SRI Lanka berada di titik nadir. Negeri-pulau itu menyatakan bangkrut akibat jeratan utang. Krisis ekonomi di negeri itu menjalar ke sendi-sendi politik dan sosial sejak Mei 2022 kala pemerintahannya menyatakan default alias ketidakmampuan membayar pokok utang luar negeri plus bunganya.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri (PM) Ranil Wickremisinghe sudah pasrah untuk mundur dari jabatannya. Namun bukan berarti rakyat Sri Lanka bisa begitu saja memaafkan. Ribuan massa menggeruduk Istana Kepresidenan di Kolombo. Akibatnya Presiden Rajapaksa gagal “kabur” ke Dubai, Uni Emirat Arab karena dihadang staf imigrasi di bandara pada Selasa (12/7/2022). Ia dan istrinya hanya bisa berlindung di Pangkalan Udara (Lanud) Katunayake yang bersebelahan dengan Bandara Internasional Bandaranaike.
Sri Lanka sudah mulai dijerat krisis sejak 2019. Situasinya makin pelik dengan utang luar negeri mencapai 51 miliar dolar Amerika (sekira Rp764 triliun).
Sedikitnya ada enam faktor yang mendorong Sri Lanka ke jurang kebangkrutan. Pertama, kurs asing yang menukik tajam sebagai akibat defisit perdagangan beberapa dekade lalu. Kedua, serangkaian aksi pemboman oleh teroris yang mengganggu industri pariwisata. Sepuluh persen GDP Sri Lanka berasal dari pariwisata dan upaya pemulihannya diperburuk situasi pandemi Covid 19. Ketiga, krisis sektor pertanian sebagai imbas kebijakan larangan penggunaan pupuk kimiawi demi pertanian organik yang dikeluarkan Presiden Rajapaksa pada 2021. Akibatnya terjadi kelangkaan pupuk yang bikin petani padi dan gula menjerit. Keempat, kebijakan revitalisasi ekonomi dengan pemotongan pajak yang justru menimbulkan efek backfire terhadap pendapatan negara. Kelima, blunder pengelolaan keuangan negara. Pinjaman luar negeri yang mestinya bisa menyokong ekonomi lokal untuk meningkatkan ekspor, justru dialihkan untuk impor. Keenam, konflik Ukraina-Rusia yang berperan bagi krisis energi dan pangan, khususnya minyak mentah dan gandum, menghasilkan inflasi harga BBM dan pangan di Sri Lanka.
Baca juga: Bobolnya Gedung Capitol
Kekacauan sosial dan politik juga berdampak pada upaya pencairan dana talangan IMF (International Monetary Fund). Padahal negosiasi antara Sri Lanka dan IMF sudah mulai berjalan sejak April silam.
“Ketidakstabilan politik mungkin akan menunda progres yang sudah kami jalani. Semakin cepat politik bisa stabil, akan lebih baik progres kami bernegosiasi dengan IMF. Kami juga sudah mengajukan permintaan tambahan kredit 1 miliar dolar dari India sejak kesepakatan kredit 400 juta dolar Januari lalu,” kata Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P. Nandalal Weerasinghe, dikutip Reuters, Senin (11/7/2022).
Matahari Tenggelam di Era Monarki
Krisis tahun ini jadi yang terburuk sejak negeri yang dahulu bernama Ceylon itu jadi negeri merdeka dengan bentuk pemerintahan republik pada 4 Februari 1948. Walau eranya sudah berbeda, konflik dan krisis utang seolah tak pernah berubah seiring zaman, termasuk di era kolonialisme maupun monarki terakhirnya.
Sri Lanka adalah negeri yang kaya sutera, teh, gula, kayu manis, merica, dan biji pinang yang dibidik para kolonialis Eropa di awal abad ke-16. Adalah penjelajah Portugis bernama Lourenço de Almeida yang mengawali eksplorasinya ke Sri Lanka pada 1505. Mereka menyebut negeri itu dengan nama “Seylan”.
Monarki di Seylan saat itu terbagi menjadi empat: Kerajaan Kotte, Kerajaan Sitawaka, Kerajaan Jaffna, dan Kerajaan Raigama. Konflik kekuasaan di antara kerajaan-kerajaan itu dimanfaatkan penjelajah Portugis dengan menancapkan eksistensinya di wilayah-wilayah pesisir barat hingga mendirikan koloni Ceilão Português atau Seylan-Portugis pada 1597.
Baca juga: Konflik Kashmir Tiada Akhir
Di bawah ketiak Portugis, Kerajaan Kandy muncul dan beraliansi untuk merebut banyak wilayah Kerajaan Kotte dan Sitawaka. Pada 1594, Kerajaan Kandy jadi satu-satunya monarki yang bertahan di antara reruntuhan kerajaan lainnya.
