Darah Minahasa di Tubuh Prabowo
Selain Jawa, darah Minahasa mengalir juga dalam diri Prabowo melalui klan ibunya. Bagaimana kisahnya?
Dengan logat Minahasa ala kadarnya, Prabowo berseru, “Torang semua basaodara”. Dalam bahasa Indonesia berarti, “Kita semua bersaudara.” Di lapangan Ternate Baru, Manado, Prabowo menyampaikan orasi politik. Kehadiran Prabowo di ibu kota Sulawesi Utara itu dalam rangka kampanye pemilihan presiden mendatang. Ribuan warga Manado datang menyaksikan calon presiden Republik Indonesia ini berpidato.
Prabowo merasa kembali ke kampung halamannya. Katanya, “Dalam tubuh saya ini mengalir darah Minahasa.” Yang menarik, Prabowo juga mengatakan, “Saya ini lahir dari rahim ibu Nasrani, tidak mungkin dukung Islam radikal.”
Prabowo benar jika dia menyatakan dirinya orang Minahasa. Dia juga benar ketika mengatakan dirinya lahir dari rahim wanita beragama Kristen. Trah Minahasa memang mengalir dalam darah Prabowo yang berasal dari ibunya, Dora Marie Sigar.
Baca juga: Kisah Bowo Anak Kebayoran
Bertemu Sumitro
Dora Sigar lahir di Manado pada 21 September 1921 dari pasangan Philip Sigar dan Cornelia Maengkom. Keluarganya berasal dari keluarga berada di zaman kolonial. Ayahnya adalah pejabat Dewan Kota Manado yang menganut agama Kristen. Wajar belaka bila Dora mampu sekolah tinggi sampai ke negeri Belanda. Sejak usia 12 tahun, Dora dan keluarganya telah menetap di Belanda.
Pada awal 1940, Dora berkuliah di Utrecht University mengambil jurusan Ilmu Perawatan Pasca Bedah. Sewaktu berkuliah di Belanda itulah Dora bertemu dengan pemuda Banyumas bernama Sumitro Djojohadikusumo. Kala itu, Sumitro adalah mahasiswa senior yang mengambil jurusan Ilmu Ekonomi di Universitas Rotterdam.
Sumitro dan Dora bersua di Rotterdam tahun 1945. Saat itu berlangsung pertemuan Indonesia Christen Jongeren (IJK, Mahasiswa Kristen Indonesia). Hadir pula disana Sumitro. Menurut sejarawan Belanda Harry Poeze dalam Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950, IJK merupakan wadah kontak orang Indonesia di Belanda. Konferensi yang diselenggarakan IJK terbuka buat umum, termasuk mereka yang bukan anggota IJK ataupun yang beragama Islam.
Jumpa pertama itu berlanjut dengan serentetan perjumpaan berikutnya. Sumitro dan Dora kian hari semakin mengenal. Keduanya baru akrab dan menjalin hubungan yang lebih khusus saat Sumitro harus menjalani operasi tumor di usus besar. Dora-lah yang merawat Sumitro di kala sakit. Dari Utrecth, Dora rela sering bersepeda menuju Rotterdam.
“Karena itulah, Dora rewel, maunya ngurus saya terus,” tutur Sumitro berkelakar kepada Aristides Katoppo dkk dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.
Pada 1946, Sumitro kembali ke Indonesia. Setahun berselang, Dora Sigar menyusul, dan langsung tinggal di kediaman orang tua Sumitro di Jakarta. Sumitro mantap untuk menyunting Dora Sigar sebagai istri.
Pernikahan Beda Iman
Perbincangan terjadi ketika keluarga Sumitro mempertanyakan ihwal agama Dora. Sebagaimana terkisah dalam biografi Sumitro, Sumitro mengatakan bahwa calon istrinya itu beragama Kristen. Namun, baik Sumitro dan Dora tak berniat mengubah keyakinan hanya lantaran hendak kawin. Sumitro enggan memaksa Dora beralih menjadi Islam, pun demikian sebaliknya.
Setelah berembug, pihak keluarga besar Djojohadikusumo menerima perbedaan antara Sumitro dan Dora. Khususnya Margono, ayah Sumitro membebaskan Sumitro untuk mempelajari beragam agama dan memilih yang diyakini. Pihak Dora juga mengambil sikap serupa.
“Ini sesungguhnya sangat menakjubkan, mengingat pendidikan agama di dalam keluarga Dora sangatlah kuat, bahkan tergolong Calvinis (aliran Kristen puritan-red) yang sangat kuat sekali,” tulis Aristides dkk.
Pada 7 Januari 1947, Sumitro Djojohadikusumo dan Dora Sigar menikah dengan adat Jawa. Pernikahan berlangsung di kediaman Sumitro, di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Ijab nikah hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Beberapa hari kemudian, diselenggrakan resepsi pernikahan khusus bagi kawan-kawan kedua mempelai, salah satunya Sutan Sjahrir.
Pernikahan Sumitro-Dora menghasilkan empat orang putra dan putri. Mereka berturut-turut antara lain: Biantiningsih Miderawati, Marjani Ekowati, Prabowo Subianto, Hashim Sujono. Kini salah seorang putra mereka, Prabowo, akan mencoba kembali peruntungannya menjadi orang nomor satu di negeri ini dalam pemilihan presiden pada 17 April 2019 yang akan datang.
Baca juga: Kala Prabowo Mempersunting Putri Soeharto
Tambahkan komentar
Belum ada komentar