Masuk Daftar
My Getplus

Pangan Zaman Perang di Indonesia

Krisis dan perang mengakibatkan kelaparan. Masyarakat pun didorong untuk mengonsumsi bahan pangan selain nasi.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 16 Okt 2020
Seni patung "The Hunger March" yang menyampaikan pesan tentang manusia kelaparan. (Ilustrasi/Wikimedia Commons/aidoh.dk).

Sepulang dari tur politik di Jawa Tengah pada 1933, Sukarno berlibur beberapa hari ke Pangalengan di selatan Bandung. Selama liburan, dia menulis risalah berjudul Mencapai Indonesia Merdeka. Sukarno berharap “moga-moga risalah ini banyak dibaca oleh Marhaen” karena risalah ini tentang imperialisme yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dan menyengsarakan kaum Marhaen.

“Di dalam zaman normal Kang Marhaen sudah ‘sekarang makan besok tidak’, di dalam zaman meleset (Malaise) sekarang ini menjadi lebih-lebih ngeri lagi, lebih-lebih memutuskan nyawa lagi, lebih-lebih megap-megap lagi,” kata Sukarno.

Sukarno mengutip beberapa berita koran yang mewartakan penderitaan rakyat kecil di zaman Malaise. Ketiadaan makanan membuat mereka hendak menjual anak, gantung diri, mencuri ayam, sampai minta dibui agar bisa makan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cerita Singkong Marhaen

Namun, koran Pertja Selatan, 7 Mei 1923, tak memuat berita yang mengerikan itu. Ia hanya menyebut keadaan rakyat menjadi miskin karena untuk menyambung hidup mereka menggadaikan semua barang-barang miliknya. Soal makanan, koran terbitan Palembang itu menyebut, “di desa orang-orang dua hari sekali makan nasi, selainnya makan ubi, tales, singkong, jantung pisang. Sudah sebagai sapi.”

Kala krisis, konsumsi singkong dan ubi meningkat. “Menaiknya konsumsi ubi dan singkong semata-mata disebabkan kelangkaan beras di pasaran karena gagal panen dan Malaise,” tulis sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara.

Lahan-lahan yang tak lagi digunakan untuk produksi gula kemudian digunakan kembali untuk produksi padi tapi tak sepenuhnya mampu menyediakan kebutuhan pangan penduduk.

Berkelit di Masa Krisis

Dalam keadaan Malaise, makananan pengganti nasi seperti singkong dan ubi menjadi penting. Para gastronom dan ahli nutrisi berusaha menyadarkan masyarakat agar tetap menjaga asupan makanannya. Bahkan, R.A.S. Soerjasoebrata mengarang buku resep Daharan Katela (1935) yang memuat 71 resep makanan berbahan baku ketela atau singkong.

Dalam pengantarnya Soerjasoebrata menulis: “Saat zaman sejahtera, sebelum zaman malaise, berbagai makanan yang mahal dapat tersaji di atas meja makan. Namun, hal itu tidak dapat ditemukan pada zaman malaise ini. Mengingat hal tersebut, saya menyempatkan diri mengumpulkan berbagai macam makanan dengan bahan baku ketela. Ketela ini tanaman bangsa saya, yang tumbuh di mana saja, harganya tidak mahal, serta dapat dibuat berbagai macam makanan yang enak dan bergizi. Selain itu, pantas pula untuk dihidangkan di hadapan tamu, atau pun sekadar di makan sendiri.”

Baca juga: Akar Sejarah Singkong

Bukan hanya kaum bumiputra. Orang-orang Eropa pun disarankan menyantap sumber pangan alternatif. Untuk itu GA van de Mol, konsultan pertanian untuk urusan pendidikan, menyusun buku Gezonde Voeding (Makanan Sehat) sebagai buku ajar pendidikan rumah tangga di Hindia Belanda pada 1937. Van de Mol menyarankan agar orang-orang Eropa menerima makanan “pribumi” yang didominasi sayuran dan buah-buahan daripada daging.

“Di sini, kedelai dan olahannya (susu, kecap, oncom, dan tempe) menjadi bahan pilihan pokok primadona untuk diasup pada masa sulit,” tulis Fadly.

Seorang ibu dan anaknya yang kurang gizi di Cirebon saat krisis ekonomi tahun 1930-an. (KITLV).

Tokoh pergerakan perempuan bumiputra, Ch. Sj. Dt. Toemenggoeng atau Chailan Sjamsu, juga menulis Boekoe Masak-Masakan pada 1940. Lewat buku ini dia mendorong pembaca untuk memanfaatkan bahan-bahan makanan lokal seperti ketela, kedelai, jagung, dan sagu.

Lembaga Makanan Rakyat (Instituut voor Volksvoeding) yang berdiri pada 1937 juga memprakarsai penerbitan buku Makanan jang Baik Dimasa Perang (1940), Makanan jang Moerah tetapi Baik (1941), dan Masak-Masakan Moerah (1941).

“Maksud penerbitan buku pedoman itu untuk membentuk rumah tangga sebagai garda terdepan dalam menanamkan pengetahuan mengolah makanan yang murah atau sederhana tapi baik pada masa-masa sulit,” tulis Fadly.

Dampak Malaise belum berakhir, Jepang datang. Kekurangan pangan kian akut, hidup menjadi lebih sulit lagi.

Menu Perjuangan

Pada masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi hasil panen. Mereka menderita kemiskinan kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.

Untuk menutupi kekurangan beras, masyarakat memakan jagung, singkong atau tiwul, kedelai, bahkan bonggol pisang. Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio, Jepang, sebagai sumber protein, bekicot jadi pilihan. Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.

Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung

Pemerintah pendudukan Jepang sendiri mendorong masyarakat mengkonsumsi sumber pangan alternatif selain beras. Mereka juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Salah satu menu populer ialah apa yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya. Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu baru ini.

“Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.

Singkong, makanan penyelamat saat krisis. (Wikimedia Commons).

Selain melakukan sosialisasi, pemerintah pendudukan memerintahkan ketua tonarigumi (rukun tetangga) untuk mengawasi anggota masyarakatnya supaya mau makan Bubur Perjuangan, bukan nasi putih. Dapur sering digeledah secara mendadak. “Kalau ada seseorang yang diketemukan makan nasi putih, dia akan diperingatkan dan bahkan kadang-kadang dilaporkan kepada kenpeitai,” tulis Aiko.

Menu lainnya adalah Roti Asia (toa pan) yang terbuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai, atau tepung beras biasa. Kantor Penerangan Tepoeng giat melakukan sosialisasi.

Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi

“Diberitahukan kepada sekalian penduduk di Priangan Syuu bahwa pada tiap-tiap hari mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang diperbolehkan datang di kantor tersebut untuk menerima pelajaran dari hal pembikinan Roti Asia,” demikian pengumuman yang disiarkan koran Tjahaja, 14 November 1942.

Bagaimana rasanya? Boeng Djenggot, penulis kolom “Pengisi Podjok” harian Borneo Shimboen, 29 September 1943, menulis: “Ketika Bung (Djenggot) berada di Bandung tempo hari, sempat juga merasakan Roti Asia yang dibikin dari tepung Asia (ketela pohon), yang meskipun rasanya belum sebanding dengan roti biasa, tapi bolah lah.”

Setelah Indonesia merdeka, kesulitan makanan bukan berarti sirna. Seperti biasa, singkong dan ubi jadi penyelamat di kala melarat.

TAG

kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Kontes Memasak Tempo Dulu