LUKISAN cakrawala yang didominasi terik mentari perlahan membiru berhias gradasi jingga saat Brigjen Jean-Pierre Doguereau bersama detasemen artilerinya tiba di desa sekitar Rahmanieh (kini El Rahmaniya), Mesir, 19 Juli 1798. Ia bersyukur perjalanan pasukannya tak menemui gangguan kala berangkat dari Wardan di pagi buta. Sebaliknya, penduduk desa justru berbaik hati dengan berbagi makanan dengan pasukannya yang kelelahan plus perlengkapan dan pakaian yang sama sekali tak ramah cuaca ekstrem Mesir yang panasnya menyengat.
“Kami berangkat bersama (pasukan infantri) Demi-Brigade ke-13 pada 19 Juli sebelum fajar dan melewati beberapa desa yang cocok untuk istirahat. Kami beristirahat di bawah pohon saat mengetahui Jenderal Bonaparte tidak jauh dari posisi kami dan diharapkan bisa bertemu dengannya malam ini juga setelah menikmati telur dan persediaan lain dari para penduduk,” tulis Brigjen Doguereau dalam catatannya, Journal de l’Expédition d’Égypte (terj. Guns in the Desert: General Jean-Pierre Doguereau’s Journal of Napoleon’s Egyptian Expedition).
Jenderal Napoléon Bonaparte malam itu memang sudah mengaso di kampnya di Rahmanieh. Meski begitu, isi kepala sang panglima tertinggi militer Republik Prancis terbagi antara dua hal. Pertama, kabar tentang perselingkuhan istrinya, Joséphine, dengan Hippolyte Charles di Paris. Kedua, kabar pendaratan pasukan Kesultanan Utsmaniyah di Aboukir.
“Sejak berangkat dari Giza pada 16 Juli, Bonaparte tiba dan mengistirahatkan pasukannya di Rahmanieh pada 19 Juli. Dia mendengar kapal-kapal Turki telah mendarat dekat Benteng Aboukir berkekuatan 3000 prajurit dengan artilerinya. Garnisun (Prancis) menyerah di hari yang sama. Pasukan baru Turki itu menggabungkan diri dengan pasukan dari Danau Madie hingga punya kekuatan 15.000 orang,” ungkap sejarawan William B. Hewetson dalam History of Napoleon Bonaparte and Wars of Europe.
Baca juga: Relasi Nusantara dengan Persia dan Turki
Karena sudah setengah jalan menuju Kairo, Napoléon memilih fokus pada kampanyenya. Urusan istrinya bakal dibereskannya kelak setelah kepulangannya ke Paris.
“Dari informasi ini, Bonaparte mengirim Jenderal (Jacques-François) Menou menuju Rosetta dengan pasukan bantuan dan untuk mempertahankan pintu masuk ke (sungai) Nil. Ia memprediksi mereka (pasukan Turki) akan berkonsolidasi dulu di benteng dengan mengorganisir orang-orang Arab, seraya menunggu Murad Bey bersama pasukan Mamluk sebelum maju dari Semenanjung Aboukir ke Alexandria atau Rosetta,” sambung Hewetson.
Napoléon mesti bersiap meladeni pasukan Mamluk yang kali ini disokong pasukan bantuan Turki di dataran gurun Mesir. Sejak memulai kampanyenya pada awal Juli, Napoléon memang sudah membidik penaklukan Kairo sekaligus mengakhiri kekuasaan kaum Mamluk di kota nan kaya budaya dan perdagangan itu.
Kala itu Napoléon tengah naik daun. Usai Pengepungan Toulon (1793) yang jadi “titik nol” kejeniusan militernya, Napoléon mencaplok Italia dengan pasukan bentukan barunya, Armée d’Italie. Pasukan berkekuatan 45 ribu prajurit dengan nama anyar Armée d’Orient itu lantas dibawanya untuk menantang kekuasaan kaum Mamluk dan Kesultanan Utsmaniyah dalam Ekspedisi Mesir-nya.
Sudah lebih dari dua abad Kairo dikuasai Kesultanan Utsmaniyah. Kota itu dijadikan bagian dari Eyālet-i Mıșr (Provinsi Mesir) usai peperangan dengan Kesultanan Mamluk. Orang-orang Mamluk kemudian tetap jadi kepanjangan tangan Kesultanan Utsmaniyah.
Baca juga: Napoléon Sang Pahlawan Revolusi Prancis
Pesan dan Dua Kalimat Syahadat
Napoléon sudah mendapat lampu hijau untuk mengorganisir ekspedisi ke Mesir dari le Directoire (komite pemerintahan Republik Prancis) sejak awal 1798. Tujuannya untuk melindungi kepentingan perdagangan Prancis sekaligus mengganggu jalur perdagangan Inggris dari India dan Hindia Timur (kini Indonesia)
Usai menaklukkan Malta terlebih dulu pada Mei 1798, Napoléon mengarahkan armadanya mengelak dari pantauan armada Inggrisnya Laksamana Horatio Nelson. Tiga belas hari bermanuver, mereka sukses mendarat tanpa gangguan di Pelabuhan Alexandria pada 1 Juli.
Napoléon insyaf bahwa pasukannya tak boleh pukul rata melibas musuh. Ia sudah punya tiga musuh: Inggris, Mamluk, dan Utsmaniyah. Napoléon berharap bisa merangkul kaum Arab di Mesir yang mayoritas sudah memeluk Islam sejak abad ketujuh.
“Dia tidak ingin menjadikan Islam sebagai musuh. Sebaliknya, dia menyampaikan (pesan) bahwa ia mengagumi agama (Nabi) Muhammad. Ia mengatakan: ‘Legiun Romawi telah melindungi agama ini. Tentunya pasukan Prancis akan lebih dari sekadar melindungi,” ungkap Steven Englund dalam Napoleon: A Political Life.
Baca juga: Kampanye Italia dan Hidangan Favorit Napoléon
Jelang memasuki Alexandria, Napoléon menekankan kepada pasukannya untuk menghormati orang-orang Arab Islam, baik properti maupun agama mereka. Harapannya, mereka mau berbalik melawan orang-orang Mamluk.
“Orang-orang muslim ini akan hidup berdampingan dengan kita. Kalimat pertama dalam keyakinan mereka adalah, ‘tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya.’ Perlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan orang Yahudi, Italia; hormati para mufti dan imam mereka sebagaimana kalian menghormati para rabi dan uskup. Biasakan bertoleransi pada Al-Quran mereka dan masjid mereka, sebagaimana toleransi terhadap gereja dan sinagoga. Menjarah hanya menguntungkan segelintir orang tapi akan melahirkan musuh padahal mereka adalah sahabat kita,” kata Napoléon.
Untuk “sementara”, kata-kata Napoléon itu bisa dipegang. Alexandria dikuasai pada malam 1 Juli 1798 tanpa perlawanan berarti. Garnisun pasukan Mamluk yang dipimpin Koraim Pasha dengan 500 prajurit memilih kabur ke luar Alexandria.
Pada 13 Juli, pasukan Napoléon bergerak menuju Kairo. Di sanalah mereka baru menemukan rintangan, di Pertempuran Shubra Khit. Napoléon yang bermanuver di pesisir dengan dikawal armada pimpinan Laksamana Jean-Baptiste Perrée di perairan dengan mudah menghancurkan pasukan Mamluk hanya dalam satu jam.
Baca juga: Daendels, Napoleon Kecil di Tanah Jawa
Dua hari setelah beristirahat di Rahmanieh pada 19 Juli, pasukan Napoléon ditantang pasukan Mamluk pimpinan Murad Bey yang sudah berkonsolidasi dengan pasukan bantuan Turki yang dikomando Ibrahim Bey dan Ayyub Bey. Pada pagi 21 Juli 1798, kedua pasukan dengan kekuatan hampir sama itu bentrok dalam Pertempuran Piramida di Desa Embabeh, tak jauh dari Piramida Giza.
“Wahai para prajurit! Kalian datang ke negeri ini untuk menyelamatkan penduduk dari barbarisme, untuk membawa peradaban ke bagian dunia yang indah ini dari dominasi Inggris. Dari puncak piramida-piramida itu, (sejarah) empat puluh abad akan merenungkan kalian semua,” seru Napoléon kepada pasukannya jelang pertempuran.
Kendati jumlah kedua pasukan seimbang, masing-masing sekira 20 ribu, pasukan Napoléon lebih superior dalam hal perlengkapan tempur dan pengalaman.
“Sebagian besar pasukan Mamluk masih berasal dari era pertengahan dan jelas tidak seimbang dibanding Prancis yang modern. Mayoritas pasukan Mesir juga fellahin (petani) yang diwajibmiliterkan. Kavaleri Mamluk masih mengenakan zirah yang inferior ketimbang kavaleri Prancis yang sudah bersenjata api,” tulis Muhammad Armoush dalam Modern Contemplations of the French Campaign.
Dari dataran tinggi Desa Biktil, Napoléon memantau pelaksanaan strateginya yang membagi dua bagian pasukan infantri, kavaleri, dan artilerinya. Pada sayap kanan di sisi selatan dikomando Jenderal Louis Charles Antoine Desaix dan Jean-Louis-Ébénézer Reynier. Adapun pada sayap kiri, di dekat Sungai Nil, dipimpin Jenderal Charles-François-Joseph Dugua, Honoré Vial, dan Louis André Bon.
Michel Legat dalam With Bonaparte in the East: 1798-1799 mencatat, formasi kolom-kolom pasukan Desaix, Reynier, dan Dugua dengan mudah menghancurkan kavaleri Mamluk dengan senapan dan artilerinya hingga pasukan Mamluk terkepung dan terdesak ke sungai. Dalam pertempuran ini pasukan Prancis hanya kehilangan 29 prajurit sementara 260 lainnya terluka. Sementara Murad menderita kerugian 10 ribu, termasuk tiga ribu kavaleri elitenya. Murad Bey yang terluka di pipi masih bisa kabur tapi Ayyub Bey tewas dalam pertempuran.
Ali-Bonaparte “Putra Nabi”
Cengkeraman Kesultanan Utsmaniyah lewat tangan kaum Mamluk di Kairo serta-merta lenyap usai Pertempuran Piramida. Sisa-sisa pasukan Turki dan Mamluk mengungsi ke Suriah. Langkah pasukan Napoléon memasuki gerbang kota Kairo pada 24 Juli pun mulus.
Kendati penaklukan Mesir masih jauh dari kata usai, Napoléon langsung mengorganisir pemerintahan boneka dengan melakukan pendekatan ke sejumlah ulama Kairo, di antaranya cendekiawan Abdulrahman al-Jabarti dan Abdullah al-Sharqawi. Nama terakhir bahkan ditunjuk Napoléon sebagai divan (kepala pemerintahan).
Sebagaimana Alexander Agung di zaman kuno, Napoléon mengizinkan para prajurit dan perwiranya yang hendak mengambil istri muslim Mesir agar terlebih dulu jadi mualaf. Namun hal itu membuat Al-Sharqawi tak begitu simpatik pada para prajurit Prancis yang jadi mualaf.
“Orang Prancis materialistis yang menyangkal kehidupan akhirat dan para nabi,” kata Sharqawi.
Baca juga: Sejarah Laïcité, Dasar Falsafah Sekularisme Prancis
Meski turut merayakan Maulid Nabi mengenakan pakaian gamis lengkap dengan turbannya pada Agustus 1798, Napoléon mengaku tak pernah melafalkan dua kalimat syahadat. Ia sekadar menerima nama “Ali-Bonaparte” –yang diambil dari nama Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah– pemberian dari sang divan,.
