Masuk Daftar
My Getplus

Ujung Perseteruan Sukarno dengan Presiden Prancis

Karena kepiawaiannya dalam berdiplomasi, Si Bung Besar berhasil mengubah pandangan Charles de Gaulle yang semula bersikap sinis kepadanya.

Oleh: Martin Sitompul | 30 Okt 2020
Presiden Sukarno bercengkrama dengan Presiden Prancis Charles de Gaulle setelah acara makan siang di Istana Elysee, Paris, pada 21 Juni 1963. (Nationaal Archief).

Presiden Sukarno pernah punya pengalaman tidak mengenakan dengan Charles de Gaulle. Beredar rumor bahwa Presiden Prancis itu benci kepada Bung Karno. Dengan alasan tertentu, de Gaulle cenderung bersikap sinis terhadap Sukarno.

 “Suatu kali saya mengetahui bahwa de Gaulle tidak senang kepada saya,” ujar Sukarno kepada penulis otobiografinya Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Charles André Joseph Marie de Gaulle merupakan Presiden Prancis yang memerintah pada periode 1959--1969.

Antipati de Gaulle, menurut Sigit Aris Prasetyo dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno bermula karena Sukarno dianggap merecoki kepentingan Prancis di wilayah jajahan. Seperti diketahui, Sukarno begitu aktif menyokong perjuangan koloni Prancis untuk merdeka dari penjahahan, macam Aljazair di Afrika atau Vietnam, Laos, dan Kamboja di Indocina. Selain itu, Gaulle mencap Sukarno sebagai pemimpin Asia  yang doyan perempuan cantik. Istilah Prancisnya, “Le Grand Seducteur” atau sang perayu agung.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Para Pramugari Garuda di Sisi Sukarno

Pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk tahu apa yang terjadi antara Sukarno dan De Gaulle. Sebagai sahabat Sukarno, Sihanouk dapat mendukung gagasan Sukarno tentang kemerdekaan dan antiimperialisme. Sihanouk juga dapat memahami kegemaran Sukarno dalam bercinta. Namun bagi de Gaulle, kepribadian Sukarno yang lekat dengan syahwat adalah tercela.

“Tidak semua pemimpin negara asing menyukai Sukarno seperti saya,” kata Sihanouk kepada Bernard Krisher dalam World Leaders I Have Known. “Di mata de Gaulle dan istrinya yang bermartabat baik,” lanjut Sihanouk, “Sukarno adalah seorang playboy yang jangak (cabul).”

Sebaliknya, Sukarno pun menilai Prancis tiada beda dengan bangsa-bangsa imperialis Eropa lainnya. Dengan kata lain, Sukarno juga menggolongkan de Gaulle sebagai pemimpin negara yang ikut melakukan penjajahan. Eksploitasi kemanusian itu bahkan kerap kali diserukan Sukarno memakai adagium Prancis yang terkenal, “exploitation de l’homme par l’homme”. Sekalipun demikian, Sukarno sekali waktu memutuskan untuk bertemu dengan de Gaulle.  

Baca juga: 

Cita Rasa Eropa di Paris van Sumatra

Dalam otobiografinya, Sukarno menyebut perjumpaan pertama dengan de Gaulle terjadi di  Wina, Austria. Sekira tahun 1961, Sukarno berkunjung ke Austria dalam suatu lawatan sekaligus berobat. Di saat yang sama ada de Gaulle di sana. Sebagai orang yang lebih muda, Sukarno yang mendatangi de Gaulle lebih dahulu.

Pertemuan itu menjadi berkesan sebab de Gaulle tidak menyangka kalau Sukarno fasih berbahasa Prancis. Mereka pun saling berbincang dalam bahasa Prancis tanpa penerjemah. Lagi-lagi de Gaulle takjub dengan lawan bicaranya. Sukarno yang di masa mudanya melahap pemikiran pemikir-pemikir Prancis abad pencerahan ternyata paham betul sejarah revolusi Prancis yang disebut “La grande revolution”. De Gaulle yang tadinya benci Sukarno berangsur-angsur mulai simpati.

Menurut Sigit, de Gaulle memang beralasan untuk mengaggumi Sukarno. Dalam bukunya, Sigit mengutip cerita menarik saat berlangsungnya percakapan antara de Gaulle dan Sukarno. Cara Sukarno menghadapi de Gaulle membuktikan kejeniusannya dalam berdiplomasi.   

Baca juga: 

Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat

“Presiden Sukarno, mengapa Anda selalu tidak bisa berteman dengan Prancis,” tanya de Gaulle. Pertanyaan itu merujuk kepada sikap Indonesia yang gigih membantu perjuangan kemerdekaan Aljazair. Tapi, pertanyaan itu dibalas dengan cerdik oleh Sukarno. Katanya, “Tuan Charles de Gaulle, kami melakukan ini sesuai dengan ajaran revolusi Prancis, yaitu Liberte, Egalite, Fraternite (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan).”

“Mendengar jawaban tersebut, Charles de Gaulle hanya manggut-manggut tanda mengiyakan,” tulis Sigit.

Perjumpaan itu merupakan awal yang baik bagi hubungan Sukarno dan de Gaulle selanjutnya. Sebab, Sukarno menjalin beberapa pertemuan lagi dengan de Gaulle dikemudian hari. Pada bulan Juni 1963, Sukarno melakukan kunjungan ke Paris dan bertemu de Gaulle. Sukarno mengunjungi Paris lagi pada 20 Oktober 1964. Kunjungan terakhir Sukarno ke Prancis berlangsung pada Juli 1965. Pada 1 Juli 1965, pesawat Sukarno mendarat di bandar udara Paris setelah lawatan di Kairo, Mesir mempersiapkan KTT Asia-Afrika II. Presiden de Gaulle kembali menyambut Sukarno di Istana Elysee.

Dari yang tadinya benci, “setelah itu sikapnya (de Gaulle) berubah,” kenang Sukarno dalam otobiografinya.

Baca juga: 

Pierre Tendean, Prajurit TNI Berdarah Prancis

De Gaulle sendiri dalam pemerintahannya menjadikan Prancis sebagai negara Barat yang berpandangan moderat. Dia melakukan sejumlah terobosan penting bagi negara dunia ketiga. Pada 1962, misalnya Prancis memberikan hak referendum bagi Aljazair yang kemudian memilih untuk merdeka. De Gaulle juga bersedia “mengusir” markas NATO dari Paris ke Brussel di Belgia dan itu tentu saja  mengejutkan blok Barat. Pada saat negara Eropa lainnya ogah memandang Tiongkok, De Gaulle malah membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok.

Sukarno mengapresiasi kebijakan de Gaulle itu sebagai langkah yang luar biasa. Dia menyebut de Gaulle berani tampil beda di luar kebiasaan. Saling menghormati diantara keduanya menjadikan Prancis sebagai negara Barat yang lebih bersahabat bagi Indonesia ketimbang negara Barat lainnya.  

TAG

sukarno prancis

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Tepung Seharga Nyawa Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Supersemar Supersamar Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz