Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang

Kisah ramen sebagai ikon kuliner Jepang. Kehadirannya hasil akulturasi budaya Cina dan Jepang.

Oleh: Amanda Rachmadita | 03 Jun 2023
Gomoku ramen atau Gomoku soba, mi kuah khas Jepang. (Wikimedia Commons).

JEPANG tak hanya maju dalam sains dan teknologi, tetapi juga terkenal memiliki beragam kuliner, seperti ramen, sushi, yakiniku, gyoza hingga yakitori. Salah satu makanan andalan restoran-restoran Jepang di Indonesia adalah ramen. Makanan berbahan dasar mi ini dipadukan dengan kuah kari, miso, shoyu maupun shio yang memiliki rasa gurih. Agar lebih menggiurkan, ramen diberi topping seperti rumput laut, jagung, irisan daging ayam atau sapi, hingga telur rebus. Nikmatnya mi kuah dengan beraneka topping lezat itu membuat ramen digemari banyak orang hingga didapuk sebagai salah satu ikon kuliner Jepang.

Ternyata, awalnya ramen tak langsung digemari banyak orang di Jepang. Makanan ini juga memiliki sejarah panjang. George Solt, akademisi dan penulis buku The Untold History of Ramen menyebut ada tiga kisah asal-usul yang berbeda tentang kemunculan ramen di Negeri Matahari Terbit. Kisah pertama diungkapkan sejarawan makanan Kosuge Keiko yang menyebut sejarah kehadiran ramen berkaitan dengan Tokugawa Mitsukuni alias Mito Komon (1628–1701), seorang daimyo atau penguasa lokal yang berpengaruh dalam politik pada zaman Edo. Tokoh sejarah yang populer ini disebut sebagai orang pertama yang makan ramen di Jepang. Catatan aktivitas Mitsukuni pada abad ke-17 menunjukkan bahwa seorang pengungsi Tiongkok dari masa pemerintahan Ming yang tinggal di Mito, yakni Zhu Shun Shui, memberikan saran kepada Mitsukuni tentang cara menyiapkan mi kuah ala Cina yang mungkin mirip dengan ramen.

Zhu, yang kemudian menjadi penasihat Mitsukuni, mengetahui sang daimyo konsumen setia udon, mi kuah terbuat dari mi berbahan tepung terigu dan kaldu dashi (terbuat dari bonito kering dan rumput laut) yang populer di Jepang hingga kini. Pada abad ke-17, orang Jepang menyantap udon dengan acar aprikot (umeboshi) dengan topping wijen. Melihat hal tersebut, Zhu merekomendasikan lima bahan yang biasa digunakan dalam mi kuah ala Cina, untuk ditambahkan ke dalam mi kuah yang akan dimakan daimyo Mito, guna meningkatkan cita rasa masakan tersebut. Lima bahan itu adalah akar Allium chinense (bawang rakkyo), bawang putih, kucai bawang putih (nira), daun bawang, dan jahe. “Dari fakta tersebut, sejarawan makanan Kosuge menduga Tokugawa Mitsukuni adalah pelopor konsumsi mi kuah ala Cina di Jepang,” sebut Solt.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sejarah Tiga Mi Instan: Supermi, Indomie, dan Sarimi

Kisah kedua sejarah ramen diyakini terjadi sebagai akibat perubahan praktik makanan Jepang yang terinspirasi imperialisme Amerika Serikat pada abad ke-19. Sejumlah perjanjian yang disepakati Jepang dan Amerika menyulitkan shogun melawan perambahan asing, yang mengikis otoritasnya hingga krisis politik yang menggulingkan dinasti Tokugawa berusia dua setengah abad pada 1868. Setelah itu, menurut Solt, penerapan industri dan militer dengan gaya Eropa mulai dilakukan hingga penggabungan bahan makanan Barat ke dalam makanan Jepang.

