Masuk Daftar
My Getplus

Pasukan Turki dalam Serangan Aceh ke Kerajaan Batak dan Aru

Kesultanan Aceh dibantu pasukan Turki menyerang Kerajaan Batak dan Aru. Mereka dibayar empat kapal lada. Sempat menang kemudian dibabat habis.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 21 Agt 2020
Ilustrasi pasukan Turki abad 16. (Wikimedia Commons).

Selain menghadapi Portugis, Kesultanan Aceh di bawah Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Shah al-Kahar, juga berambisi untuk menguasai Pulau Sumatra. Penentang utamanya adalah Kerajaan Batak yang luas dan memiliki jalur ke utara dan ke pantai barat Aceh, dengan pusat terletak di wilayah sungai Singkil yang masih dalam wilayah Batak, yakni Tapanuli.

Ekspansi kekuasaan itu sekaligus membawa misi agama. Dalam laporan penjelajah Portugis Fernao Mendes Pinto yang mengunjungi Sumatra pada 1539 disebut bahwa sultan Aceh mengirim beberapa duta ke Kerajaan Batak sebelum tahun 1539, mengajak raja Batak, untuk memeluk agama Islam. Karena penguasa Batak menolak ajakan itu, utusan Aceh mengancam bahwa sultan Aceh akan mengirim pasukan untuk menghancurkan Kerajaan Batak.

Sejarawan spesialis sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia menyebut bahwa perang pertama antara Aceh dan Kerajaan Batak berakhir dengan perjanjian perdamaian yang menguntungkan Kerajaan Batak. Namun, perjanjian ini hanya bertahan dua setengah bulan, waktu yang diperlukan oleh sultan Aceh untuk menunggu kedatangan tiga ratus orang Turki. Mereka tiba dari Selat Makkah dengan empat kapal besar yang dikirimnya ke situ dengan muatan lada, dan sekembalinya sarat muatan berpeti-peti bedil dan senjata-senjata yang lain, termasuk artileri berat dari perunggu dan besi tempa.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Aneh tentang Turki Usmani di Nusantara

Pasukan terlatih dengan persenjataan modern itu memungkinkan Aceh menghalau pasukan Batak yang melakukan pengepungan kembali ke bukit-bukit, dan menimbulkan korban yang besar di pihak Batak. Sehingga, seorang utusan Batak dikirim untuk meminta bantuan ke Malaka.

Penjelajah Portugis, Fernao Mendes Pinto. (Wikimedia Commons).

Reid menyebut bahwa bantuan Turki yang cukup besar bagi Aceh dan pertama kali dicatat itu diupayakan pada 1537 dan 1538. Saat itu, Gubernur Mesir, Suleiman Pasha, memimpin pasukan 20.000 orang menyerang Portugis di Diu, Gujarat, India. Banyak dari pasukan Turki itu terpencar-pencar karena dihalau keluar oleh penduduk India selama pengepungan yang gagal atas Diu pada September 1538.

Pasukan Turki yang terpecar-pencar itulah yang digunakan Aceh untuk menyerang Batak. “Pasukan Turki yang masuk catatan Pinto itu, merupakan manfaat tidak terduga bagi Aceh,” tulis Reid.

Baca juga: Misteri Seorang Turki dalam Perang Saudara di Jawa Abad 18

Pedagang Turki di Aceh berperan dalam mendatangkan pasukan Turki itu.

Sejarawan Prancis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebut bahwa orang Turki yang telah mempunyai agen di Pasai yang membeli lada untuk perniagaan mereka di Laut Tengah, pada 1537–1538 –pada waktu Sulaiman Pasha melancarkan ekspedisi melawan Portugis di Diu– mengirim balabantuan berupa tiga ratus orang kepada sultan Aceh.

Menurut Lombard, Pinto yang bersungguh-sungguh apabila berbicara tentang Sumatra, menyebut ikut sertanya orang-orang Turki itu tak lama sebelum tahun 1540 pada sebuah ekspedisi melawan orang Batak padalaman: "Tiran itu (Ala'uddin, sultan Aceh) akhirnya melihat kedatangan ketigaratus orang Turki yang sudah lama ditunggunya dari Selat Mekah, dengan imbalan empat kapal penuh lada..."

