Kesultanan Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan Turki Usmani terutama sejak abad ke-16. Aceh beberapa kali mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan militer. Mereka mengangkut komoditas dagang terutama lada untuk dipersembahkan kepada sultan Turki.
Bahkan, ada bukti kalau Aceh pernah mengajukan diri menjadi vasal atau negeri di bawah perlindungan Turki yang ketika itu merupakan imperium terkuat di dunia.
"Bahwa ada kontak diplomatik dengan Turki Usmaini, termasuk Jawa, mungkin saja. Kalau Melayu ada buktinya banyak, saya punya, khususnya Aceh," kata Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, dalam dialog sejarah "Khilafah di Nusantara, Benarkah Ada Jejaknya?" live di kanal Youtube Historia.id, Selasa, 25 Agustus 2020.
Sultan Selim II merespons permintaan bantuan dari Aceh. Turki mengirimkan instruktur, prajurit, dan senjata ke Aceh untuk melawan Portugis.
Baca juga: Pasukan Turki dalam Serangan Aceh ke Kerajaan Batak dan Aru
Pasukan Turki pertama yang tercatat diupayakan pada 1537 dan 1538. Namun, mereka kemungkinan tentara bayaran karena menerima imbalan sebanyak empat kapal lada.
Pasukan Turki juga terlihat dalam serangan Aceh ke Malaka pada 1547. Bantuan resmi pertama dari Turki yang diusahakan oleh utusan Aceh datang pada 1564 kemudian tahun 1568 untuk melawan Portugis.
"Turki negara super power waktu itu apalagi ada ikatan emosional, jadi Aceh minta bantuan ke sana," kata Oman. "Ada respons dan bantuan atas nama solidaritas keagamaan melawan Portugis."
Baca juga: Aceh Dibantu Turki Menaklukkan Aru dan Johor
Pada abad ke-19, berdasarkan hubungan yang pernah terjalin, Aceh menginginkan kembali sebagai vasal. "Ditagih lagi, Aceh meminta ditegaskan sebagai bagian dari Turki," kata Oman.
Namun, menurut Ismail Hakki Kadi, peneliti arsip Turki Usmani, meskipun pernah ada hubungan baik antara dua negara, itu tak cukup meyakinkan untuk mengabulkan permintaan Aceh. Maka, permintaan Aceh ditolak setelah melalui rapat Dewan Menteri (Majlis-i Vukela). Dengan demikian, sampai masa Sultan Daud Syah pada akhir abad ke-19, Turki tidak pernah menyetujui permintaan Aceh untuk menjadi salah satu wilayah atau vasalnya.
Alasannya, berdasarkan arsip Turki, jarak Turki dan Aceh yang jauh. Selain itu, Turki menilai tak ada keuntungan langsung yang bisa diraih jika mengabulkan permintaan Aceh.
"Terlalu jauh kalau secara politik harus mengurusi, tapi kalau atas nama solidaritas, kepada Aceh (bantuan, red.) dikirim juga. Ini sampai didiskusikan dengan gubernur Yaman," kata Oman.
Seandainya pun Turki mengabulkan permintaan Aceh menjadi vasal, dikhawatirkan banyak kerajaan lain yang menginginkan hal serupa. Artinya, Turki memang tak berkeinginan untuk menjadikan wilayah Nusantara sebagai bagian dari sistem pemerintahannya.
"Kalau sebagai saudara seagama, iya, Turki membantu. Ini bisa dibaca dalam surat-surat yang dikaji oleh Ismail Hakki Kadi," kata Oman.
Baca juga: Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro
Ditambah lagi, pada abad ke-19, Turki sudah melakukan kesepakatan untuk mengakui hukum Eropa, khususnya Belanda. "Jadi, Turki tidak bisa membantu Aceh melawan Belanda karena punya perjanjian hukum internasional untuk tak berkonflik dengan Belanda," kata Oman.
Karenanya, menurut Oman, pendapat bahwa Nusantara berada di bawah Kekhalifahan Turki Usmani tidak berbukti. "Untuk Aceh saja, yang jelas ada hubungan diplomatik kuat, sebetulnya tidak bisa diklaim sebagai bagian dari Turki Usmani. Apalagi kesultanan lain yang tumbuh sendiri-sendiri," kata Oman.
Bahkan, kata Oman, dalam konteks melawan kolonialisme pun tak ada indikasi persatuan atas nama keislaman di Nusantara. "Itu tidak saya temukan," ujarnya.
Baca juga: Kisah Aneh tentang Turki Usmani di Nusantara
Di luar konteks Aceh, kesultanan lain juga hanya sebatas mengetahui bahwa Turki Usmani adalah negeri yang kuat. Misalnya, Kesultanan Palembang. Ada manuskrip yang mencatat seorang sultan diangkat bersamaan dengan Sultan Sulaiman, anak Sultan Ibrahim Khan yang menjadi raja di Istanbul.
"Manuskrip di Nusantara memang mengindikasikan sultan-sultan Nusantara mengenal Turki Usmani, yang kala itu sangat powerfull, sebelum abad ke-20," kata Oman. "Apakah mengenal ini dianggap jadi bagian dari kekhalifahan Turki Usmani, saya tak menemukan buktinya."
Kendati begitu, Oman mengatakan penafsiran sejarah adalah hal yang biasa. Namun, dalam konteks akademik, penafsiran tidak sebaiknya untuk menjustifikasi apa yang sudah ada di dalam kepala si penafsir.
"Karena dalam konteks akademik, kita yang harus mengikuti data. Bukan data yang dipaksa mengikuti kita, ini harus hati-hati," kata Oman.
Apalagi, kata Oman, kalau mengklaim bahwa Nusantara adalah bagian dari Khilafah Turki Usmani dan persatuan Islam sedunia yang sudah dimusnahkan pada 1924. "Kita harus kembali ke zaman itu untuk keagungan Islam, saya kira terlalu mengglorifikasi," kata Oman.