Beredar tayangan video yang memperlihatkan puluhan ribu surat suara pemilihan umum telah dicoblos di Taiwan. Surat suara yang mestinya tersegel itu terbuka dan dicoblos atas pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor 3, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Belum diketahui siapa pelakunya.
Pihak Ganjar-Mahfud yang terseret atas kasus ini buka suara. “Nanti kita cek ya siapa dan bagaimana, karena beberapa isu semacam ini terjadi. Yang penting tidak boleh ada yang curang termasuk kalau itu menyebut dari kami 03 harus segera diluruskan,” kata Ganjar seperti dikutip dari liputan6.com (23/1). Sementara itu, Mahfud MD yang dikutip media sama meragukan kabar tersebut. Akan tetapi, dia mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melewati sebuah proses bila kabar tersebut benar.
“Saya ragu kalau itu ada. Kalau itu benar, berarti KPU melewati suatu proses untuk mengumumkan dahulu surat suara. Itu kan harus diparaf dahulu. Bisa saja mereka belum paraf apa-apa suaranya,” kata Mahfud.
Baca juga: Perang Uang Palsu Masa Revolusi
Karena dicoblos sebelum waktu yang ditentukan, kasus surat suara ini jadi sarat nuansa politis. Sampai saat ini, KPU masih menyelidiki polemik surat suara di Taiwan. Kalau sekarang kasus surat suara pemilu di Taiwan jadi isu, maka dulu uang rupiah palsu di Taiwan pernah menghebohkan. Isu rupiah tak sah inipun jadi pemberitaan nasional.
Pada penghujung 1950, uang-uang palsu banyak beredar di Indonesia. Rupiah palsu itu diberitakan berasal dari Taiwan. “Uang-uang palsu RI dicetak di Taiwan. Diselundupkan melalui Singapura untuk bantu pemberontak,” lansir Harian Umum tanggal 23 Januari 1959.
Jaksa Agung Soeprapto mengambil alih kasus rupiah aspal itu di bawah Kejaksaan Agung. Soeprapto menginstruksikan kejaksaan di seluruh Indonesia dan alat-alat negara terkait untuk lebih mengintensifkan usaha-usaha pengawasan peredaran uang palsu. Dia juga memperkenankan tindakan tegas terhadap siapa saja yang terbukti terlibat dalam persoalan tersebut.
Baca juga: Perang Uang Palsu Masa Revolusi
Menurut keterangan yang diperoleh dari Kantor Berita Antara, rupiah palsu itu dicetak di sebuah percetakan yang sangat modern di Taiwan. Adapun motif peredaran uang palsu tersebut lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. Yakni sebagai mufakat gelap antara pihak PRRI-Permesta dengan pihak Taiwan yang berkepentingan membantu kaum pemberontak PRRI-Permesta. Distribusi uang palsu itu disebutkan menggunakan kapal-kapal Kuomintang yang leluasa mondar-mandir antara Taiwan dan Singapura.
“Dari Singapura uang itu dengan macam-macam jalan antaranya melalui agen-agen dan kaki tangan-kaki tangan pemberontak diselundupkan ke daerah-daerah yang masih diduduki kaum pemberontak,” ungkap Harian Umum.
Peredaran mata uang rupiah PRRI-Permesta ini memang telah meresahkan pemerintah sejak merebaknya pergolakan di daerah. Pada 17 Maret 1958, Wakil Perdana Menteri I Hardi yang merangkap ketua Misi Pemerintah RI untuk wilayah Sulawesi Utara dan Tengah sampai mengeluarkan surat keputusan untuk pegawai negeri yang menerima gaji dengan mata uang PRRI-Permesta. Mereka yang menerima uang tersebut pada azasnya dipandang telah memutuskan hubungan dengan pemerintah.
“Sehingga pembayaran gaji mereka, dll harus ditangguhkan menunggu hasil pemeriksaan oleh Badan Penyaringan Penerimaan Pegawai,” demikian termaktub dalam Peraturan-peraturan dan Pengumuman-pengumuman Mengenai Kedudukan Pegawai Negeri 1956 Jilid 2.
Baca juga: Demi Gaji Tinggi, Orang Prancis Jadi Tentara KNIL
Dari bukti yang dikumpulkan, seturut dalam Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia yang disusun Biro Pemuda Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menunjukkan bahwa uang RI yang dipalsukan PRRI/Permesta dicetak di luar negeri dengan bantuan AS. Keterlibatan pemerintah AS diejawantahkan oleh dinas intelijen CIA yang agennya kerap bergerak dari Taiwan untuk melancarkan subversi di Indonesia.
Taiwan merupakan jalur logistik yang penting dalam operasi CIA menyokong gerakan PRRI dan Permesta. Sejarawan Audrey Kahin dan George Mcturnan Kahin dalam Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, menyebut Taiwan sebagai jalur utama untuk menyalurkan peralatan perang kepada para pemberontak di Sumatra dan Sulawesi. Selain itu, Taiwan juga menjual persenjataan tambahan dan menyediakan sejumlah pilot serta instruktur artileri untuk pasukan pemberontak.
“Taiwan tidak saja menjadi markas perusahaan penerbangan CAT milik CIA yang pesawat-pesawatnya sangat banyak membantu Permesta, tetapi angkatan udaranya juga menyediakan persenjataan bagi pemberontak di Sumatra dan Sulawesi,” terang Audrey dan Mcturnan Kahin.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
Menurut kolektor mata uang Salman Alrosyid, rupiah yang diterbitkan oleh PRRI-Permesta ini termasuk kategori mata uang pemberontakan. Golongan PRRI menggunakan uang seri kebudayaan tahun 1959 yaitu pecahan 10, 50, 100, 1.000, dan 5.000 rupiah yang diberi cap Wali Negeri PRRI Kecamatan Salimpaung. Sementara golongan Permesta di Sulawesi Utara pada 1958 menerbitkan mata uang pemberontakan dengan nominal 5, 10, 25, 50, 100, 250, dan 1.000 rupiah yang diterbitkan sendiri untuk kelompok Permesta.
“Uang ini jarang diketahui masyarakat karena diproduksi hanya sedikit sehingga membuat uang ini memiliki harga yang tinggi dibandingkan uang umum yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun yang sama,” ulas Rosyid dalam Perkembangan Uang dalam Sejarah Indonesia.
Memasuki 1960, berita uang rupiah terbitan PRRI Permesta ini kemudian menguap. Menghilangnya mata uang tersebut dari peredaran seiring dengan tumpasnya pemberontakan PRRI dan Permesta. Rupiah terbitan pemerintah RI menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah.
Baca juga: Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran