Dalam video yang beredar terdapat cuplikan pidato sambutan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta pada 8–11 Februari 2015, sebagai berikut:
“Pada 1479 Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam Turki untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera Laa Ilaaha Illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka’bah dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki.”
Mengomentari pernyataan tersebut, Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan bahwa dalam konteks sejarah, data harus ditampilkan apa adanya, bahwa kemudian ada penafsiran tentu saja sah asalkan sesuai ketentuan keilmuan. Penafsiran itu biasa tapi menjadi masalah ketika penafsiran itu diarahkan untuk menjustifikasi apa yang sudah ada di kepala kita. Karena dalam konteks akademik, kita yang harus mengikuti data, bukan data yang dipaksa mengikuti keinginan kita. Jadi, harus hati-hati dalam menafsirkan.
Baca juga: Adakah Jejak Khilafah di Nusantara?
“Bahwa kita punya subjektivitas, mungkin iya, tetapi sesuai prinsip keilmuan, kita yang harus mengikuti data lalu kita tafsirkan. Bahwa kita salah dalam menafsirkan, tidak apa-apa, yang penting jangan bohong,” kata Oman dalam dialog sejarah “Khilafah di Nusantara, Benarkah Ada Jejaknya?” yang disiarkan langsung di kanal Youtube Historia.id, Selasa, 25 Agustus 2020.
Misalnya, kata Oman, sebut saja dalam konteks Kesultanan Yogyakarta. Sekarang ada data meskipun kontemporer, yaitu pernyataan Sultan Hamengkubuwono X tentang Demak bagian dari Turki Usmani. Anggap saja itu data, tapi kemudian itu harus diverifikasi dan diuji dengan sumber lain.
“Kita punya sumber yang lebih primer, yaitu sumber-sumber di Arsip Ottoman dari Prof. Ismail Hakki Kadi, kolega saya juga, yang menjelaskan sejauh penelitian dia terkait dengan arsip-arsip yang ada di sana, kalau dengan Jawa tidak ada bukti bahwa ada kontak apalagi sebagai bagian dari Turki Usmani,” kata Oman.
Baca juga: Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro
Kalau dengan Aceh, lanjut Oman, relasi dengan Turki lebih kentara, lebih jelas sejak abad ke-15. Di beberapa dokumen disebutkan Aceh beberapa kali mengajukan diri untuk menjadi vasal, bagian dari Turki Usmani, terutama di abad ke-16.
Sementara itu, dalam sejarah Kesultanan Demak sendiri, tahun 1479 yang disebut Sultan Hamengkubuwono X, adalah tahun yang penting karena pada tahun itu Masjid Agung Demak didirikan oleh walisongo. Tahun itu didapat dari hasil membaca candrasengkala berupa gambar penyu (kura-kura) di dinding pengimaman: kepala (1), kaki berjumlah empat (4), badan (0), dan ekor (1), sehingga didapatkan angka 1401 Saka atau 1479 M.
Mengenal Turki Usmani
Selain Kesultanan Aceh, Oman mengatakan bahwa sumber-sumber manuskrip mengindikasikan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara juga mengenal Turki Usmani, tapi bukan dalam konteks khilafah. “Kalau wacana khilafah saya bisa katakan tidak ada,” tegas Oman.
Oman mencontohkan, di Palembang ada manuskrip yang menyebutkan seorang sultan yang diangkat pada masa Sultan Sulaiman, anak Sultan Ibrahim Khan, menjadi raja di negeri Istanbul.
Poinnya adalah manuskrip-manuskrip itu mengindikasikan bahwa sultan-sultan di Nusantara mengenal Turki Usmani karena memiliki kekuasaan yang luar biasa sebelum awal abad ke-20.
“Tetapi saya mencari-cari [sumber] apakah mengenal [Turki Usmani] ini mengindikasikan kemudian [kesultanan-kesultanan di Nusantara] menjadi bagian dari Kekhalifahan Turki Usmani, itu saya tidak menemukannya, bahkan di Aceh, saya tidak menemukannya juga,” kata Oman.
Baca juga: Kesultanan Aceh Pernah Minta Jadi Vasal Turki Usmani
Kesultanan Demak termasuk yang mengenal Turki Usmani. Sejarawan Belanda, H.J. de Graaf dan filolog Belanda, Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, menyebut bahwa Sultan Trenggana mengetahui tentang Turki Usmani dari Nurullah atau Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, yang menikah dengan adik sultan Demak ketiga itu.
Nurullah berasal dari Pasai. Ketika Portugis menduduki Pasai pada 1521, dia pergi naik haji ke Makkah. Sekembalinya dari Tanah Suci, dia tidak bermukim di Sumatra atau Semenanjung yang dikuasai atau terancam oleh Portugis, melainkan pergi ke Pulau Jawa di mana dia disambut baik oleh sultan Demak.
