Akhir Petualangan Boetje Wantanea si Pelarian Permesta
Sempat mengancam keponakan Bung Hatta, Boetje si pelarian Permesta akhirnya bisa kembali ke Indonesia. Ada peran Hasjim Ning dan Gatot Subroto.
KETIKA Deputi II KSAD Mayjen A. Yani berkeliling ke sejumlah negara Eropa untuk melakukan pembelian senjata pada awal dekade 1960-an, Hasjim Ning diajak. Pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia” yang dekat dengan Presiden Sukarno dan merupakan keponakan Bung Hatta itu diajak Yani karena kedekatannya dan juga kemampuan finansialnya menalangi proyek-proyek negara.
“Khusus mengenai tugasku ialah untuk mengimpor kendaraan untuk keperluan militer, seperti jip dan truk, secara komersial dengan pembayaran lima tahun atas jaminan Bank Indonesia,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Ketika mengikuti “Misi Yani” itulah Hasjim mengalami hal yang tak diduganya. Di Hotel Prince de Gale, tempatnya menginap ketika di Paris, Hasjim didatangi Boetje Wantanea, pengusaha asal Minahasa yang meniagakan kopra untuk mendanai Permesta. “Boetje terkenal sebagai orang yang memecahkan bank roulette di casino Monte Carlo,” tulis AH Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Boetje melarikan diri ke Eropa setelah PRRI/Permesta dipukul TNI. Dia berkeliling ke berbagai tempat untuk berjudi dan main perempuan. Hidupnya berubah drastis justru setelah Boetje berhasil memenangkan judi di casino Monte Carlo. “Uang yang diperolehnya di situ dititipkannya pada gula-gulanya yaitu seorang wanita Spanyol yang kemudian kabur. Akibatnya kemenangan di meja main judi sebanyak kurang lebih US$800.000 hilang lenyap dan Boetje pernah mengalami hidup sengsara sampai dia tidur di bawah jembatan,” demikian Rosihan Anwar menuliskan cerita yang didapatnya dari pengusaha AM Dasaad itu dalam bukunya Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965.
Boetje yang sudah menjadi gelandangan itulah yang mendatangi Hasjim di Paris. Entah dari mana dia mendapatkan info, Boetje tahu Hasjim datang ke Paris untuk mengikuti “Misi Yani”. Bak seorang gangster, dia lalu berupaya memeras Hasjim dengan mengeluarkan ancaman. Namun karena Hasjim tak takut, Boetje pun pergi.
Dua hari berselang, Boetje kembali mendatangi Hasjim. “Begini, Bung Hasjim,” kata Boetje memulai pembicaraan. “Teman-teman telah membuat pertimbangan masak-masak. Bung Hasjim adalah teman lama kami. Nama Bung Hasjim dapat kami hapus dari daftar hitam apabila Bung Hasjim bersedia menyediakan uang tunai 20.000 US dolar.”
Hasjim langsung emosi. “Boetje, aku tahu persis siapa Saudara. Seorang penjudi dan petualang yang lari ke sini karena tidak membayari hak-hak petani di Sulawesi. Kalau Saudara seorang pemberani, Saudara tak usah di sini. Ikutlah bertempur bersama Permesta. Kenapa di sini melakukan ancaman-ancaman yang Saudara sendiri tak berani lakukan?” kata Hasjim merespon.
Boetje langsung ciut nyali. Setelah Hasjim mengajaknya makan di restoran hotel dan memberinya uang karena kasihan, Boetje pun pergi dan tak pernah terlihat lagi batang hidungnya.
Namun ketika Hasjim menemani Presiden Sukarno yang berkunjung ke Roma, Agustus 1961, Boetje kembali mengunjungi Hasjim di Hotel Exelsior tempatnya menginap. Boetje mengiba minta dipertemukan dengan Sukarno. Karuan hal itu membuat Hasjim panas dan menanyakan Boetje apakah dia akan mengancam presiden sebagaimana yang dia lakukan padanya setahun silam.
