SEORANG ibu dengan tubuh gemetaran menjejaki reruntuhan tempat tinggalnya. Sambil menggenggam tas berisi tepung yang baru didapatkan, ia menangis sejadi-jadinya dan meneriakkan nama-nama anggota keluarganya.
“Di mana anak-anakku? Di mana suami, ketiga putri, dan sepupu-sepupuku? Kembalikan putri-putriku. Mereka semua di dalam (rumah),” ucapnya histeris.
Ia tak tahu apa-apa lantaran sebelumnya ia pergi untuk mendapatkan tepung demi kebutuhan keluarganya. Namun sepulangnya mendapatkan tepung, sang ibu mendapati nyawa segenap keluarganya sudah menguap seiring kediaman mereka rata dengan tanah akibat kebrutalan serangan Israel.
“Saya pergi untuk mencari tepung. Saya pergi hanya untuk mendapatkan tepung. Ya Rabb! Suamiku!” sang ibu menjerit kendati beberapa orang berupaya menenangkannya.
Peristiwa tragis itu nyata dialami seorang perempuan yang belum terungkap identitasnya pada Senin (18/3/2024) pagi di kota Gaza, Palestina. Peristiwanya viral dan diunggah beberapa media massa, salah satunya di akun Youtube TRT World, 19 Maret 2024.
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Sejak Israel melancarkan gempuran-gempuran dan aksi genosidanya di Jalur Gaza sedari Oktober 2023, masyarakat setempat mengalami kesulitan bahan pokok. Salah satunya tepung, yang sangat diperlukan untuk membuat taboon, semacam roti pipih khas Palestina, atau makanan darurat lainnya.
Kisah seorang ibu tadi tak kalah pilu dari tragedi “Pembantaian Tepung” yang juga terjadi di kota Gaza, 1 Maret 2024. Pada tragedi menjelang senja itu, tank-tank dan serdadu zionis menembaki ribuan warga Gaza yang sedang menunggu konvoi truk-truk bantuan yang membawa tepung. Aksi biadab militer Israel itu menyebabkan lebih dari 118 orang tewas dan lebih dari 760 lainnya terluka.
“Setelah melakukan penembakan, tank-tank Israel melaju untuk melindas banyak jasad dan orang-orang yang terluka. Ini pembantaian di atas ancaman kelaparan warga di Gaza,” aku wartawan Ismail al-Ghoul yang jadi saksi mata dalam laporannya kepada Al Jazeera, 1 Maret 2024.
Jelas dunia internasional makin geram terhadap Israel yang melulu imun dari jreat hukum kejahatan kemanusiaan hanya karena dibekingi Amerika Serikat. Terlebih tragedi-tragedi itu menjadi ironi tersendiri seiring terjadinya dekat dengan Hari Tepung Sedunia yang jatuh setiap 20 Maret.
Baca juga: Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina
Perang Tepung Berdarah-darah
Hari Tepung Sedunia yang baru diperingati sejak 2019, diinisiasi MehlWelten Museum atau Museum Tepung Dunia di Wittenberg, Jerman yang berdiri pada 2008. Tanggal 20 Maret dipilih karena berada di tengah equinox alias titik balik matahari seiring musim tanam di musim semi yang lazimnya terjadi antara tanggal 19-21 Maret.
Tepung yang berasal dari biji gandum dan kadang dijuluki sebagai “emas putih”, sudah menjadi bahan makanan pokok berbagai bangsa sejak ribuan tahun lalu. Masyarakat Mesir diakui sebagai masyarakat pertama yang mengonsumsi tepung olahan.
“Metode-metode menggiling (biji gandum) bisa dilacak sampai ke timur jauh, Mesir, dan Romawi. Pada 6.700 SM, manusia menggiling gandum dengan batu. Para antropolog meyakini manusia mengunyah gandum mentah sebelum mereka membuatnya menjadi tepung. Baru sekitar masa 3.000 SM, masyarakat Mesir Kuno mulai memanggang adonan beragi putih seperti roti yang kita kenal sekarang,” ungkap Patrice Johnson dalam Uncut: The Inside Story of Culinary School.
Saking berharganya sebagai bahan makanan pokok di sejumlah kawasan, tepung pun kadang menjadi pemicu kerusuhan. Seperti Perang Tepung atau serangkaian kerusuhan berdarah di Prancis pada 20 April-5 Mei 1775, 14 tahun sebelum pecahnya Revolusi Prancis.
Baca juga: Membuat Roti, Kemampuan Dasar dalam Sejarah Manusia
Sebelum era revolusi, aparat kepolisian kerajaan memegang kewenangan keamanan sekaligus pasokan pangan untuk menjaga ketertiban sosial dan kestabilan pasar gandum. Ini kemudian diubah kontrolir-jenderal keuangan, Anne Robert Jacques Turgot. Pada 13 September 1774 ia mengeluarkan regulasi yang menghilangkan wewenang kepolisian sekaligus membuka pintu untuk perdagangan bebas gandum karena terinspirasi prinsip ekonomi “laissez faire, laissez passer” yang intinya menghapus campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
Namun, “niat baik” tangan kanan Raja Louis XVI itu dengan membuka keran perdagangan bebas justru dimanfaatkan para saudagar gandum. Mengutip William Doyle dalam The Oxford History of the French Revolution, para tengkulak dan saudagar gandum di berbagai wilayah mulai menimbun barang di gudang masing-masing. Sontak harga tepung sebagai olahan gandum pun ikut meroket lantaran diperparah dengan kegagalan panen di beberapa wilayah Prancis.
“Meski buruknya panen tahun 1774, menteri Turgot bersikeras menghapus semua kontrol (pemerintah) demi pasar bebas. Akibatnya pada musim semi harga-harga roti naik lebih dari 50 persen hingga meletuslah serangkaian kerusuhan yang dimulai pada April (1775),” tulis Doyle.
Kerusuhannya berawal dari masyarakat kalangan miskin, kelas pekerja, dan petani yang menghimpun diri untuk menuntut penurunan harga gandum dan tepung. Beberapa gerakan di kota lain bahkan sudah memblokade pasokan-pasokan gandum, menggeruduk gudang-gudang gandum hingga menjarah toko-toko roti.
“Kelangkaan makanan paling terasa di pedesaan dan memicu gerakan masyarakat di perkotaan. Perang Tepung terjadi sebagai serangkaian kerusuhan akibat dekrit liberalisasi Turgot. Sejak 20 April hingga 5 Mei, pergerakan masyarakat menyebar dari Lembah Oise hingga sejauh Fontainebleau, melalui Paris dan Versailles; para pengunjuk rasa menghadang konvoi-konvoi gandum yang menuju jalur darat dan sungai, menuntut mereka menjualnya dengan harga yang adil,” ungkap Jean-Pierre Jesenne dalam artikel “The Social and Economic Crisis in France at the End of the Ancien Régime” di buku A Companion to the French Revolution.
Pemerintahan Raja Louis XVI terpaksa mengerahkan 25 ribu tentara dengan tindakan-tindakan represif untuk meredam serangkaian kerusuhan itu. Hasilnya, pasukan “anti huru-hara” itu melakoni 162 penangkapan. Sebagai efek jera bagi yang lainnya, dua tahanan perusuhnya dieksekusi mati di tiang gantung di Alun-Alun Place de Grève.
“Butuh pasukan, ratusan penahanan, dan dua eksekusi publik untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di sekitar Paris dan butuh dua pekan lagi pemulihan serupa di wilayah timur laut. Sempat terjadi lagi pada 1778 di kota-kota selatan: Grenoble, Toulouse, Bordeaux yang berakhir dengan kerusuhan karena gagal panen. Lalu pada 1784 dan 1785 di Normandia. Namun terlepas dari itu 12 tahun pasca-Perang Tepung, Paris dalam keadaan tenang setelah para suksesor Turgot tak melakukan kesalahan yang sama,” tandas Doyle.
Baca juga: Pangan Zaman Perang di Indonesia