Seiring kedatangan orang Eropa, para pedagang Cina yang disebut kakyo juga berdatangan dan menetap di wilayah pelabuhan bagian dari perjanjian Amerika dan Jepang, seperti Yokohama, Kobe, Nagasaki, dan Hakodate. Pada tahap awal migrasi, banyak penduduk Cina bekerja kepada orang Eropa dan Amerika. Namun, setelah disepakati perjanjian perdagangan Sino-Jepang tahun 1871 yang memberikan pengakuan hukum dan perlindungan konsuler kepada penduduk Cina di kota-kota pelabuhan terbuka, orang Cina kian banyak melakukan perdagangan sendiri dengan pengusaha Jepang. Salah satu keterampilan yang dibawa para pedagang Cina adalah memasak. Mi kuah yang dikenal sebagai la-mien (mi yang diregangkan dengan tangan dan disajikan dalam sup ayam gurih dengan daun bawang) segera menjadi makanan pokok di restoran Cina di Jepang.

Orang Jepang menyebut la-mien, yang dibuat pedagang Cina, sebagai Nankin soba (mi Nanjing), dan menggambarkannya sebagai hidangan sederhana yang disajikan di akhir makanan atau seperti makanan pendamping. Pada masa itu, mi kuah ala Cina ini umumnya disantap para pekerja, pedagang, dan pelajar Cina yang tinggal di distrik untuk penduduk asing di pelabuhan perjanjian Jepang.

Baca juga: Sejarah Restoran All You Can Eat

Peneliti Katarzyna Joanna Cwiertka dalam Modern Japanese Cuisine: Food, Power, and National Identity menulis, mi kuah ala Cina tak langsung diminati orang Jepang. Restoran Cina yang beroperasi di luar kawasan Pecinan di Jepang bahkan sangat eksklusif. Situasi ini berubah setelah pergantian abad. Memasuki abad ke-20, restoran yang menyajikan makanan Cina, baik yang dimiliki orang Cina maupun yang dijalankan orang Jepang tetapi mempekerjakan juru masak Cina, mulai menjamur di Tokyo.

“Restoran serupa juga bermunculan di kota-kota lain. Di Sapporo, misalnya, yang kemudian menjadi terkenal dengan mi ala Cina, tujuh restoran ala Cina dibuka pada paruh pertama tahun 1920-an,” tulis Cwiertka.

Kisah terakhir sejarah ramen berpusat pada awal kemunculan restoran Cina pertama milik warga negara Jepang bernama Rai Rai Ken atau Rairaiken. Restoran ini didirikan oleh Ozaki Kenichi, mantan pejabat kantor bea cukai Yokohama, pada 1910 di distrik Asakusa, Tokyo, sebuah daerah yang terkenal dengan populasi pekerja berupah yang padat.

“Berbeda dengan sup mi polos tanpa topping, selain daun bawang yang muncul di tahun 1880-an dan 1890-an, Rai Rai Ken menggunakan saus bumbu berbahan dasar kecap dan menyajikan mi kuahnya yang disebut Shina soba, dengan chashu (daging babi panggang), naruto (adonan ikan yang dicampur dengan tepung), bayam rebus, dan nori –bahan-bahan yang bersama-sama membentuk model ramen ala Tokyo yang otentik,” sebut Solt.

Baca juga: Sejarah Popcorn dari Jalanan ke Bioskop

Rai Rai Ken dengan cepat menarik perhatian karena Shina soba-nya yang murah, enak, dan penyajiannya cepat. Sementara itu, menurut Cwiertka, kata Shina soba memperoleh status sebagai hidangan “nasional” di Jepang dengan nama berbeda, yakni ramen. “Perubahan nama dari Shina soba menjadi ramen terjadi pada 1950-an dan 60-an,” ungkap Cwiertka. Namun, sebelum menjadi ramen, hidangan itu pernah disebut Chuka soba, tetapi istilah tersebut hanya digunakan sementara, hingga akhirnya nama ramen menjadi populer karena terinspirasi versi instan rasa ayam dari hidangan mi kuah yang mulai dijual pada 1958.

