Berastagi merupakan kota kecil berhawa sejuk di dataran tinggi Tanah Karo, Sumatra Utara. Orang-orang Belanda dulu banyak mendirikan vila atau pesanggrahan di sana sebagai tempat berlibur. Biasanya pejabat pemerintah kolonial atau tuan perkebunan di Medan memboyong serta keluarga mereka ke Berastagi untuk berakhir pekan.
Pada akhir 1948, Presiden Sukarno juga pernah tinggal beberapa hari di Berastagi. Tapi, kunjungan Bung Karno ke Berastagi bukan untuk bervakansi sebagaimana penggede Belanda tempo dulu. Sukarno bersama Haji Agus Salim dan Sutan Sjarir dipindahkan dari Yogyakarta ke Berastagi sebagai tawanan setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua.
Hari-hari penawanan di Desa Lau Gumba, Berastagi mengingatkan Sukarno pada waktu diasingkan pemerintah kolonial ke Bengkulu 10 tahun sebelumnya (1938—1942). Bedanya, Belanda tak lagi menggunakan istilah pengasingan melainkan “penjagaan untuk keselamatan”. Bagi Sukarno sama saja. Hidupnya serasa dipenjara meski menempati rumah pesanggrahan yang bagus di Berastagi.
“Kami berada di dalam lingkungan kawat berduri dua lapis dan antara rumah kami dengan kawat berduri, enam orang pakai senapan mundar-mandir secara bersambung” kenang Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.
Baca juga: Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi
Kendati Belanda coba menutupi, kabar penawanan Sukarno dan pemimpin Republik lainnya tersiar juga ke mana-mana. Penjaga pesanggrahan yang bersimpati diduga kuat membocorkan keberadaan Bung Karno sampai kepada pejuang-pejuang Republik di Tanah Karo. Tak pelak, berita tentang ditawannya Bung Karno, Sjahrir, dan Agus Salim direspon pasukan TNI setempat untuk melancarkan operasi pembebasan.
Letkol Djamin Gintings, komandan Resimen IV Divisi X TNI, mengetahui penawanan Bung Karno cs. dari pasukannya. Seperti dituturkan dalam catatan hariannya, Gintings mendapat laporan bahwa Presiden Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim sejak 22 Desember 1948 dalam tahanan tentara Belanda di Berastagi. Saat itu, pasukan Kompi Sabotase dari Batalion XV Resimen IV baru pulang dari Berastagi menuju markas Resimen IV di Macan Kumbang, Aceh Tenggara.
“Pasukan Sabotase inilah yang pernah melaporkan bahwa Presiden Sukarno berada di Berastagi ditawan,” ungkap Ginting dalam catatan hariannya yang diterbitkan berjudul Bukit Kadir.
Baca juga: Pejuang Parapat Ingin Culik Bung Karno Secara Terhormat
Gintings kemudian memerintahkan pasukan intelijen dan Kompi Sabotase Batalion XV Resimen IV di sekitar Berastagi untuk membebaskan Bung Karno dari tawanan Belanda. Menurut Gintings, bilamana Bung Karno dapat diloloskan, tentu akan menambah daya gedor perjuangan Indonesia, baik TNI yang bertempur maupun para diplomat dalam perundingan. Untuk itulah Gintings menekankan arti penting operasi pembebasan ini. Bila perlu pasukannya menyabung nyawa menghadapi tentara Belanda. Setidak-tidaknya, Gintings berharap pasukannya dapat memetakan kamar tempat penahanan Bung Karno cs. untuk persiapan operasi lanjutan.
Namun, Belanda bukannya tidak menyadari ancaman dari pejuang-pejuang Republik di Tanah Karo. Baik TNI maupun laskar di daerah ini dikenal militan dan berani mati. Apalagi presiden Republik Indonesia sedang berada dalam tawanan Belanda. Lebih lama lagi menawannya di Berastagi tentu tentara Belanda bakal menghadapi perlawanan sengit dari TNI maupun laskar.
Pada 3 Januari 1949, pasukan Kompi Sabotase TNI dari Batalion XV Resimen IV tiba di sekitar Gundaling dan Lau Gumba. Mereka rupanya kalah cepat dari tentara Belanda yang sudah lebih dulu memboyong Bung Karno. Keterangan dari pihak intelijen Resimen IV mengatakan Bung Karno, Sjahrir, dan Agus Salim telah dipindahkan dari Berastagi pada 1 Januari 1949. Menurut keterangan penduduk, rombongan Bung Karno dibawa dengan auto pick-up dan dikawal rapi menuju Parapat. Operasi pembebasan yang sudah disiapkan itu terpaksa dibatalkan.
“Memang jelas pada waktu itu, jikalau Presiden RI berada di luar (dibebaskan dari tawanan-red), maka semangat rakyat yang sudah tinggi itu lebih bertambah lagi,” kata Gintings.
Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Dalam otobiografinya, Sukarno juga mengatakan masa penawanannya di Berastagi tidak berlangsung lama karena Belanda merasa tempat itu tak lagi aman. Di Parapat, Bung Karno ditahan lebih lama, kurang lebih enam bulan. TNI setempat pun turut berupaya membebaskan Sukarno dari rumah penawanannya. Sementara itu, Letnan Rata Parangin-angin, komandan Kompi Sabotase Batalion XV Resimen IV, gugur di salah satu pertempuran dekat Tiganderket, Tanah Karo pada 19 Januari 1949.