Kalimantan Utara pada era Hindia Belanda tergolong damai sehingga sedikit pasukan KNIL yang ditempatkan di sana. Mereka hanya melakukan patroli ke dalam hutan yang masih perawan. Karena ketenangannya, serdadu KNIL Jawa cocok ditempatkan di daerah itu.
Jauh sebelum Hario Kecik bertugas di Kalimantan Utara, dokter Soemarno Sastroatmodjo juga pernah bertugas sebagai dokter pemerintah kolonial di Tanjung Selor, Kalimantan Utara. Statusnya sipil, tapi pernah pula Soemarno diberi tugas layaknya perwira kesehatan militer. Dalam memoarnya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya, Soemarno mencatat bagaimana kehidupan serdadu KNIL di sana.
Di daerah pedalaman bernama Long Nawang, serdadu KNIL dilarang membawa keluarganya. Perwira KNIL yang memimpin pasukan pun dipilih yang masih muda dan belum berkeluarga. Sersan dan kopral atau serdadu rendahan bertugas setengah sampai satu tahun. Sementara perwira bisa dua tahun bertugas di sana.
“Tapi, siapa yang bisa melarang cinta asmara dan perkawinan di daerah terpencil itu. Pencatatan perkawinan di sana memang tidak ada, tapi perkawinan secara adat tidak dilarang,” tulis Soemarno.
Baca juga: Sersan Jawa dalam Peristiwa Merah Putih di Manado
Anggota KNIL ada yang menikahi perempuan suku Dayak Kenyah dengan hanya upacara adat. Secara psikologis tampak menyehatkan para tentara kolonial itu. Namun, setelah masa tugas berakhir, mereka jarang sekali membawa istrinya ke Tanjung Selor.
Soemarno melihat hanya serdadu rendahan yang boleh membawa istrinya dari suku Dayak Kenyah ke Tanjung Selor. Itu pun setelah mendapat izin khusus dari atasannya. Mereka yang mendapat izin dari atasan biasanya tidak punya istri di Tanjung Selor.
“Yang sebelumnya sudah punya istri di Tanjung Selor, (jika akan kembali ke Tajung Selor) harus menceraikan istri Kenyah yang dikawin di Long Nawang,” kata Soemarno yang tidak habis pikir dengan pola hidup serdadu semacam itu.*