Hendrik Cornelis Kruyt seorang misionaris Belanda pertama yang dikirim untuk mengabarkan Injil di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dia datang ke sana pada tahun 1890. Pada suatu hari, Kruyt ikut serta dalam pesta jamuan makan besar masyarakat setempat. Siapa nyana pemandangan yang disaksikan Kruyt malah membuatnya jadi frustasi.
Seekor kerbau disembelih. kental dari darah tubuh hewan itu menyembur ke mana-mana. Kruyt kemudian melihat orang-orang menyendok dan menyimpan sisa-sisa rumput yang dicerna dalam perut kerbau. Perasan rumput itu dijadikan kuah yang disebut terites , atau dalam bahasa lokal yang lain juga disebut pagit-pagit yang artinya agak pahit. Meski terlihat menjijikkan, Kruyt mencoba memasang ekspresi muka datar. Namun, dalam hati, dia meringis.
“Memakan makanan kerbau yang masih ada di perut dan isi kedalaman setengah dan hampir seluruhnya empuk, sudah cukup untuk mengubah omnivora menjadi vegetarian selama satu menit. Aku benar-benar muak, tapi aku mampu tampil tenang sepenuhnya” tutur Kruyt seperti dikisahkan ulang Rita Smith Kipp dalam The Early Years of a Dutch Colonial Mission: The Karo Field .
Terites merupakan makanan khas suku Karo. Biasanya disajikan dalam perayaan upacara adat, seperti merdang merdem (kerja tahunan), pesta perkawinan, dan mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru). Itulah sebabnya makanan ini agak jarang ditemukan sehari-hari karena jadi santapan dalam momen tertentu. Sebagai makanan berkuah, terites juga sering disebut Soto Karo. Namun, berbeda dari soto pada umumnya yang berkuah bening atau kuah santan, terites menggunakan kaldu dari sari rumput pada lambung pertamahewan pemamah biak.
Baca juga: Letkol Soeharto Makan Soto
Tokoh asal Karo yang juga pahlawan nasional Djamin Gintings juga suka dengan makanan ini. Sewaktu menjabat sebagai komandan TNI Resimen IV Divisi X Sumatera Utara di masa Perang Kemerdekaan, Gintings pernah menawarkan berbagai makanan khas Karo kepada ajudannya Letnan Iwan Matsum. Salah satunya di antaranya adalah terites. Ternyata sang ajudan yang bukan orang Karo itu, seperti diceritakan Djamin Gintings dalam memoarnya Bukit Kadir, itu juga sudah pernah makan terites.
“Apakah kamu sudah makan Tasak Tiga? tanya Gintings.
“Sudah,” jawab Letnan Matsum.
“Terites?”
“Juga sudah.”
“Kalau begitu cuma satu lagi yang kamu belum makan,”
“Apa?”
“Cipera.”
Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Masyarakat Karo, seturut Intisari No. 74, September 1969, sangat suka makan terites. Bahan utamanya berasal dari kotoran yang terdapat dalam usus besar binatang pemamah biak, umpamanya sapi, kerbau, atau kambing. Usus binatang yang sudah disembelih itu diambil. Rumput-rumput halus berwarna hijau dalam usus besar dikeluarkan, lalu diperas dan dibuang ampasnya.
Air hasil perasan itu kemudian dimasak, tapi tentu saja dicampur dengan potongan tulang-tulang dan usus di samping bumbu-bumbu sayur dan rempah secukupnya. Setelah matang kurang lebih dua jam lamanya, air kotoran yang semula berwarna hijau itu kini berubah menjadi keputih-putihan.
“Rasanya sangat lezat bagi orang yang biasa-biasa saja. Jenis masakan ini pasti ditemukan di setiap pesta adat di daerah Batak Karo,” ulas Suruhen Bismar Purba dalam Intisari.
Baca juga: Satu Nusa Soto Bangsa
Walaupun terasa nikmat bagi penyantapnya, tidak semua orang mau menerima makanan ini, khususnya mereka yang bukan orang Karo. Terites acap mendapat cap makanan kotor karena berasal dari bagian jeroan hewan. Apalagi ia berasal dari organ pencernaan yang dianggap mengandung banyak bibit penyakit. Namun, anggapan itu masih bisa diperdebatkan secara ilmiah.
Mangku Sitepu, dokter hewan ternama yang juga orang Karo, mengatakan hewan pemamah biak memiliki empat jenis perut, masing-masing rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Pakan yang ada dalam rumenlah yang diambil sebagai bahan membuat terites. Setelah diperas, dimasukkan ke dalam masakan daging dan ditambah dedaunan tertentu, serta berbagai jenis ramu-ramuan. Setelah dimasak beberapa lama, makanan ini dapat disantap dengan nasi sebagai lauk.
“Rasanya agak pahit dan baunya yang khas selama tiga hari tidak akan hilang. Bila kita makan tanpa menggunakan sendok, bau yang tertinggal di jari-jari tangan tidak akan hilang meski telah dicuci. Bau yang khas ini menjadi daya tarik masakan khusus yang juga berfungsi sebagai obat ini,” terang Mangku Sitepu dalam Corat-Coret Anak Desa Berprofesi Ganda.
Baca juga: Babi dalam Masyarakat Batak Toba
Menurut Mangku, hewan pemamah biak sewaktu istirahat mengeluarkan pakan yang telah dimakan sekali. Jadi, terites berasal dari isi rumen yang terdiri dari bahan makanan – terutama yang sudah dicerna oleh bakteri menjadi protein dan berbagai jenis vitamin, khususnya vitamin B12. “Tapi, ada saja yang menduga bahwa masakan khas ini berasal dari kotoran sapi! Nah, tentu saja dugaan ini tidak pernah terbukti kebenarannya,” jelasnya.
Sementara itu, Harvina dalam penelitiannya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Aceh Kemendikbud mencatat terites sebagai makanan tradisional yang mengandung nilai-nilai filosofis. Ia menggambarkan rasa kebersamaan dan rasa panjang-menolong yang cukup tinggi dalam kehidupan etnis Karo. Secara simbolik, makan terites berarti menikmati rasa persaudaraan dan gotong royong yang lebih erat dalam hajatan adat.
“Hal ini disebabkan dalam penyajian makanan terites selalu berkaitan dengan kegiatan yang cukup besar dan membutuhkan orang yang banyak,” tulis Harvina dalam buklet Seri Informasi Budaya Terites & Cipera: Makanan Tradisional Khas Karo.
Jadi, tertarik tertarik? Sila berkunjung ke Tanah Karo.*