Namun, Kerajaan Kandy yang menguasai pedalaman pulau lama-kelamaan makin gerah dengan monopoli Portugis di wilayah pesisir. Ia kemudian mencoba menggandeng kolonialis Belanda untuk mendepak Portugis. Kebetulan saat itu Republik Belanda melalui Kongsi Dagang Hindia Timur VOC sudah punya kantor di Coromandel, pesisir Teluk Benggala. Aliansi dengan VOC (Belanda) itulah yang digalang Rajasinghe II dari Kerajaan Kandy lewat Traktat Kandy (23 Mei 1638).
Mengutip Richard Gerald Anthonisz dalam The Dutch in Ceylon, Rajasinghe II yang bertemu Komandan VOC Adam Westerwold dan wakilnya, Willem Jacobszoon Coster di Batticaloa, menyepakati 20 prinsip aliansi. Empat di antaranya Belanda setuju berdiri di barisan Kandy mengusir Portugis; segala utang militer Kandy kepada Belanda selama peperangan dengan Portugis akan dibayar dengan komoditas kayu manis, lada, dan lilin lebah; Belanda diberikan monopoli segala komoditas perdagangan kecuali gajah; serdadu VOC berhak menempati benteng-benteng yang ditinggalkan Portugis.
“Setahun kemudian, Belanda mulai merebut dua provinsi dari Portugis dan diserahkan kepada Kandy. Sementara di Eropa pada pertengahan abad ke-17, pemerintah Portugal dan Belanda sepakat untuk menyerahkan semua perkebunan kepada Belanda, walau beberapa kolonialis Portugis di Sri Lanka menolak. Hasilnya perang pada 1652 menghancurkan sisa-sisa wilayah Portugis dan pada Mei 1655, Belanda merebut Kolombo, serta mengamankan segenap wilayah eks-Portugis di pesisir Sri Lanka pada 1658,” tulis Trudy Ring, Noelle Watson, dan Paul Schellinger dalam Asia and Oceania: International Dictionary of Historic Places.
Tapi kolonial tetaplah kolonial. VOC yang mulai menancapkan kuku-kukunya setahun pascatraktat (1640) dengan basisnya di Galle dan kemudian Kolombo, acap memberikan tekanan perihal monopoli perdagangan. Di sisi lain, Kerajaan Kandy mulai menumpuk utang dari kebutuhan militer VOC.
Baca juga: Sri Lanka Tempat Pembuangan VOC
Akibatnya, VOC dan Kandy terlibat konflik. Pada 1645-1649, Rajasinghe II mengobarkan perang untuk merebut kembali beberapa wilayah pesisir. Meski gagal, taktik bumihangus Rajasinghe II memaksa VOC duduk ke meja perundingan.
Traktat Kandy 1638 disepakati dua pihak untuk direvisi. Salah satu poinnya adalah VOC setuju menyerahkan beberapa wilayah. Poin itu kemudian gagal ditunaikan lantaran syarat Rajasinghe II untuk membayar utang belum terpenuhi.
“Menurut (revisi) traktat itu, pihak Kandy menuntut pemulihan wilayah di semua eks-kekuasaan Portugis tetapi diacuhkan Belanda. Pihak Belanda mendasarkan keengganan mereka dengan klaim kegagalan raja Kandy membayar utang kampanye militer. Poin soal ini terus-menerus jadi alasan konflik antara Kandy dan Belanda sampai 1766. Membuat posisi Kandy terkunci di pedalaman dan status quo itu bertahan sampai kedatangan Inggris pada 1796,” ungkap Roland Wenzlhuemer dalam From Coffee to Tea Cultivation in Ceylon, 1880-1900: An Economic and Social History.
Kedatangan Inggris juga setali tiga uang. Nasib bumiputera Sri Lanka tak lebih baik dari saat dijajah Belanda. Belum selesai urusan dengan Belanda, Inggris keburu melancarkan invasi pada musim panas 1795 yang didorong perubahan politik di Eropa.
“Pada 1795, (Republik) Belanda yang selama ini jadi sekutu Inggris, ditumbangkan pasukan Republik Prancis. Ceylon di timur sudah ditargetkan pula untuk dikuasai Inggris. Di sisi lain Kandy yang bergulat dengan kedaulatannya, sempat berharap Inggris mau membantu mengusir Belanda yang 150 tahun sebelumnya membantu mengusir Portugis dari negeri itu,” tulis penjelajah cum Gubernur Jenderal British Ceylon (1846-1847) James Tennent dalam Ceylon: An Account of the Island, Physical, Historical, and Topographical With Notices of Its Natural History, Antiquities and Productions.
