Keberadaan babi di kota Medan sedang dipermasalahkan. Ribuan massa yang mengatasnamakan gerakan #savebabi menggelar unjuk rasa menolak isu pemusnahan babi. Gagasan ini muncul setelah wabah virus African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika dan Hog Cholera (Kolera Babi) melanda peternakan babi di Sumatra Utara. Untuk mengatasinya, pemerintah didesas-desukan akan memusnahkan babi yang tercemar penyakit dan menertibkan peternakannya.
Aksi #savebabi tersebut dilakukan di depan kantor DPRD Sumatra Utara di Jalan Imam Bonjol, Medan. Para pengunjuk rasa umumnya berasal dari suku Batak sebab mereka mengenakan ulos – kain khas Batak – sebagai penanda identitas. Bagi mereka babi mempunyai nilai penting. Selain mata pencaharian, beternak babi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Batak.
“Kami menentang keras pemusnahan babi, karena kalau babi dimusnahkan berarti sudah menghilangkan budaya Batak. Karena sejak lahir sampai mati, babi jadi budaya di tanah Batak,” kata Boasa Simanjuntak, Ketua Aksi #savebabi dikutip merdeka.com.
Jauh sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan Kristen, suku Batak Toba (selanjutnya akan disebut Batak saja) memang telah mengenal tradisi beternak babi. Orang Batak yang tinggal di rumah bolon (rumah panggung Batak) menjadikan kolongnya yang lapang sebagai tempat babi berkandang. Dalam bahasa Batak, babi disebut pinahan. Sementara babi yang berumur di bawah tiga bulan disebut lomok-lomok. Binatang ini termasuk cepat perkembangbiakannya dan gampang merawatnya.
Baca juga:
Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?
Menurut budayawan Batak E. St. Harahap, dalam setiap upacara adat babi merupakan sajian umum. Kalau ada tamu terhormat yang berkunjung, sudah selayaknya tuan rumah menyembelih babi sebagai hidangan. Babi mempunyai tempat yang amat luas meliputi segala macam perjamuan, baik dalam perkabungan ataupun perayaan bahagia. Dalam masyarakat Batak lama, babi selalu jadi suguhan bermacam hajatan: pesta perkawinan, pesta memandikan anak, upacara kematian, hingga acara memasuki rumah baru.
“Dalam semua peralatan daging babi yang disediakan untuk dibagi-bagikan kepada para tamu dan keluarga, yang disebut jambar,” ujar Harahap dalam Perihal Bangsa Batak.
Pun ketika agama Kristen berkembang di Tanah Batak, mengkonsumsi babi tetap dilakukan. Itu dianggap tidak menyalahi agama. Kendati sebenarnya dalam kitab Injil (bagian buku Imamat) ada perbedaan pandangan soal mengkonsumsi daging babi tersebut.
Kultur memelihara babi ikut terbawa ketika orang Batak mengadu nasib ke tanah rantau. Kota Medan menjadi tujuan utama orang Batak mencoba peruntungan. Karena daging babi menjadi makanan bagi kebanyakan orang Batak, maka hewan ini diperjualbelikan di pasar-pasar kota Medan. Di lapo (rumah makan batak), babi termasuk hidangan spesial. Dalam daftar menu, babi disebut dengan kode khusus: B2.
Di kota Medan yang heterogen, tidak semua pihak bisa menerima kehadiran babi, baik sebagai makanan ataupun peliharaan. Bagi umat Islam, babi adalah binatang yang dagingnya tidak boleh dikonsumsi. Selain itu, tubuh babi diyakini sebagian pihak bisa menyebarkan penyakit seperti cacing pita serta rentan menjadi medium untuk penyakit jenis epidemi lainnya.
Dalam Sejarah Kota Madya Medan 1950-1979 yang disusun Usman Pelly dkk, kebiasaan orang Batak beternak babi kadang menimbulkan gesekan sosial dengan etnik lain. Ketika sebagian orang Batak memelihara babi di belakang rumahnya, itu memunculkan ketidaksukaan tetangga mereka dari suku Melayu. Terlebih jika babi piaraan orang Batak itu "bertandang" ke pekarangan mereka .
Kebiasaan memelihara babi memang telah mengakar kuat di sebagian besar keluarga Batak. Kalau sudah begini maka konflik pun tidak terhindarkan. Orang Melayu, Jawa, atau Mandailing biasanya lebih memilih menyingkir dari tempat itu daripada terus berurusan dengan orang Batak Toba.
“Penyingkiran ini dianggap merupakan kemenangan bagi orang Batak, karena itu artinya perluasan wilayah mereka dapat dilakukan,” tulis Usman Pelly dkk.
Baca juga:
Ketika Ibukota Kesultanan Deli Pindah ke Medan
Oleh karena itu, selain bernilai ekonomis, babi berfungsi pula mengokohkan eksistensi orang Batak di mana pun mereka berada. Pendapat ini dikemukan oleh antropolog Illinois University Clark Cuningham pada 1958. Dalam penelitiannya The Post War Migration of Toba Batak to East Sumatra yang diterbitkan Yale University Southeast Asia Studies, Cuningham menyatakan bahwa babi bagi orang Batak merupakan alat perjuangan (instrument of battle).
Hingga kini, di penjuru kota Medan masih dapat ditemui rumah-rumah dalam permukiman yang memelihara babi. Pun demikian dengan rumah makan Batak yang menyajikan penganan babi alias B2. Maka tidak heran apabila orang Batak saat ini menentang habis-habisan apabila babi bakal dimusnahkan.