Sekitar tahun 1524, Sunan Gunung Jati bersama anaknya, Maulana Hasanuddin, setelah mampir sebentar di Banten, kemudian menuju Banten Girang, ibu kota Kerajaan Sunda-Banten.
Mereka segera pergi ke Gunung Pulasari yang menjulang di atas Teluk Lada. Seolah-olah gunung itu tujuan utamanya. Sebab, gunung itu merupakan wilayah Bhramana Kandali. Di sana tinggal 800 ajar-ajar (pendeta) yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun. Penting bagi mereka mendatangi gunung keramat itu untuk menaklukkan secara batin kerajaan yang mereka incar sebelum merebutnya secara militer.
Saat itu, pengaruh Pakuan-Pajajaran atas Sunda-Banten melemah. Dalam Sajarah Banten, Pucuk Umun, yang digambarkan sebagai Panembahan Banten –sama dengan raja Sunda dalam sumber-sumber Portugis– menyatakan bahwa Pakuan-Pajajaran tidak lagi dipimpin oleh seorang raja melainkan oleh sejumlah bupati.
“Dapat diperkirakan bahwa negeri Banten memanfaatkan kelemahan Pajajaran untuk mendapatkan kembali kedaulatannya,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Kerajaan Demak juga memanfaatkan merosotnya Pakuan-Pajajaran untuk mengincar Sunda-Banten. Sekitar tahun 1520, Kerajaan Demak telah melancarkan beberapa kali serangan militer yang gagal. Ancaman Demak itu membuat penguasa Sunda-Banten meminta bantuan Portugis di Malaka.
“Untuk mempertahankan diri, Sunda-Banten cenderung meminta bantuan pada Malaka daripada Pakuan,” tulis Claude Guillot.
Sebagai imbalan, Sunda-Banten menawarkan kepada Portugis kemudahan dalam berniaga dan biaya pembangunan benteng pertahanan asalkan menempatkan pasukan di dalamnya. Pembangunan benteng direncanakan di muara Sungai Cisadane, di perbatasan barat kerajaan, untuk menahan serangan dari Demak.
Portugis terlambat menanggapi tawaran itu. Di pengujung tahun 1526, Hasanuddin bersama dua ribu pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dalam beberapa hari pertempuran. Mereka juga menghabisi pelaut kapal jenis brigantin yang karam karena khawatir orang Portugis itu akan membantu Sunda-Banten.
Setelah menguasai pelabuhan Banten, pasukan Demak menaklukkan Banten Girang, ibu kota Sunda-Banten, yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari hulu pelabuhan.
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Keberhasilan pasukan Demak itu karena pemimpin Sunda-Banten telah meninggal sekitar tahun 1526. “Pemimpin kota ini (Pucuk Umun, red.), yang dinamakan Sanghyang oleh sumber Portugis, baru saja meninggal, dan mungkin peristiwa inilah penyebab melemahnya perlawanan militer,” tulis Claude Guillot.
Selain itu, Hasanuddin juga mendapatkan bantuan dari dalam, yaitu Ki Jong dan Agus Jo, petinggi Sunda-Banten, yang telah masuk Islam.
“Dengan bantuan dari dalam, Ki Jongjo, salah seorang petinggi kota yang menjadi mualaf dan memihak kepada kaum Islam, pasukan Demak merebut pelabuhan Banten kemudian ibu kota Banten Girang,” tulis Claude Guillot.
Ki Jong dan Agus Jo disebut seorang ponggawa dari Pakuan-Pajajaran. Namun, Claude Guillot berpendapat bahwa Ki Jong dan Agus Jo adalah seorang Tionghoa atau berdarah Tionghoa. Alasannya jauh sebelum masuknya Islam, orang Tionghoa telah datang ke Banten. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya banyak pecahan keramik Cina di Banten Girang dan sekitarnya dari masa sebelum Dinasti Ming.
Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
“Juga terdapat tradisi penduduk terhadap dua makam yang masih ada di Banten Girang saat ini. Kedua makam ini dipercaya berada di tempat istana raja non-Islam terakhir, Pucuk Umun. Tradisi menyebutkan bahwa makam-makam itu adalah makam dua orang Tionghoa, Ki Jong dan Agus Jo, yang setelah memeluk agama Islam bekerja pada Raja Hasanuddin,” tulis Claude Guillot.
Ragam Pusaka Budaya Banten, yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, menyebut Sunan Gunung Jati menjadi penguasa pertama di Banten, tetapi tak mengangkat dirinya sebagai sultan, melainkan diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan putri Sultan Demak Tranggana pada 1526, dan diangkat sebagai Sultan Banten yang pertama pada 1552.
Hasanuddin memerintah selama beberapa tahun di Banten Girang. Para pendeta yang telah memeluk Islam disarankan hidup menetap di Gunung Pulasari. Sebab, jika tempat itu sampai kosong akan menjadi tanda berakhirnya Tanah Jawa. Dalam Babad Banten diceritakan bahwa penduduk Banten Girang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke pegunungan selatan yang sampai sekarang dihuni oleh keturunan mereka, yaitu orang Baduy. Kenyataan ini didukung kebiasaan orang Baduy berziarah ke Banten Girang.
Baca juga: Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten
Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan Hasanuddin untuk memindahkan istana ke kawasan pesisir pantai di pantai utara Pulau Jawa bagian barat. Setelah memastikan tempat untuk ibu kota yang kini dikenal dengan Banten Lama, Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk kepada Hasanuddin agar di tempat itu dibangun keraton, alun-alun, dan pasar.
“Jadi, dinasti Islam bukanlah pendiri Banten,” tulis Claude Guillot. “Sebenarnya dinasti ini merebut kekuasaan dalam sebuah negara yang memiliki sejarah panjang.”