Pada malam Natal, 24 Desember 1967, masyarakat kota Manado dikejutkan oleh beredarnya pamflet gelap. Pamflet tersebut berupa stensilan berisi fitnah terhadap Gubernur Sulawesi Utara Brigjen TNI H.V. Worang. Penyebaran pamflet gelap kembali terjadi pada malam tahun baru, 31 Desember 1967. Kali ini sasarannya Walikota Manado, Letkol Rauf Mo’o.
Buletin Djambatan Kawanua, 1 Februari 1968, melaporkan pamflet tersebut disebarkan dengan harapan ada reaksi dari masyarakat. Ternyata, masyarakat menganggapnya remeh saja dan tidak menghiraukannya
“Hal itu terutama disebabkan oleh keyakinan masyarakat bahwa bukan masanya lagi rakyat Sulawesi Utara digoncangkan oleh isu-isu negatif yang hanya menghambat terlaksananya program-program rehabilitasi dan pembangunan di Sulawesi Utara,” tulis buletin tersebut.
Sebelumnya, upaya menjatuhkan Gubernur Worang dilakukan melalui aksi demostransi pada 2 dan 3 September 1967.
Menurut F.E.W. Parengkuan, dkk. dalam Sejarah Kota Manado 1945–1979, Worang mengganggap kedua demonstrasi di kota Manado itu terjadi karena adanya pro dan kontra terhadap langkah-langkah kebijaksanaannya di Sulawesi Utara.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Massa aksi biasanya dimobilisasi oleh organisasi masyarakat. Dua ormas yang giat melancarkan aksi adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Politik nasional, terutama berkaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, mempengaruhi keadaan di Manado.
Selain ormas, partai-partai politik juga kerap melancarkan aksi. Isu bersama mereka adalah ganyang PKI. “Aktivitas politik yang di masa sebelumnya bertema mengganyang PKI yang dipelopori oleh KAMI/KAPPI, sekarang beralih ke tangan partai-partai politik,” jelas Parengkuan, dkk.
Lebih dari Sekadar Pamflet
Hein Victor Worang lahir di Tontalete, Tonsea, Sulawesi Utara pada 12 Maret 1919. Kariernya cukup baik di Angkatan Darat. Pada masa perang Perjuangan Semesta (Permesta), dia datang dengan batalion yang menggunakan namanya: Batalion Worang. Seorang perwira yang datang menghadapi saudaranya sendiri orang Minahasa. Dia berperan penting dalam operasi-operasi penumpasan pemberontakan di beberapa daerah.
Worang mulai menjabat gubernur Sulawesi Utara pada Maret 1967, menggantikan Abdullah Amu. Periode pertama berakhir tahun 1972. Dari Maret 1972 hingga Maret 1973, ia menjadi penjabat gubernur. Kemudian sejak Maret 1973, ia memperoleh surat keputusan presiden sebagai gubernur definitif sampai Maret 1977. Periode terakhirnya berlangsung sampai tahun 1978.
Pamflet gelap berisi fitnah terhadap Gubernur Worang di malam Natal itu adalah puncak gunung es dari kekuatan yang ingin menjatuhkannya. Gubernur yang sedang giat-giatnya melakukan rekonstruksi pembangunan daerah yang hancur karena perang saudara Permesta tahun 1957 sampai 1962, mesti berhadapan dengan kekuatan politik, militer, dan pengusaha yang ingin menguasai kekayaan sumber daya alam, terutama kopra.
Baca juga: Arnold Mononutu, Putra Minahasa jadi Pahlawan Nasional
Max Karundeng, wartawan Sinar Harapan dalam laporannya pada 19 Agustus 1968 yang terarsip dalam Joint Publications Research Service (JPRS), No. 194, 17 Oktober 1968, menyebutkan kelompok-kelompok ini mewakili kepentingan yang berbeda, tetapi mereka untuk sesaat bekerja sama dalam aliansi untuk menjatuhkan Gubernur Worang. Sejak nama Worang disebut-sebut akan menduduki jabatan gubernur tahun 1966 telah ada kelompok yang menentangnya. Mereka adalah beberapa perwira menengah Kodam Merdeka yang berkepentingan dengan bisnis kopra. Bagi mereka, Worang adalah hambatan.
“Mereka melihat bahwa dia tidak akan membiarkan Sulawesi Utara diperlakukan sebagai barang rampasan perang atau sapi perah,” tulis Karundeng.
Kelompok kedua yang berusaha menjatuhkan Worang adalah saingannya ketika pemilihan gubernur tahun 1966. Kelompok ini telah berusaha membeli suara, mempengaruhi beberapa anggota legislatif, organisasi politik, dan massa ormas, untuk mencapai tujuan mereka.
Ada pula kelompok barisan sakit hati karena tokoh yang mereka dukung tidak mendapat jatah sebagai wakil gubernur. Oposan lain adalah para pengusaha kopra yang dikecam oleh Worang karena dianggap tidak benar dalam berbisnis.
Baca juga: Aksi Marinir di Minahasa
Kopra merupakan komoditas andalan Sulawesi Utara sejak awal abad ke-20. Laporan Badan Perencanaan Daerah dalam Sulawesi Utara di Arena Pembangunan menyebutkan, produksi kopra dari tahun 1967 sampai tahun 1969 terus mengalami peningkatan. Tahun 1967 lahan perkebunan kelapa seluas 182.268 hektare dengan hasil 126.358 ton. Tahun 1969 meningkat menjadi 166.000 ton dari 188.885 hektare lahan.
Kopra dikirim ke luar daerah dan luar negeri melalui pelabuhan yang telah dibangun sejak zaman kolonial di Manado. Jadilah kopra menjadi incaran banyak pihak, tidak terkecuali kalangan tertentu di Kodam Merdeka. Ketika Gubernur Worang melakukan penataan perdagangan kopra yang lebih adil bagi masyarakat, mereka tentu tidak senang karena mengganggu maksud mereka memperkaya kelompoknya.
“Dulu, hampir semua panglima militer berperan penting dalam perdagangan kopra ‘untuk kesejahteraan satuannya’,” tulis Karundeng.
Baca juga: Desersi TNI di Palagan Minahasa
Jan Arie Supit (68 tahun), mahasiswa Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Manado pada periode kedua Worang menjabat gubernur, mengatakan bahwa masa pertengahan 1960-an sampai 1970-an memang penuh dengan pertentangan ideologi yang membuat suasana mencekam. Di Manado, kelompok-kelompok politik tertentu mengarahkan sasarannya ke Worang.
“Ini masa yang mengerikan secara sosial,” kata Supit ketika diwawancarai pada 22 Desember 2021.
Setamat dari APDN tahun 1974, Supit menjadi pegawai negeri di kantor bupati Minahasa di Tondano. Usianya waktu itu masih tergolong muda, 21 tahun. Setahun kemudian dia dipindahkan ke kantor gubernur di bagian direktorat sosial politik. “Hingga masa itu, Worang terus berhadapan dengan para oposannya,” kata Supit.
Salah satu yang terus dijadikan bahan kritik adalah tata niaga kopra, kemudian keterlibatan keluarganya dalam pemerintahan. Menurut Supit, para oposan menuduh Worang memperoleh untung dari dana rehabilitasi melalui program Sumbangan Rehabilitisasi Kopra dan Cengkih.
“Ya, para oposan itulah sebenarnya yang juga berkepentingan dengan kekuasaan dan bisnis kopra,” ujar Supit.
Baca juga: Darah Minahasa di Tubuh Prabowo
Dalam suatu pertemuan, Gubernur Worang menyinggung oknum-oknum yang mempermainkan hasil kopra dan tidak puas dengan kebijakannya sering menunggangi kesatuan aksi atau berlindung di balik ormas dan orpol.
Ketua KAMI Sulawesi Utara dengan tegas membantah. Sedangkan pimpinan Pemuda Ansor dan pimpinan IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama), sebagaimana dikutip Djambatan Kawanua, dengan tegas menyatakan, “kalau ternyata yang melancarkan kegiatan-kegiatan kotor itu mengaku diri beragama Islam, maka yang pasti mereka itu telah menodai kemurnian Islam.”
Dalam pertemuan itu, seluruh pimpinan ormas menyatakan mendukung kebijakan Gubernur Worang.
Mengapa Malam Natal?
Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara, sejak zaman kolonial adalah pusat politik dan ekonomi. Tempat berdirinya kantor residen yang berada dekat benteng yang dibangun sejak abad ke-18.
Orang-orang Minahasa di pegunungan umumnya beragama Kristen Protestan buah penginjilan dari para zendeling Eropa sejak awal abad ke-19. Namun, Manado adalah kota yang majemuk sejak zaman kolonial. Di sini terdapat Pecinan yang bersebelahan dengan Kampung Arab. Sebuah gereja Protestan sejak zaman VOC berdiri tidak jauh dengan Pecinaan dan Kampung Arab. Kampung-kampung orang Minahasa justru berada di pinggirannya.
Malam Natal, 24 Desember 1967 itu adalah saatnya orang-orang Kristen mempersiapkan diri untuk perayaan pada 25 Desember. Kesibukan menyambut hari raya itu tampak antara lain dalam bentuk ziarah makam di sore hari dan malamnya ibadah di gereja atau rumah masing-masing. Demikian halnya dengan malam 31 Desember.
Baca juga: Mengapa MUI Fatwa Haram Upacara Natal Bersama?
Pada tahun 1967, Natal bertetapan dengan umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Idulfitri akan dirayakan bersamaan dengan tahun baru 1 Januari 1968.
Sementara itu, secara nasional situasi sosial politik tidak kondusif. Pada 1 Oktober 1967, terjadi kerusuhan bernuansa agama di Makassar. Massa merusak sejumlah gereja. Sebelumnya, kerusuhan terjadi di Surabaya dan Medan. Saling adu ideologi terjadi di mana-mana. Isu pasca September 1965 adalah ganyang PKI. Kekuasaan Orde Baru di bawah kendali Jenderal TNI Soeharto sedang dalam tahap konsolidasi kekuatan.
Kota Manado yang majemuk relatif masih aman dari konflik bernuansa agama. Jikapun ada pihak yang berusaha memainkan isu agama dan suku, mereka itu dikirim oleh pusat pada waktu perang Permesta.
Baca juga: KKo Terjebak di Gunung Wian
“Pasukan pemerintah pusat kemudian mendarat di Sulawesi Utara dan membuat pertikaian di Permesta dengan menyebarkan isu kontroversi agama dengan menghasut suku Minahasa, Gorontalo, Sangir Talaud, dan Bolaang Mongondow agar saling melawan,” tulis Karundeng.
Kebanyakan yang menjadi tentara Permesta adalah orang-orang Minahasa yang Kristen. Menurut Karundeng, apa yang dilakukan oleh tentara pusat di masa Permesta rupanya masih terwarisi pada kalangan tertentu hingga era Gubernur Worang. “Kuman dan luka ini belum sepenuhnya dimusnakan,” kata Karundeng.
Baca juga: Akhir Petualangan Boetje Wantanea si Pelarian Permesta
Aparat berhasil membekuk pelaku penyebar pamflet gelap pada malam Natal. Namun, menurut Karundeng, penahanan itu digunakan para oposan untuk mengecam Worang. Mereka menuduh Worang telah memerintahkan aparatnya untuk melakukan kekerasan terhadap para tahanan itu.
Upaya menjatuhkan Worang dengan isu sentimen agama dan suku, antara lain melalui penyebaran pamflet gelap pada malam Natal itu, untuk sementara dapat dikendalikan. Namun, dua tahun kemudian, tepatnya Maret 1970 terjadi kerusuhan bernuansa agama, suku, dan ras di kota Manado. Mesti begitu, Worang masih bertahan sebagai gubernur hingga tahun 1978.
Penulis adalah pengkaji sejarah dan budaya Minahasa.