Sejak September lalu, setidaknya ada tiga insiden terkait terorisme di Prancis. Dua orang staf rumah produksi diserang di dekat kantor Majalah Charlie Hebdo pada akhir September. Pada 16 Oktober, seorang guru bernama Samuel Paty dipenggal setelah memperlihatkan kartun Nabi Muhammad di sekolah. Lalu pada 29 Oktober, tiga orang tewas dalam serangan di Nice.
Situasi semakin memanas. Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait kebebasan berpendapat di negerinya dianggap sebagai sikap anti-Islam. Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim mengecam Macron dan aksi boikot produk-produk Prancis dilakukan di berbagai tempat.
Mengutip bbc.com, pada awal Oktober lalu, Presiden Macron mengatakan bahwa “sekularisme adalah dasar negara” dan “separatisme Islam harus ditangani.”
Sekularisme yang hendak dipertahankan Prancis itu memang telah menjadi dasar falsafah Prancis selama lebih dari 100 tahun. Sekularisme atau yang dalam istilah Prancis disebut Laïcité, memiliki akar yang panjang dalam sejarah Prancis.
Revolusi Prancis
Revolusi Prancis (1789–1799) berdampak besar pada sejarah modern Prancis. Monarki runtuh dan rezim kuno gereja yang berperan penting melegitimasi kekuasaan raja digugat. Demokrasi liberal dan sekularisme kemudian tumbuh di negeri yang selalu gaduh dari revolusi ke revolusi ini.
Dalam sejarah Prancis, gereja memegang posisi strategis dalam kekuasaan. Para pendeta mendapat hak-hak istimewa, prioritas sosial, menanggung pajak lebih ringan serta keuntungan-keuntungan terkait kepemilikan tanah. Gereja Katolik Roma juga menguasai urusan keagamaan dan memegang kendali terhadap pendidikan.
“Gereja berusaha untuk mempertahankan keseragaman agama –gereja Katolik Roma adalah satu-satunya yang diizinkan mengadakan kebaktian– dan menikmati kekuatan penyensoran,” tulis Anne Stevens dalam The Government and Politics of France.
Baca juga: Ujung Perseteruan Sukarno dengan Presiden Prancis
Namun, periode awal revolusi mulai merontoki hubungan monarki dan gereja. Pada 1790, “Civil Constitution of the Clergy” melucuti hak-hak istimewa atas kepemilikan tanah gereja. Dua tahun kemudian, 1792, Republik Prancis Pertama berdiri dan menandai berakhirnya kekuasaan monarki.
Pada ekspansi 1796-1797, pasukan Prancis yang telah menembus Jerman kemudian memasuki Semenanjung Italia dan menduduki Roma. Namun, pada 1801 Napoleon Bonaparte menjalin sebuah Konkordat atau perjanjian antara pemerintah Prancis dengan Vatikan.
Konkordat 1801
Konkordat 1801 mengakui Katolik sebagai agama mayoritas penduduk Prancis dan mengesahkan dimulainya kembali ibadat umum. Pemeritah juga kembali membayar para imam dan uskup.
Meski demikian, gereja harus menerima bahwa tanah-tanah mereka tak bisa kembali. Paus Pius VII dan umat Katolik Prancis menerima itu sebagai harga yang harus dibayar agar ibadat umum dapat kembali dilaksanakan.
“Banyak mantan revolusioner terkemuka yang keberatan dengan Konkordat; mereka menyalahkan Napoleon karena meninggalkan kemenangan Revolusi yang diraih dengan susah payah atas apa yang mereka lihat sebagai takhayul kuno,” tulis Jeremy D. Popkin dalam A History of Modern France.
Baca juga: Intel Indonesia Bantu Pelarian Intel Prancis
Monarki yang pulih pada 1815 memang tidak mencabut Konkordat, tapi Revolusi 1830 mengaitkan gereja dengan ide-ide politik reaksioner. Sementara pada Revolusi 1848, pemerintah Kekaisaran Kedua mendukung gereja.
Pada akhir abad ke-19, gereja secara jelas diidentifikasikan dengan kekuatan-kekuatan kaum kanan reaksioner dan kaum konservatif yang mendambakan kembali masyarakat hierarkis yang teratur.
Pemisahan Gereja dan Negara
Sikap gereja kemudian dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip revolusioner kaum republikan. Pada 1902, Prancis dipimpin oleh Emile Combes, seorang republikan anti-klerikal militan.
“Jengkel oleh kebencian gereja, Combes akhirnya memutuskan untuk sepenuhnya mengubah aturan dasar hubungan gereja-negara,” tulis Popkin.
Pemerintahan Combes memutuskan hubungan dengan Vatikan pada 1904. Setahun kemudian, Majelis membatalkan Konkordat 1801 yang telah mengatur hubungan gereja-negara sejak zaman Napoleon.
Hukum pemisahan gereja dan negara ini disebut Loi concernant la Séparation des Eglises et de L'etat. Secara formal, negara tidak lagi mengakui agama apapun, tidak mensubsidi gereja, dan tidak membayar pendeta atau imam dari agama apapun.
Baca juga: Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang
Dalam perjalannya, Prancis mengalami berbagai tantangan dalam penerapan hukum ini. Sepanjang abad ke-20, keberagaman Prancis bertambah dengan masuknya banyak pendatang. Termasuk di dalam pendatang itu mereka yang memiliki identitas agama yang sebelumnya tidak diatur maupun dipertimbangkan dalam hukum 1905.
Menurut Stephen M. Davis dalam Rise of French Laicite, Prancis yang heterogen dan menerima beragam identitas itu dapat dilihat misalnya dari pengakuan penguburan menurut agama hingga makanan kosher dan halal yang disajikan di angkatan bersenjata.
“Contoh-contoh ini sering ditawarkan untuk menunjukkan bahwa Laïcité bukanlah dogma yang tidak berwujud dan bahwa Republik telah mengetahui cara menyesuaikan praktiknya,” tulis Davis.
Lebih dari 100 tahun berlalu dan hukum 1905 terus berada di tempat fundamental dalam hukum publik Prancis. Abad ke-21 juga memunculkan dinamika sendiri. Kini tantangan bergeser dari perlawanan terhadap pengaruh gereja ke separatisme agama seperti dikatakan Macron.