Perang Dunia II membuat banyak pemuda jadi tentara. Kondisi “abnormal” akibat perang itu menghentikan banyak roda kehidupan dan menyisakan hanya sedikit pilihan. Tentara adalah hal paling mungkin dimasuki.
Itulah jalan kehidupan yang dipilih pemuda kelahiran Padang, 27 Mei 1925 bernama Arief Amin. Waktu zaman pendudukan Jepang, Arief menjadi bintara dalam tentara sukarela bentukan Jepang di Sumatra yang disebut Gyugun. Dari periode singkat pendudukan Jepang itu, dia pernah menjadi wakil komandan seksi Gyugun di Gadut, Bukittinggi.
Sewaktu revolusi kemerdekaan Indonesia pecah, Arief ikut terjun dengan terus menjadi tentara. Arief memulainya dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) hingga berubah jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan terakhir Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di sinilah dia mulai menjadi perwira, dengan pangkat awal Letnan Dua. Mula-mula di Kompi II, Batalyon I, Resimen III, sebagai komandan seksi II.
Pangkat Arief naik dengan cepat. Setelah beberapa bulan di ketentaraan, pada April 1946 pangkatnya naik menjadi Letnan Satu. Beberapa bulan kemudian, Oktober 1946, pangkatnya naik lagi menjadi Kapten. Jabatannya juga naik menjadi komandan batalyon II.
Urusan kepangkatan di masa revolusi masih jauh dari “mapan”. Dengan tatanan administrasi pemerintahan yang belum mapan, aturan kerapkali berubah atau bahkan belum ada. Apalagi dalam organisasi militer yang kala itu masih “berantakan”. Banyak pejuang mengangkat diri mereka sendiri dan juga kawan-kawannya menjadi pejabat militer dengan pangkat yang mereka tentukan sendiri. Urusan kepangkatan kerapkali didasarkan pada keadaan.
Arief bukan satu-satunya personel yang mengalami perubahan (kenaikan) pangkat begitu cepat. Atasan langsungnya saja, Letnan Kolonel Ahmad Husein, harus turun pangkat menjadi mayor. Bahkan, kenaikan pangkat Arief kalah jauh dalam kecepatan dibanding salah seorang ajudan Presiden Sukarno. Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Presiden Sukarno menceritakan hal itu.
Sang ajudan yang dari sipil, diberi pangkat Letnan setelah diangkat menjadi ajudan oleh presiden. Namun, pengangkatan itu diprotes oleh salah seorang penasihat Presiden Sukarno. Menurutnya, pemberian pangkat letnan kepada ajudan tidak pas. Penasihat itu membandingkan dengan Ratu Juliana yang memiliki ajudan seorang kolonel. Bila ratu Belanda yang memimpin negeri berpenduduk 10 juta jiwa saja punya ajudan kolonel, Indonesia yang berpenduduk 70 juta jiwa mestinya presidennya punya ajudan berpangkat lebih dari itu. Sukarno yang setuju dengan pendapat penasihatnya itu lalu memanggil sang ajudan.
“Sudah berapa lama kau jadi letnan?” kata Presiden Sukarno, dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“1,5 jam, Pak!” jawab ajudan sembari memberi hormat.
“Nah, karena kita merupakan negara baru yang tumbuh cepat, mulai sore ini kau menjadi mayor,” kata Sukarno.
Selama lebih dari 1,5 tahun Arief Amin menjadi kapten. Setelah itu perubahan terjadi pada pangkatnya.
“Tanggal 1 Mei 1948 pangkatnya diturunkan menjadi letnan satu. Penurunan pangkat ini berdasarkan pemerintah dalam reorganisasi dan rasionalisasi kekuatan angkatan bersenjata kita,” kata buku Profil 200 Aktivis dan Pemuka Masyarakat Minang.
Kendati turun pangkat, Arief masih mau bertahan di TNI. Setelah 1950, ketika tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia pasca-Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, Arief masih bertahan di TNI. Kali ini pangkatnya sudah naik lagi menjadi kapten.
Pada 1950, Kapten Arief menjabat kepala staf merangkap wakil komandan dari Batalyon 112 Harimau Kuranji. Batalyon tersebut mulanya adalah pasukan pimpinan Mayor Ahmad Husein. Dari 1950 hingga 1951, batalyon itu ditugaskan ke Jawa Barat dalam rangka menumpas Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Setelah Husein dipanggil pulang ke Padang, Kapten Arief menggantikannya ketika di wilayah tugas. Arief lalu ditempatkan menjadi staf Brigade Banteng sebagai Opsir Dinas Istimewa.
Di masa-masa itu, Arief mendengar dia akan dijadikan pengganti Mayor Akil sebagai komandan batalyon di Riau. Namun itu tidak terjadi. Akhirnya Arief dijadikan komandan batalyon 116 di Kabanjahe. Baru seminggu setelah menjadi komandan batalyon di Kabanjahe, Arief ingin bertemu ibunya yang sudah lama tak dia temui sejak dia ditugaskan ke Jawa Barat.
Arief lalu bicara den meminta izin pada atasannya, Komandan Brigade BB Mayor Ibrahim Adjie. Lantaran Adjie sebagai komandan brigade tidak boleh mengeluarkan izin tersebut, ia menyarankan Arief agar langsung ke Panglima Tentara Teritorium I (kini Kodam Bukit Barisan) Kolonel Maludin Simbolon di Medan.
“Semula saya megharapkan nasihat panglima supaya menunda izin atau memberi izin sebagai kearifan seorang atasan kepada bawahannya. Yang saya dengar ialah bentakan keras dan kata-kata yang seumur hidup belum pernah diucapkan orang kepada saya,” aku Arief Amin dalam Pengalaman Tak Terlupakan Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau.
Arief kesal atas sikap panglima padanya. Dalam hati dia merasa jika Belanda yang kuat saja dia lawan, apalagi seorang panglima yang sama-sama orang Indonesia. Arief yang kesal pun saat itu juga minta berhenti dari tentara. Perbuatannya pun langsung bikin panglima jadi kecut.
Arief pantang mundur meski kemudan Kepala Staf Tentara & Teritorium Sumatra Utara Letnan Kolonel A. Thalib bilang padanya bahwa Arief sedang dipertimbangkan untuk jabatan yang lebih tinggi. Arief lalu menyerahkan Batalyon 116 kepada Letnan Satu Azis Siregar.
Arief dan keluarganya lalu hijrah ke Jakarta. Dengan cepat Arief dapat kerja di bagian Devisa Balai Besar Penelitian Pertanian Bogor, setelah diajak sepupunya yang bekerja di Departemen Pertanian. Namun pekerjaan itu hanya dijalaninya enam bulan. Arief tidak sreg dengan suasana kerja yang penuh dengan ketidakdisiplinan.
Kendati Arief sudah keluar dari tempat kerjanya, surat pemberhentiannya dari Angkatan Darat belum juga keluar. Surat itu baru keluar pada 17 Oktober 1952.
Setelahnya, Arief masuk ke kepolisian. Namun karena Arief hanya dihitung sebagai lulusan SMP, dia tidak bisa menjadi perwira pertama di kepolisian dengan pangkat Inspektur. Dia hanya mendapat pangkat Pembantu Inspektur Polisi tingkat dua (PIP II), yang di ketentaraan setara dengan Pembantu Letnan Dua. Agak mirip dengan pangkatnya di Gyugun sewaktu zaman Jepang.
“Saya tidak menyesal,” kata Arief yang hidup di zaman orang-orang belum belum banyak gila pangkat.
Dia menjadi polisi sejak 15 Desember 1952. Hari-harinya dijalaninya sebagai anggota Brigade Mobil (Brimob). Dia sering diikutsertakan dalam operasi penumpaan gangguan keamanan di banyak daerah. Tempat penugasannya sebagai Brimob pun berpindah-pindah, dari Surabaya ke Madiun, Banjarbaru, Barabai, Jakarta, dan akhirnya Bandung.
Semasa bertugas di Surabaya, Arief sekolah lagi. Dia mendapat ijazah SMA dan kemudian kuliah hukum di Universitas Padjadjaran hingga bergelar sarjana muda. Setelah pensiun sebagai Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) yang setara letnan kolonel, dia menjadi dosen di Universitas Langlangbuana.