“Oh, tidak. Aku mau minta ampun pada beliau,” jawab Boetje.
“Datang saja ke Indonesia!” kata Hasjim acuh.
Jawaban Hasjim membuat Boetje langsung masuk pada inti maksud kedatangannya. Dia menawarkan dokumen rahasia tentang kekuatan militer Belanda di Irian, yang saat itu sedang diperbutkan Indonesia dan Belanda, pada pemerintah Indonesia. Pernyataan itu direspon Hasjim semata sebagai cara pemeras yang kehabisan uang untuk mendapatkan uang.
Kali ini Boetje tak menyerah. “Bung Hasjim tahu bukan, saudaraku menikah dengan seorang perwira Belanda? Dari dia aku memperoleh dokumen itu,” katanya.
Karena tak percaya Boetje namun penasaran, Hasjim lalu menelepon Wa-KSAD Jenderal Gatot Subroto yang ikut dalam rombongan presiden namun di Italia beda kamar dengan Hasjim. “Bawa monyet itu ke sini!” kata Gatot yang mengenal Boetje saat menjadi panglima di Makassar.
Baca juga: Jika Pak Gatot Bilang Monyet
Di kamar Gatot yang saat itu sedang ada pengusaha Dasaad, Jusuf Muda Dalam, dan Dubes RI di Vatikan Laksamana Nazir, tuan rumah menerima Boetje yang diantar Hasjim. Dia langsung mengecek dokumen yang dibawa Boetje sambil melontarkan beberapa pertanyaan menyelidik. Gatot akhirnya menanyakan kesediaan Boetje untuk meninggalkan dokumen tersebut untuk dibahas lebih lanjut, sementara yang ditanya menyatakan kesediaannya.
Begitu Boetje pergi setelah dijanjikan akan dipanggil kembali, para hadirin di kamar Gatot langsung membahas dokumen tersebut yang memuat antara lain jumlah kekuatan alat tempur Belanda di Papua dan yang disiagakan di Antilen-Belanda. Dengan kekuatan Belanda yang lebih unggul dibanding kekuatan Indonesia bila mengacu pada dokumen tersebut, Gatot menyampaikan pandangan bahwa penyelesaian sisa-sisa PRRI/Permesta harus dituntaskan sesegera mungkin sebelum clash dengan Belanda dimulai. Tanpa penyelesaian itu, TNI akan kerepotan karena harus memecah kekuatannya untuk menangani sekaligus PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan Belanda di Papua.
“Setelah bertukar pikiran yang cukup lama juga, akhirnya Gatot Subroto menggagaskan agar masalah PRRI/Permesta diselesaikan dengan melakukan amnesti dan abolisi,” kenang Hasjim.
Baca juga: Agar Sulawesi Tetap Indonesia
Gagasan Gatot itu pun langsung mendulang dukungan penuh dari para yang hadir. Hasjim lalu ditunjuk untuk menyampaikan keputusan tersebut kepada presiden.
Malamnya, semua yang hadir di kamar Gatot diterima Presiden Sukarno. Hasjim langsung membuka pembicaraan dengan memberitahu presiden bahwa di kamar Gatot ada seorang pelarian Permesta yang ingin menemui presiden untuk minta ampun. Setelah itu, mereka menunjukkan dokumen yang diberikan Boetje dan menginformasikan solusi yang telah diambil siang itu di kamar Gatot. Meski secara prinsip presiden menyetujuinya, ia belum memberi lampu hijau karena akan mendiskusikan dulu dengan para menteri yang ikut dalam rombongan dan sejumlah duta besar Indonesia di sana esok paginya.
Pemerintah akhirnya mengambil langkah yang digagas Gatot. Boetje pun selamat. “Dengan pertolongan Gatot Subroto dia dapat menghadap Sukarno. Terus Boetje meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya dan diciumnya tangan Sukarno. Ia diizinkan kembali ke Indonesia tanpa dilakukan penuntutan terhadap dirinya,” tulis Rosihan dalam catatannya bertanggal 24 Agustus 1961.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar