GEMURUH badai pasir di Gurun Sahara pada suatu hari di bulan Februari tahun 331 Sebelum Masehi (SM) itu akhirnya berlalu. Raja Makedonia Alexander III (diperankan Buck Braithwaite) bisa menghela nafas lega usai berlindung di balik untanya. Beratnya perjalanan ke barat melewati lautan pasir di Mesir tersebut membuahkan hasil.
Segala lelah Alexander terbayar lunas. Dari sebuah bukit, ia memandang sebuah oasis dengan sebuah kuil di hadapannya dengan mata berbinar-binar. Bersama pasukan kecilnya, Alexander melangkah menuju Oasis Siwa dan Kuil Amun itu. Oasis dan kuil keramat itu dicari oleh banyak penakluk tapi umumnya mereka gagal di perjalanan, termasuk Raja Persia Cambyses (530-522 SM) yang 50 ribu prajuritnya ditelan badai pasir.
Pencapaian Alexander jadi salah satu momen penting yang ditonjolkan trio sutradara Hugh Ballantyne-Stuart Elliott-Mike Slee pada episode 3 serial dokumenter-drama (docudrama) Alexander: The Making of God. Berbeda dari film feature epik atau dokumenter lain yang dikagumi banyak tokoh macam Mehmed II (1432-1481) dan Napoleon Bonaparte (1769-1821), dokudrama anyar ini memberi porsi besar pada sisi lain Alexander ketimbang dramatisasi percintaan atau taktik militer lewat enam episode. Tentu dengan menyesuaikan keakuratan fakta sejarahnya.
Baca juga: Napoleon yang Sarat Dramatisasi
Alasannya, bicara apapun tentang Alexander, masih sangat relate bahkan sampai sekarang. Tim produksi mengombinasikan alur dramanya dengan penampakan kota Alexandria, tepatnya di situs ekskavasi pimpinan Kalliopi Limneos-Papakosta. Direktur Hellenic Institute for the Research of Alexandrian Culture itu merupakan arkeolog ternama yang masih mencari makam atau sarkofagus Alexander yang hingga kini tetap jadi misteri. Dipercaya, makam Alexander terkubur di Alexandria, kota terbesar kedua di Mesir yang didirikan Alexander pada 331 SM usai menguasai Mesir.
Dalam alur cerita dramanya, Alexander menguasai Mesir mulai Desember 332 SM setelah merebut kota-kota pesisir di Timur Tengah dari tangan Persia. Keputusan Alexander itu menjadi anomali tersendiri karena ia memilih “rute penaklukan” yang berbeda dari para pendahulunya.
Alexander menandai momentum kampanyenya dengan kemenangan di Pertempuran Granicus pada Mei 334 SM. Ambisi Alexander yang sebelumnya disepelekan Persia mulai jadi perhatian serius penguasa Kekaisaran Persia Darius III (Mido Hamada) pasca-Pengepungan Halicarnassus (September 334 SM).
Didampingi jenderal dan calon menantunya, Mazaeus (Alain Ali Washnevsky), Darius III memimpin sendiri pasukannya untuk bentrok di Pertempuran Issus pada November 333. Meski hanya membawa 37 ribu prajurit, Alexander dengan taktik pertempurannya yang inovatif mampu membuat 100 ribu prajurit Persia berantakan.
Saking daruratnya, penasihat kekaisaran Bessus (Waleed Elgadi) sampai memaksa Darius melarikan diri meninggalkan pasukannya sekaligus istrinya, Stateira (Agni Scott), dan putrinya, Barsine (Nada el-Belkasmi). Istri dan putrinya akhirnya ditawan Alexander.
Baca juga: The Old Guard, Misteri Ksatria Abadi dalam Lorong Sejarah
Namun bukannya langsung mengejar Darius dan terus bergerak ke timur menuju pusat Kekaisaran Persia di Babilonia (kini Hillah, Irak), Alexander memutuskan bergerak lebih dulu ke selatan merebut Damaskus, Gaza, Pelusium (kini Port Said, Mesir), Memphis, hingga mendirikan Alexandria. Tidak hanya dengan mudah menguasai orang-orang Mesir lantaran punya musuh bersama, yakni Persia, Alexander bahkan dinobatkan sebagai Firaun dan titisan putra Dewa Amun.