Oleh karena itu, profesor sejarah dari Universitas Princeton, Michael Laffan, menyebut orang-orang Turki itu sebagai tentara bayaran. “Memang banyak tentara bayaran dari Turki dan sekutu Abisinia, Mesir, dan Gujarat diketahui terlibat pertempuran dari dataran tinggi Batak di Sumatra hingga Pulau Ternate di Maluku,” tulis Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara.

Baca juga: Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro

Menurut Reid, kedatangan prajurit dan persenjataan Turki memungkinkan sultan Aceh mengalahkan orang Batak dan kemudian menggunakan pasukan Turki itu untuk menyerang Aru, sebuah kerajaan yang pernah jaya di timur laut Sumatra.

“Dalam hal ini, ia kembali berhasil, menurut Pinto, karena bantuan prajurit dan senjata dari Turki yang masih terus mengalir dari Mesir,” tulis Reid.

Bahkan, menurut Pinto, salah seorang panglima perang Aceh, seorang Abisinia bernama Mamedecan (Mahmud Khan) datang dari Jeddah kurang dari sebulan sebelumnya untuk menandatangani dan mengucapkan sumpah setiap kepada perjanjian yang disiapkan Pasha Kairo (Suleiman Pasha) bersama raja Aceh atas nama Grand Turk, dan sebagai imbalan ia mendapat hak eksklusif perwakilan dagang di Pelabuhan Pazem (Pasai). Memimpin pasukan terdiri dari enam puluh prajurit Turki, empat puluh Jannissary, dan sejumlah orang Moor dari pantai Malabar, kapten Abisinia ini berhasil merebut benteng-benteng di tepi sungai itu.

Baca juga: Asal Usul Gelar Khalifatullah di Kesultanan Yogyakarta

Namun, tidak lama kemudian, barangkali masih pada 1540, orang Aceh diusir dari Aru oleh kekuatan gabungan Melayu dari Johor, Riau, Siak, Perak dan tempat lain di bawah pimpinan sultan Johor, yang mengawini janda dari penguasa Aru yang tewas.

“Dalam pertempuran pada 1540 untuk merebut Aru sebagian besar pasukan elite Turki di pihak Aceh tampaknya dibabat habis,” tulis Reid.

Makam Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Shah al-Kahar. (Wikimedia Commons).

Pada 1547, Aceh menyerang Portugis di Malaka. Sebuah detasemen Turki kembali tampak di antara pasukan penyerang, namun pencatat-pencatat sejarah dari Portugis tidak menyebut adanya persekutuan tertentu antara Aceh dan Turki. “Kehadiran detasemen Turki ini mungkin dapat dijelaskan dalam kaitan dengan semakin banyaknya pedagang dari Laut Merah yang singgah di Aceh selama periode ini,” tulis Reid.

Baca juga: Ketika Khalifah Tak Lagi Duduk di Singgasana

Setelah serangan ke Malaka, Aceh menghentikan ekspansinya. Perhatian Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Shah al-Kahar kembali ditujukan kepada upaya memperkuat posisi ekonominya sebagai pemasok lada utama bagi perdagangan Islam. Pertanian lada meluas ke pantai barat Sumatra dan ke selatan Minangkabau. Kendali Aceh atas perdagangan mengikuti perluasan pertanian lada ini.

Reid menyimpulkan, selama dua dekade kemudian (1540–1560), meskipun hubungan dagang Aceh-Turki stabil dan berkembang, bukti-bukti mengenai hubungan politik sangat tidak berkesinambungan. Baru pada sepanjang tahun 1560-an, sumber-sumber Turki, Portugis, dan Venesia, menyebut hubungan politik antara dua kerajaan itu, terutama ketika Aceh mengirimkan utusan ke Turki untuk meminta bantuan militer melawan Portugis.

TAG

aceh turki

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Sejumput Kisah Sersan Baidin Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Darlang Sang "Radja Boekit" Meninggal di Meja Bedah Tewasnya Kapten "Sakti" Paris Ganden Sang Ksatria Fotografer Bersaudara dalam Perang Lombok dan Aceh