Sekitar abad ke-16, Turki Usmani memegang peran penting di Timur Tengah, sebagian Eropa hingga Asia Tengah. Kejayaan itu kemudian terdengar sampai ke Aceh yang tengah berperang melawan Portugis. Sultan Aceh pun meminta bantuan kepada Turki Usmani dan dikabulkan dengan dikirimnya bantuan untuk Aceh.
Demikianlah arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo mejelaskan fase awal relasi Aceh-Turki Usmani tersebut dalam dialog sejarah “Menggali Bukti Hubungan Nusantara-Turki” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa 1 September 2020. Meski Turki membantu Aceh, Bambang sepakat dengan pendapat para sejarawan yang menyebut bahwa hubungan Aceh dengan Turki Usmani hanya sebatas hubungan diplomatik.
Perjalanan mengirim bantuan itu, menurut Bambang, tidak mudah. Saat itu belum ada Terusan Suez. Untuk sampai ke Aceh melalui jalur laut, kapal Turki Usmani harus mengitari Benua Afrika, melewati Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, pesisir India, baru ke Pulau Sumatra.
Baca juga: Adakah Jejak Khilafah di Nusantara?
“Jadi, kalau menurut saya, kalau kita lihat dari perjalanan yang cukup menyulitkan dan berbahaya, itu bisa jadi mereka berangkat menyeberangi Laut Mediterania ke Palestina atau mana, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki. Dengan kafilah, onta, menyeberangi padang pasir kemudian ke pelabuhan yang ada di Samudra Hindia baru naik kapal ke Nusantara,” terang Bambang.
Jauhnya jarak antara Turki dengan Aceh inilah yang juga menjadi sebab terbatasnya hubungan kedua kesultanan. Bambang menyebut bantuan resmi hanya sekali. Bantuan kedua gagal karena dialihkan untuk meredam pemberontakan di Yaman.
“Nah apa bukti arkeologisnya? Itu (Turki Usmani) mengirimkan meriam. Itu meriamnya yang dari Turki Usmani. Sekarang yang ini ada di Belanda,” jelas Bambang.
Sampai saat ini, secara arkelogis baru meriam yang bisa memperkuat adanya bantuan dari Turki. Bambang menyebut meriam-meriam serupa juga kemungkinan bisa ditemukan di Aceh sekarang.
Baca juga: Kesultanan Aceh Pernah Minta Jadi Vasal Turki Usmani
Lebih lanjut Bambang memaparkan bahwa temuan arkeologis justru menunjukan hubungan dagang yang erat antara Nusantara dengan Persia. Pasalnya, banyak ditemukan botol, gelas, manik kaca, dan manik batu dari Persia di wilayah seperti Barus, Jambi, Palembang, dan perairan Cirebon. Benda-benda berasal dari abad ke-10 ini dipakai untuk ditukar dengan komoditas di Nusantara seperti rempah-rempah.
“Di dasar laut perairan Cirebon, kita menemukan satu kapal yang sarat dengan muatan. Muatan dari berbagai bangsa, ada yang dari Persia, ada yang dari Tiongkok, ada yang dari Birma, ada yang dari Sumatera sendiri,” ungkap Bambang.
Dalam temuan-temuan itu, beberapa di antaranya berupa benda keagamaan. Dari Persia sendiri ditemukan cetakan liontin bertuliskan aksara gaya Kufik abad-10 dari Pelabuhan Kuffah (sekarang masuk Irak).
“Banyak huruf-huruf Kufik ini yang ada di Nusantara. Ini yang paling tua. Yang berikutnya itu abad ke-13 pada makam-makam di Aceh, makam-makam di Surabaya,” kata Bambang.
Baca juga: Benarkah Kesultanan Demak Bagian dari Turki Usmani?
Pada nisan-nisan tersebut ditemukan kalimat-kalimat Sufi yang mengacu pada tradisi Syiah yang berkembang di Persia. Sampai saat ini, pengaruh tradisi Syiah masih bisa dilihat dari adanya wali-wali atau orang suci pada Islam di Nusantara. Kemudian ada pula beragam kesenian maupun karya sastra bernafaskan Sufi.
Bambang menyebut, temuan arkelogis berupa kaca-kaca Persia juga banyak ditemukan di Barus, Sumatera. Hal ini kemudian menjunjukan adanya hubungan Persia dengan Sriwijaya sejak abad ke-8.
Saat itu, Barus menjadi pelabuhan ramai yang didatangi berbagai suku-bangsa untuk berdagang termasuk dari Timur Tengah dan Persia khusunya. Sementara itu, batu nisan yang menunjukkan komunitas Islam di Barus berasal dari abad ke-10 hingga 11.
“Yang tidak mustahil adanya kontak dengan Persia, tentunya Islam juga sudah ada di situ. Bahkan agama Kristen pun ada di Barus. Ada indikasi Kristen Nestorian yang sekarang tidak berkembang di Nusantara, ada di Barus,” ujarnya.