PADA tengah malam 1 Maret 1957, sebuah pertemuan diadakan di rumah jabatan gubernur Sulawesi. Beberapa orang dijemput tim khusus. Jalan-jalan di sekitar Makassar dijaga ketat oleh anggota militer. Menjelang pukul 03.00 dini hari, Gubernur Andi Pangerang Pettarani meyambut mereka.
Orang-orang itu berasal dari kalangan militer hingga orang-orang sipil yang berpengaruh. Di antaranya Mayor M. Jusuf (kemudian menjadi Panglima TT VII Hasanuddin), Komandan TT VII Ventje Sumual, Letnan Kolonel Saleh Lahade, J. Latumahina (kepala seksi politik di kantor Gubernur), Andi Burhanuddin (residen dalam staf gubernur) dan satu-satunya perempuan Ny. Milda Towoli-Hermanses (ketua dewan kota).
Dalam catatan Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, malam itu ada sekitar 50 orang yang berkumpul. Mereka saling memandang dan sedikit kebingungan, meski persiapan akan hal ini telah diantisipasi beberapa bulan sebelumnya.
Saleh Lahade membacakan piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Salah satu isinya mengenai konsep otonomi daerah. Permesta menginginkan pembangunan dilakukan secara adil pada setiap provinsi. Hasil sumber daya daerah digunakan untuk pembangunan daerah sebanyak 70 persen dan 30 persen untuk pemerintah pusat.
Namun, sebelum Saleh Lahade membacakan piagam Permesta, Ventje Sumual membacakan proklamasi pemberlakuan kedaan darurat perang di suluruh Indonesia. Pernyataan itu, dititikberatkan untuk memberantas upaya dan tindakan apapun yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia. Jakarta menuding, Permesta adalah upaya memisahkan diri dari Indonesia.
Ide dasar Permesta sebenarnya dimulai sejak Januari 1957. Salah satu yang memiliki andil besar adalah anggota dari barisan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR). Para kader partai ini membangun komunikasi antara orang per orang, para tokoh dari kalangan sipil higga militer.
Pada Februari 1957, Gubernur Andi Pangerang melakukan kunjungan ke Jakarta dan menyampaikan ide-ide masyarakat akan adanya otonomi. Bahkan telah memohon pada pemerintah pusat di Jakarta sebanyak Rp400 juta untuk melaksanakan rencana pembangunan daerah. Di saat itu pula, anggota PKR telah bersidang dan mendukung penuh upaya gubernur. Sementara itu, kalangan militer pun ikut menentukan sikap dan mengirim Ventje Sumual, didampingi M. Jusuf serta Arnold Baramuli (jaksa tinggi provinsi dan militer) ke Jakarta untuk mendukung gubernur. Namun, ironisnya tak ada yang berhasil meyakinkan pemerintah akan ide otonomi ini.
Keinginan melaksanakan ide otonomi daerah ini, dinilai sangat mendesak. Kemakmuran dan keadilan pembangunan manusia di Indonesia timur menjadi prioritas. “Sentralistik, atau menjadikan Jakarta sebagai pusat dalam mengatur daerah, dinilai tidak cukup baik dan sulit menjangkau semua lapisan masyarakat,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edwar Poelinggomang kepada Historia.
Kemudian perkembangan Permesta yang dominan diisi oleh orang-orang dari utara (Minahasa, Sulawesi Utara) dibandingkan dengan orang-orang selatan (Bugis dan Makassar) menjadi kemelut lain. Ada kecemberuan antar sesama pelopornya.
Pada 8-12 Mei 1957, diadakan Kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar. Kongres inilah yang dianggap sebagai kegiatan puncak Permesta pasca proklamasi. Barbara menuliskan, dari 122 peserta kongres terdapat semua perwakilan dari Indonesia timur.
Namun, kongres itu tak dihadiri Gubernur Andi Pangerang. Perbedaan pandangan yang kemudian mencolok antara utara yang menginginkan perkembangan ekonomi dan selatan yang menginginkan persoalan keamanan yang menjadi paling utama.
Dan pada pertengahan 1957 kesatuan TT VII yang dipimpin Ventje Sumual dibubarkan. Dan menyerahkan jabatannya kepada Andi Mattalatta sebagai panglima militer. Akhirnya, pada Juni 1957, Ventje Sumual bersama beberapa orang perwiranya meninggalkan Makassar menuju Minahasa. Konflik pun semakin meluas.
M. Jusuf yang telah menjadi Komando Hasanuddin, menyatakan ketidaksetujuannya dengan Permesta. Jusuf, memimpin beberapa aksi untuk melemahkan posisi Permesta. Sementara itu, Saleh Lahade menerima pinangan PRRI yang diproklamasikan di Sumatera sebagai menteri Penerangan. Ikut pula Mochtar Lintang sebagai menteri agama, dan Ventje Sumual sebagai panglima Angkatan Darat.
Akhirnya, konsep dasar yang menginginkan desentralisasi yang digaungkan PRRI dan Permesta terlupakan. Lalu kemudian, pada era reformasi ide tersebut kembali digaungkan. Dan pada 2002, konsep otonomi daerah dilaksanakan.
[pages]