Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, juga membahas nasib anggota Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), yang akan bubar pada pertengahan 1950 setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Anggota KNIL diberi kesempatan masuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tawaran itu disambut gembira bahkan oleh orang-orang Indo. Namun, ada pula yang menolaknya.
Anggota KNIL yang menolak tawaran itu ikut ke Negeri Belanda atau ditugaskan ke daerah koloni Belanda lain. Di antara mereka kemudian ada yang terlibat kekacauan pada paruh pertama tahun 1950, seperti Peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung, Peristiwa Andi Azis di Makassar, Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon dan sekitarnya, kekacauan kecil di Balikpapan yang melibatkan Batalion Andjing NICA, dan penyerangan Bioskop Rex di Malang.
Pelaku kerusuhan-kerusuhan itu adalah anggota KNIL dari Ambon. Golongan yang dikecewakan di awal revolusi kemerdekaan Indonesia.
“Di masa bersiap, vakum kekuasaan pada akhir tahun 1945, ada ketidakaturan besar yang terutama digunakan oleh kelompok anak muda bersenjata untuk merampok dan membunuh; yang mati tidak hanya ada di pihak orang-orang Belanda yang baru saja dibebaskan dari kamp –sekitar tiga ribu lima ratus lebih–melainkan juga di pihak orang-orang Ambon, Cina kaya, dan yang disebut Indo,” tulis Mischa de Vreede dalam Selamat Merdeka: Kemerdekaan yang Direstui.
Baca juga: Kenapa Kata "Bersiap" Memancing Amarah Besar?
Sebenarnya banyak juga orang Ambon yang membela Republik Indonesia, meski ada orang Ambon yang menjadi korban masa bersiap. Namun, orang Ambon yang tidak paham politik akhirnya tidak mendukung Republik Indonesia dan tetap menjadi serdadu KNIL. Karena masa bersiap sulit diselesaikan dengan baik oleh penegak hukum Republik Indonesia, maka dendam sebagian anggota KNIL terus terpelihara pada 1950. Termasuk dalam peristiwa di Hotel Rex di Malang.
“Saya pun sangat sesalkan kejadian ini,” kata Kopral Korro, anggota KNIL asal Minahasa dalam Arsip Kabinet Perdana Menteri Republik Indonesia Yogyakarta Nomor 130: Seri Laporan di Jawatan Kepolisian Negara Bagian PAM Yogyakarta, mengenai insiden antara KNIL dan TNI. Korro melihat tentara KNIL Ambon yang terlibat dalam insiden itu menolak masuk TNI.
Bagaimanapun TNI bekas musuh mantan KNIL era 1945–1949. Meski akan berada dalam kesatuan yang sama, perasaan saling tidak suka di antara serdadu bawahan sulit hilang. Dalam pikiran banyak mantan KNIL, masuk TNI hanya akan membuat mereka sengsara.
“Mereka itu berpendapat, bahwa mereka itu tokh tetap akan dipandang sebagai pengkhianat sampai kepada turun-temurunnya. Di kemudian hari mereka dengan sendirinya akan dibuat terdesak sehingga kehidupan mereka sehari-hari akan sulit. Hal tersebut di atas ini istimewa (khususnya) menjadi soalnya bangsa Ambon oleh karena kehidupan di Ambon sendiri sangat sulit,” kata Korro. Ketika itu, RMS meletus di Ambon.
Baca juga: Aksi Brutal KNIL di Enrekang
Para bekas perwira KNIL yang masuk TNI pada 1950 di antaranya merasa tidak memiliki karier yang baik. Sementara itu, bekas serdadu bawahan biasanya segera menjadi komandan regu atau instruktur di kesatuan mereka.
Mengenai ketidaksukaan anggota KNIL Ambon yang berontak kepada Republik, Korro melihat adanya hasutan dari sebagian perwira Belanda. Selain masalah sejarah permusuhan, yang tak kalah penting dari keenganan anggota KNIL masuk TNI adalah besaran gaji yang akan mereka terima ketika bergabung di TNI.
“Apakah mereka masih mau hidup dengan 4 gulden seminggu, sedangkan mereka (yang masih di KNIL) sekarang mendapat 140 gulden sebulan,” tanya Korro.
Kurangnya penghasilan itu diakali dengan menaikan pangkat anggota KNIL yang masuk TNI hingga dua tingkat. Kebijakan APRIS/TNI itu membuat sakit hati bekas pejuang Republik yang tidak diterima masuk TNI. Mereka membayangkan bekas musuh Republik yang dulu mereka lawan tidak hanya diterima dengan mudah masuk TNI juga naik pangkat hingga dua tingkat. Tak heran jika muncul pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Baca juga: Ketika Eks KNIL Menyerang Markas APRIS
Otto Bojoh adalah mantan KNIL asal Minahasa yang masuk TNI pada 1950. Dari pangkat ajudan KNIL, dia langsung letnan satu TNI. Penghasilan bulanannya berkurang meski pangkatnya naik.
“Pangkat saya naik dua tingkat, tapi gaji saya harus turun dua tingkat,” kata Otto Bojoh, dalam Indonesian Journals tahun 2004, yang pensiun sebagai letnan kolonel TNI.
Di antara bekas perwira KNIL yang masuk TNI pada 1950, di antaranya ada yang menjadi jenderal pada pertengahan 1950-an, seperti Jozef Muskita di Angkatan Darat dan J.J. Sahulata di Korps Marinir.
Baca juga: Kesaksian Putri Tentara KNIL
Soal kenaikan pangkat itu, Kapten A.E.J. Schlosmacher, mantan perwira Andjing NICA, dalam Het Andjing NICA (KNIL) in Nederlands-Indie 1945–1950 mencatat ada bekas sersan mayor intelijen keamanan di Magelang yang pada 1950 menjadi komandan Batalion TNI di Balikpapan. Batalion bekas KNIL itu belakangan ditugasi melawan bekas pejuang Republik yang memberontak bersama Ibnu Hajar di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan.
Di era 1950-an, pemerintah Indonesia cukup berbaik hati kepada para pemberontak. Ada bekas KNIL atau pemberontak yang ditampung ke dalam TNI. Termasuk bekas anak buah Kahar Muzakkar atau kelompok Thomas Nussy cs. yang terlibat RMS.
Sementara itu, mereka yang enggan masuk TNI tidak bernasib lebih baik. Begitu sampai ke Belanda, mereka tidak lagi menjadi tentara dan terpaksa menjadi orang sipil.*