“Dia juga menunjuk emir-hadji yang bertanggungjawab melindungi rombongan jamaah ke Makkah. Dia sendiri menulis surat kepada pemimpin Mekkah melalui sheikh-sheikh (Mesir) bahwa jamaah haji dari Kairo akan dilindungi selama musim haji. Orang-orang Arab terpukau dengan karakter penakluk muda itu. Mereka takjub karena sosok yang bisa menghujamkan petir bisa membumi di waktu yang sama. Mereka menjulukinya putra nabi yang laik, kesayangan Allah. Bahkan mereka menyanyikannya di dalam masjid agung,” ungkap Adolphe Thiers dalam History of the French Revolution.
Baca juga: Kisah Penyair Besar Prancis Jadi Serdadu di Salatiga
Namun seiring waktu, borok di balik “topeng” Napoléon terumbar. Terutama kala memberantas Pemberontakan Kairo (21-22 Oktober 1789). Pasalnya banyak ulama Mesir dan para murid mereka menilai Napoléon telah menistakan Islam.
Mereka membentuk koalisi dengan para petani berdarah Turki untuk berkubu di Masjid Al-Azhar. Di hari pertama pemberontakan, bentrokannya bahkan sudah menewaskan Jenderal Dominique Dupuy dan salah satu ajudan Napoléon, Joseph Sulkowski. Akses keluar-masuk kota tua Kairo, di mana Napoléon tengah berkunjung, diblokade massa.
Napoléon bersama pasukan pengawalnya berhasil menerobos blokade di Gerbang Boulaq. Mengingat ancaman Inggris mulai mendekat, pasukan Prancis diinstruksikan untuk membalas tanpa pandang bulu. Orang Arab yang ditemui di jalan atau permukiman jadi sasaran. Sejumlah sheikh dan cendekiawan beserta lima ribu pengikut mereka yang terlibat ditangkapi dan dieksekusi. Divan sebagai dewan kepemimpinan diganti komisi militer.
“Bentrokan sengit dan genting menimbulkan penderitaan yang mengerikan saat transisi masa. Kengerian di atas kengerian jadi permulaan kehancuran,” tulis Al-Jabarti mengenang masa-masa imperialisme Napoléon, dikutip Christopher De Bellaigue dalam The Islamic Enlightenment: The Struggle Between Faith and Reason, 1789 to Modern Times.
Setelah kekalahan dari Inggris di Teluk Aboukir dalam Pertempuran Sungai Nil pada Agustus 1789, posisi Prancis di daratan makin terancam. Untuk sementara Napoléon mengalihkan kekuatannya lebih ke dalam sekaligus melenyapkan sisa-sisa pasukan Mamluk di Suriah.
Baca juga: Senjakala Monarki di Sri Lanka
Melihat situasi yang mulai getir dalam serangkaian pertempuran di awal 1799, Napoléon memilih angkat koper pulang meninggalkan sisa-sisa pasukannya yang makin melemah. Tampuk kepemimpinan pasukannya diserahkan ke Jenderal Jean-Baptiste Kléber. Napoléon dikawal Jenderal Louis-Alexandre Berthier, Joachim Murat, Jean Lannes, dan Auguste de Marmont meninggalkan Kairo pada Agustus 1799 via delta Sungai Nil dengan menumpang frigat Muiron menuju Ajaccio dalam 41 hari perjalanan laut menghindari blokade Angkatan Laut Inggris.
Nasib nahas menimpa Jenderal Kléber pada awal 1800. Harapannya mengajukan negosiasi perdamaian dengan Laksamana Sidney Smith dan Kör Yusuf Ziyäuddin lewat Konvensi El Arish (24 Januari 1800) kandas di tengah jalan karena kesalahpahaman. Meski menang dalam Pertempuran Heliopolis pada Maret 1800, Kléber dibunuh pada 14 Juni 1800. Dadanya dihujam belati oleh pemuda Suriah Suleiman al-Halabi.
Tampuk kepemimpinan militer Prancis yang beralih ke Jenderal Menou tak lagi mampu membendung koalisi Inggris-Utsmaniyah hingga menyerah usai Pengepungan Alexandria (17 Agustus-2 September 1800). Dua tahun berselang, Inggris mengembalikan pemerintahan di Mesir kepada Utsmaniyah.