“Mungkin Nurullah sebagai peziarah dari Makkah mengetahui perkembangan pemerintahan Kesultanan Turki di Asia Daratan dan Eropa Timur. Dia menganjurkan kepada raja Demak, iparnya, untuk bertindak sebagai raja Islam sejati,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Baca juga: Demak Mengislamkan Banten
Menurut De Graaf dan Pigeaud, gelar sultan yang dipakai Trenggana dan perluasan kekuasaan dengan kekerasan yang merugikan kerajaan “kafir” Majapahit mungkin sebagian merupakan pengaruh Nurullah, yang dalam perjalanannya telah menginsafi benar panggilan Islam untuk memperluas daerahnya. Demak menyerang Majapahit sekitar tahun 1524 dan 1527. Kemudian Demak juga menyerang Banten.
“Dengan izin dan bantuan Sultan Trenggana, tidak lama sesudah tahun 1524 Nurullah berangkat dari Demak menuju ke Banten untuk mendirikan jemaah Islam di daerah raja ‘kafir’ Pajajaran,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Setelah mendirikan Kesultanan Banten yang diserahkan kepada anaknya, Maulana Hasanuddin, Nurullah kemudian pergi dan menjadi sultan Cirebon.
Ingin Seperti Sultan Turki
Pengganti Sultan Trenggana, yaitu anaknya yang kedua, Susuhunan Prawata atau Pangeran Ratu, juga mengetahui Turki Usmani bahkan ingin seperti sultan Turki. Hal itu terungkap dalam sumber Portugis berupa surat dari Manuel Pinto (bukan Fernao Mendez Pinto) kepada Uskup Besar di Goa, India, bertanggal 7 Desember 1548, yang dikirim dari Malaka.
“Ternyata, penulisnya singgah di Jawa dalam perjalanan pulang dari Sulawesi Selatan kembali ke Barat, dan mengadakan pembicaraan dengan raja. Menurut tanggalnya, mungkin raja itu Susuhunan Prawata,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Dalam suratnya, Manuel Pinto menyebutkan bahwa raja Jawa itu sedang berusaha mengislamkan seluruh Pulau Jawa. Raja berkata, bila usaha ini berhasil, dia akan menjadi segundo turco, maksudnya menjadi sultan Turki yang kedua, setaraf dengan Suleiman I, Sang Pencinta Kemewahan (1520–1566).
Raja Jawa itu mengira akan dapat dengan mudah menjatuhkan Malaka dengan menutup jalur-jalur pengiriman beras dari Jawa. Dia juga berkata sedang mempertimbangkan untuk mengirimkan ekspedisi ke Sulawesi Selatan dengan maksud menaklukkan dan mengislamkan daerah itu. Manuel Pinto berusaha supaya raja membuang pikiran tersebut karena khawatir ekspedisi tentara Jawa itu akan merugikan Pastor Vicente Viegas yang waktu itu juga sedang berusaha memperkenalkan agama Kristen di Sulawesi Selatan.
Baca juga: Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan
Dari berita-berita Manuel Pinto, menurut De Graaf dan Pigeaud, dapat ditarik kesimpulan bahwa raja Jawa itu mengetahui sedikit mengenai perkembangan politik di Eropa. Pada 1547 Sultan Suleiman I telah mengkonsolidasikan kedudukannya di daerah-daerah Hungaria dengan mengadakan perjanjian dengan Kaisar Karel V. Sehingga, dia pun dianggap sebagai pahlawan agama Islam.
Raja Demak mengetahui tentang Turki Usmani dari seorang Portugis murtad yang berasal dari Algarvia, wilayah Portugis paling selatan. Dia dikenal dengan nama Coje Geinal (mungkin Khoja Zainu’l-Abidin) yang bekerja membuat meriam untuk raja. “Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang inilah yang banyak memperluas pengetahuan Keraton Demak tentang Eropa dan penyebaran agama Islam,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Ternyata, kemampuan Susuhunan Prawata tak sebesar ambisinya ingin seperti sultan Turki.
“Pemerintahan pendek Susuhunan Prawata (1546–1549) merupakan antiklimaks terhadap masa kejayaan raja yang mendahuluinya, Sultan Trenggana, yang sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Baca juga: Mata-Mata Pembunuh Sultan Demak
Pada 1549, Susuhunan Prawata dibunuh oleh Arya Penangsang, adipati Jipang, yang membalas dendam kematian ayahnya, Pangeran Seda Lepen. Beberapa sumber berbeda soal pembunuhan itu.
Pertama, Prawata menyuruh membunuh pamannya itu agar ayahnya, Trenggana bisa menjadi raja Demak. Kedua, pembunuhan Seda Lepen dilakukan setelah Trenggana meninggal karena dia juga calon pengganti raja. Ketiga, Seda Lepen adalah kakak bukan paman Prawata, yang dibunuh karena juga berhak menggantikan ayahnya sebagai raja Demak. Keempat, orang yang dibunuh itu bernama Pangeran Saba Kingking, ayah Arya Penangsang, yang kemudian membalas dendam dengan membunuh Prawata.
Setelah berhasil membunuh Prawata dan Pangeran Kalinyamat, Arya Penangsang berusaha membunuh Jaka Tingkir, adipati Pajang dan menantu Trenggana. Namun, dia gagal, sebaliknya Jaka Tingkir yang berhasil membunuhnya. Kesultanan Demak pun berakhir setelah Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaannya ke Pajang. Namun, kejatuhan Demak tidak mempengaruhi wibawa relijius keturunan sultan Demak dan Masjid Agung Demak yang dibangun pada 1479.