Namun ia merasa belum lengkap dijuluki putra Dewa Amun jika tidak lebih dulu melakukan perjalanan ke Kuil Amun di Siwa. Apa yang terjadi ketika Alexander bersua sang peramal dan bagaimana pula kelanjutan penaklukannya? Saksikan sendiri dengan lebih detail di dokudrama Alexander: The Making of a God yang sudah mulai tayang di platform daring Netflix mulai 31 Januari 2024.
Kepercayaan Takhayul Alexander
Secara sinematografis, dokudrama ini diracik sederhana dengan pencahayaan terang dan music scoring opera yang memang tak semenggelegar film-film Sikandar (1941) atau Alexander the Great (1956). Adegan pertempuran-pertempuran besarnya pun tidak seepik Alexander (2004). Namun dokudrama ini memberi sajian yang berbeda meski tidak dibintangi aktor-aktor ternama: mengedepankan fakta-fakta sejarah berdasarkan catatan-catatan yang ada.
Terlepas dari sesaknya efek visual, penonton tetap diberikan variasi penjelasan para sejarawan yang mendalami kisah Alexander dan para arkeolog yang meneliti tentang peninggalan-peninggalannya. Seperti arkeolog Limneos-Papakosta, Prof. Lloyd Llewellyn-Jones (sejarawan Cardiff University), dan Dr. Salma Ikram (sejarawan American University of Cairo). Penjelasan mereka banyak mengungkapkan sisi lain Alexander yang jarang diketahui atau dibicarakan di ruang-ruang publik. Salah satunya tentang orientasi seksualnya. Dokudrama ini tak segan menampilkan adegan sensual Alexander, tidak hanya dengan Stateira namun juga adegan seksual sesama jenis dengan jenderal kepercayaannya, Hephaestion.
“Hubungan seksual sesama jenis terbilang biasa terjadi di dunia (peradaban) Yunani. Orang Yunani di masa itu tidak punya kata untuk homoseksualitas atau gay. Tidak ada istilah untuk itu. Yang ada hanya hubungan seksual,” terang Prof. Llewellyn-Jones dalam dokudrama itu.
Alexander, kata Dr. Ikram, memang punya hubungan seksual dengan banyak perempuan dan laki-laki. Di era sekarang disebut “biseksual”. Ia mengungkapkan, “Hephaestion tidak hanya sahabat yang dirangkul dan disayangi tapi juga mungkin cinta sejatinya (Alexander).”
Baca juga: Nestapa Sabaya
Alexander juga digambarkan tidak hanya seorang jenius dalam militer, filsafat, serta sastra, dalam beberapa catatan rupanya ia juga seorang yang percaya pada takhayul. Seperti yang ditampilkan pada episode 1, di mana ia percaya perkataan ibunya, Olympias, bahwa ia adalah putra Dewa Zeus. Atau di episode 2 jelang Pertempuran Granicus, di mana Alexander lebih dulu “ziarah” ke Kuil Achilles di kota Troy. Achilles sang pahlawan Perang Troya (sekitar abad ke-12 atau ke-13 SM) diidolakan Alexander berkat narasi syair Illiad karya Homer yang dibacanya sejak muda. Alexander bahkan mengambil baju zirah Achilles untuk dikenakannya di Pertempuran Granicus dengan sugesti bahwa spirit Achilles bersama dirinya.
Partha Sarathi Bose dalam Alexander the Great’s Art of Strategy: The Timeless Leadership Lessons of History’s Greatest Empire Builder menulis, sebelum memulai kampanyenya ke timur, Alexander lebih dulu menyambangi kota Troy pada Mei 334 SM. Ia lalu membawa sepasukan kecil untuk memanjat sebuah tebing di mana kuil Achilles berada.
“Alexander memasuki kuilnya, menanggalkan baju zirah yang ia kenakan dan mempersembahkannya sebagai hadiah untuk dewa-dewi. Di dinding kuil ia melihat perisai dan baju zirah Achilles. Menurut beberapa saksi, baju zirah Achilles itu kemudian dikenakan Alexander. Baju zirah itu selalu ia bawa ke mana-mana, termasuk sampai ke Pertempuran Mallian (kini Multan, 325 SM) di India,” tulis Bose.
Baca juga: Brutal dan Primitifnya Sejarah Roma dalam Romulus
Masih di episode 2, pasca-mengunjungi Troy, Alexander beralih ke Gordium, situs tempat Simpul Gordian berada. Waldemar Heckel dalam The Conquests of Alexander the Great mengungkapkan, Alexander percaya bahwa siapapun yang mampu menguraikan sebuah simpul kuno yang masih terikat di sebuah gerobak di situs itu akan ditakdirkan menguasai segenap Asia.
“Akan tetapi bagi siapapun yang gagal (menguraikan simpulnya), dipercaya akan membawa nasib buruk. Namun Alexander dengan sinisnya mencabut pedangnya dan memotong simpulnya. Lagi pula tidak ada syarat yang spesifik bahwa simpul itu harus terurai dengan tangan,” ungkap Heckel.
Alexander kemudian melakukan perjalanan mencapai Kuil Amun di Oasis Siwa. Dalam dokudrama itu, Alexander dikisahkan menjadi pribadi yang berbeda usai bersua dengan sang peramal.
“Menurut Arrian (Nicomedia, 146-160 M) dalam Anabasis Alexandri, Alexander berkonsultasi dengan sang peramal di Siwa dan mendapatkan jawaban yang memuaskan; akan tetapi Arrian tidak menerangkan pertanyaan dan jawaban itu. Plutarch (46-119 M) mengungkapkan sang peramal menyambut Alexander sebagai putra (dewa) Zeus-Ammon dan menyampiakan bahwa kekaisaran dunia (Persia, red.) akan dijaga untuknya dan para pembunuh Raja Philip (ayah Alexander) akan dihukum,” tulis Leonides V. Landicho dalam Alexander the Great in Bible Prophecy.
Baca juga: Kala Napoléon Dianggap Putra Nabi
Sementara, versi sejarawan dan filsuf Romawi Quintus Curtius Rufus yang menulis Historiae Alexandri Magni pada abad ke-1 Masehi menyebutkan, peramal itu menyapa Alexander sebagai putra Dewa Ammon. Alexander menjawab bahwa tubuhnya membuatnya lupa bahwa ia adalah putra dewa dan ia memerlukan wilayah kekuasaan di seluruh dunia dan akan menentukan nasib pembunuh ayahnya.
“Setelah mengunjungi peramal di Siwa, Alexander diabadikan dalam koin bergambar dirinya dengan tanduk kambing di kepalanya. Ini adalah simbol Dewa Zeus-Ammon dan diyakini pula sebagai simbol bahwa Alexander mengampanyekan keilahiannya. Itu juga menjadi kampanye politiknya bahwa ia sudah terlegitimasi sebagai penguasa di Mesir dan wilayah lain di Timur Tengah,” tukasnya.
Deskripsi Film:
Judul: Alexander: The Making of a God | Sutradara: Hugh Ballantyne, Stuart Elliott, Mike Slee | Produser: Sana El Kilali, Lucy van Beek, Nick Catliff, Tony Mitchell, Malcolm Scerri-Ferrante, Emma Falkus | Pemain: Buck Braithwaite, Mido Hamada, Nada El Belkasmi, Alain Ali Washnevsky, Will Stevens, Dino Kelly, Agni Scott, Jadran Malkovich, Waleed Elgadi | Produksi: LionTV, Tailfeather Productions | Distributor: Netflix | Genre: Dokumenter-Drama | Durasi: 37-44 menit (6 Episode) | Rilis: Netflix 31 Januari 2024.