Inggris tak ingin wilayah-wilayah strategis di Hindia Timur, khususnya Ceylon, jatuh ke tangan Prancis dengan negara bonekanya Republik Batavia. Maka, lanjut Tennent, armada ekspedisi Inggris pimpinan Laksamana Peter Ranier dan Kolonel James Stuart berangkat dari Madras pada 1 Agustus 1795 menuju Trincomalee guna melancarkan pengepungan terhadap garnisun Belanda selama tiga pekan.
“Sebulan kemudian Jaffna menyerah dan Calpentyn diduduki pada 5 November. Saat Adigâr (setara perdana menteri) Kandy dikirim Rajadhi Rajasinha untuk menegosiasikan traktat dengan Inggris pada awal 1796, Kolonel Stuart sudah menguasai Kolombo. (Gubernur VOC di Ceylon, Johan) Van Angelbeek meneken kapitulasi dan pada malamnya, bendera Inggris berkibar di tembok kota Kolombo,” tambah Tennent.
Baca juga: Mula Kristen di Sri Lanka
Koloni Belanda pun tamat ceritanya pada 15 Februari. Lennox A. Mills dalam Ceylon Under British Rule, 1795-1932 mencatat, terhadap kekuatan militer Belanda, Kandy masih bisa mengimbangi. Namun tidak dengan Inggris. Terlebih Inggris menuntut Kandy menjadi bagian dari koloni berstatus protektorat.
Tuntutan itu ditolak Rajadhi Rajasinha. Sementara, di internal kerajaannya mulai terasa benih-benih pemberontakan.
“Pada 1798, Kandy adalah kerajaan yang lemah dan jauh tertinggal dari provinsi-provinsi di pesisir dalam hal kekayaan dan peradaban. Pasukannya tak terlatih dan mayoritas milisi dari kalangan petani. Sang raja juga dikenal raja yang zalim terhadap rakyatnya, hingga menimbulkan ambisi-ambisi untuk menumbangkannya dari kalangan beberapa bangsawan. Salah satunya Adigâr Pilimatalavuva Maha Adikaram III,” tulis Mills.
Di tahun itu pula Kerajaan Kandy berganti penguasa. Rajadhi Rajasinha yang tak punya putra mahkota digantikan keponakannya, Pangeran Kannasamy. Ia naik takhta dan menyandang nama Sri Vikrama Rajasinha akibat permainan politik “sang sengkuni” Pilimatalavuva Maha Adikaram.
“Pilimatalavuva yang meyakinkan para menteri lain memilih raja baru yang masih muda dan belum berpengalaman di antara para persaingan bangsawan lain. Dia yang membawa (pangeran) Kannasamy menjadi raja dengan niat di saat yang tepat, Pilimatalavuva akan menyingkirkannya untuk menggantikannya jadi raja,” sambung Mills.
Diam-diam Pilimatalavuva menawarkan persekutuan dengan Gubernur British Ceylon Frederick North untuk menjatuhkan Raja Vikrama. Harapannya agar Inggris membantunya naik takhta. Namun, itu gagal lantaran Gubernur North bersikeras Kandy bakal tetap jadi protektorat, bukan kerajaan berdaulat.
Baca juga: Konflik Muslim-Hindu India dari Masa ke Masa
Tetapi ambisi sang perdana menteri belum padam. Ia memanipulasi sang raja untuk memulai konflik dengan Inggris hingga mereka mendeklarasikan perang terhadap Inggris pada 22 Maret 1803.
“Saat pasukan Jenderal McDowall menginvasi Kandy, Raja Vikrama mengungsi ke pedalaman hutan. Tak lupa ia juga melancarkan taktik bumi hangus. Garnisun Inggris sempat menduduki Kandy untuk beberapa bulan sampai akhirnya pasukan Kandy menyerang balik dan membantai pasukan Inggris. Kandy sempat bangkit walau pada 1815 terjadi perpecahan karena kezaliman sang raja terhadap para biksu Budha. Akibatnya Kandy kembali melemah dan Inggris dengan mudah menguasai Kandy pada Februari 1815,” sambung Trudy Ring dkk.
Raja Vikrama dipaksa menerima Konvensi Kandy yang berisi 12 klausul pada 2 Maret 1815. Salah satu poinnya adalah Raja Vikrama diharuskan turun takhta dan keturunannya tak lagi berhak meneruskan dinasti. Poin itu mengakhiri era monarki di Sri Lanka setelah 2358 tahun.
Vikrama sebagai raja terakhir diasingkan ke daratan India. Pada 24 Januari 1816, Raja Vikrama beserta empat istri dan 60 kerabatnya dikawal dari Kolombo menuju pembuangannya di Madras dengan kapal HMS Cornwallis. Ia ditahan di Vellore Fort sampai tutup usia pada 30 Januari 1832.