Transformasi ramen asli Cina menjadi ramen ala Jepang yang kita kenal saat ini berlangsung secara bertahap. Kosuge Keiko berpendapat dimasukkannya Shina soba ke dalam menu toko mi, yang awalnya mengkhususkan diri pada soba asli, sangat berkontribusi terhadap Jepangisasinya. Invasi Jepang ke Manchuria pada 1931 juga berperan dalam hal ini karena banyak juru masak Cina yang diusir dari Jepang sehingga dapur restoran Cina banyak diisi juru masak Jepang.

Namun, menurut Cwiertka, ada dua faktor utama yang membedakan ramen ala Jepang, yakni mi dan kuahnya. “Mi ala Cina buatan Jepang ini lebih elastis dan karenanya lebih kenyal daripada mi gandum tradisional Jepang (udon, somen, dan kishimen). Hasil perbedaan dari teknik Cina menambahkan alkali ke air asin yang digunakan untuk menguleni adonan gandum. Ini juga memberi warna kuning pucat pada mi dan aroma tertentu,” tulis Cwiertka.

Sementara itu, hidangan ini pada dasarnya terdiri dari mi dalam kaldu babi atau ayam yang dibumbui dengan lada hitam dan diberi irisan daging babi dan berbagai item lainnya. Kaldu berbahan dasar daging itulah yang memberi hidangan rasa yang khas.

Baca juga: Sejarah Makan di Warung Makan Tempo Dulu

Terkait penggunaan istilah ramen, menurut sejarawan dan orientalis Barak Kushner dalam Slurping Towards Modernity: the Birth of An Iconic Japanese National Dish, ada teori yang menyatakan bahwa istri Ohisa Masaji, seorang pedagang Shino soba di dekade pertama abad ke-20, memiliki ide untuk menamai hidangan mi tersebut dengan ryumen karena di seberang tempat makan yang dioperasikan suami-istri itu terdapat pohon willow; ryu merupakan bacaan Jepang untuk karakter Cina untuk willow dan men berarti mi dalam bahasa Jepang.

Teori lain yang juga kerap diperbincangkan terkait asal-usul nama ramen, yakni ketika juru masak Cina bernama Wang Wencai yang bekerja di kedai Ohisa selesai membuat hidangan, dia akan berteriak dalam bahasa Mandarin, “hao le!” (“Siap!”), tetapi dengan pelafalan bahasa Cina timur lautnya yang terdengar lebih seperti “hao la!” Wang memiliki aksen yang dianggap keras oleh orang Jepang, yang akan berfokus pada bunyi “la” yang keras, yang juga bisa terdengar sebagai “ra”. Di sisi lain, sebutan mi dalam bahasa Cina dan Jepang menggunakan cara baca yang sama untuk karakter yang sama, yakni mian dalam bahasa Cina dan men dalam bahasa Jepang. Tak jarang pengunjung memesan hidangan mi kuah tersebut dengan sebutan “la-men” atau “la mi”.

Istilah ini kemudian dikombinasikan dengan fakta bahwa dalam bahasa Cina kata sebenarnya untuk mi tarik adalah “la-mian”, kemungkinan hal itu yang menyebabkan istilah tersebut ditulis sebagai “la men” pada menu Sapporo. “Pemilik toko menggunakan katakana sebagai pengganti karakter Cina pada menu dan lambat laun pembeli mulai memesan hidangan mi berdasarkan namanya. Maka lahirlah hidangan baru bernama “ra-men”, karena bahasa Jepang tidak membedakan antara pengucapan ‘l’ dan ‘r’,” tulis Kushner.*

TAG

kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Wisata Kuliner di Tengah Perang Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Kontes Memasak Tempo Dulu Mula Restoran All You Can Eat Popcorn dari Jalanan ke Bioskop Meriung di Warung Makan Tempo Dulu Kuliner Eropa yang Diadopsi di Nusantara