OLIMPIADE modern ke-33 yang digelar di Paris, Prancis resmi dibuka pada Jumat (26/7/2024). Untuk pertamakalinya, rangkaian upacara pembukaan olimpiade dihelat di luar stadion, tepatnya di Alun-Alun Jardins du Trocadéro dan Sungai Seine, tempat ratusan kontingen berdefile dengan perahu.
Terlepas dari kontroversi glorifikasi kaum LGBT dengan aksi berbau penghinaan terhadap parodi “Perjamuan Terakhir”, seremoni defile para kontingen juga jadi sorotan. Selain kontingen Israel dicemooh penonton dan kontingen Palestina mendapat aplaus, kontingen Aljazair menabur bunga mawar ke Sungai Seine.
Dari atas perahunya, para anggota kontingen Aljazair melambaikan tangan kepada penonton dan mengibarkan benderanya sekaligus melemparkan mawar-mawar merah yang mereka bawa ke sungai. Aksi itu dilakukan untuk menghormati para martir Aljazair dan massa pro-kemerdekaan Aljazair yang jadi korban Pembantaian Paris pada 62 tahun lampau yang jenazah-jenazahnya dibuang di Sungai Seine.
“Aksi (melarung bunga) ini adalah penghormatan kepada para martir (pembantaian) 17 Oktober 1961. Jayalah Aljazair,” seru salah seorang anggota kontingen Aljazair, dikutip The Arab Weekly, Sabtu (27/7/2024).
Para martir itu adalah korban pembantaian aparat kepolisian Paris pimpinan Maurice Papon, komandan polisi yang juga mantan kolaborator Nazi. Pemerintah Prancis mengklaim korbannya hanya 40 orang tewas namun beberapa pihak lain, termasuk sejumlah sejarawan yang meneliti kasusnya, menyebut korban tewas berkisar 200-300 jiwa.
Baca juga: Enam Olimpiade yang Direcoki Boikot (Bagian I)
Harga Mahal Perlawanan Anti-Kolonial
Tragedi Pembantaian Paris atau kadang dikenal sebagai Pembantaian 17 Oktober 1961 merupakan konsekuensi dari Perang Kemerdekaan Aljazair (1954-1962) antara kelompok Front de Libération Nationale (FLN) dengan pemerintahan koloni Prancis. Perang kemerdekaan itu turut memicu gelombang unjuk rasa para imigran Aljazair pro-FLN di Paris dan kota-kota lainnya.
Raid terhadap komunitas Aljazair di Paris sudah berlangsung sejak 25 Agustus 1958. Sebanyak 5.000 warga berdarah Aljazair sampai dikumpulkan dan ditahan di kamp-kamp penahanan di Rumahsakit Beaujon, Sekolah Japy, dan Vél’d’Hiv.
“Selama dua hari kamp konsentrasi dibuka di Paris. Mereka (kepolisian) bahkan tak pernah punya sense yang baik dalam memilih tempat yang justru mengingatkan para patriot Prancis yang sedang memperingati Pembebasan Paris (19-25 Agustus 1944) yang pernah terjadi di situ,” tulis suratkabar kiri L’Humanité, 25 Agustus 1958.
Baca juga: Enam Olimpiade yang Direcoki Boikot (Bagian II – Habis)
Untuk kian mengekang kebebasan berekspresi warga berdarah Aljazair dan para imigran asal Afrika Utara lainnya, otoritas kepolisian membentuk milisi-milisi perbantuan polisi, di antaranya CIV (Centre d’identification de Vincennes) dan FPA (Force de Police Auxiliarie). Milisi-milisi inilah yang diduga kuat melakukan beragam metode-metode ala Gestapo (Polisi Rahasia Nazi) seperti penyiksaan kepada para tahanan hingga melakukan penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pro-kemerdekaan Aljazair di sejumlah kota-kota penyangga Paris.
Tindakan-tindakan represif itu mengundang reaksi dari para militan FLN yang berhasil menyusup dan melakukan serangan-serangan bom pada awal Agustus hingga awal Oktober 1961. Serangan-serangan itu setidaknya menewaskan 11 aparat kepolisian dan melukai 17 lainnya.
“Pemboman-pemboman itu tidak hanya meluaskan rasa takut di kalangan kepolisian tapi juga memperbesar hasrat untuk membalas dendam dan melancarkan tindakan-tindakan berdasarkan kebencian terhadap segenap komunitas (Arab). Hampir setiap hari terjadi penggerebekan tidak hanya terhadap warga Aljazair tapi juga Maroko, Tunisia, dan bahkan imigran Italia dan Spanyol,” tulis sejarawan Jean-Luc Einaudi dalam Le Bataille de Paris: 17 Octobre 1961.
Baca juga: Peran Indonesia dalam Kemerdekaan Aljazair
Mulanya, pihak kepolisian menetapkan jam malam di Paris dan sekitarnya, khusus untuk sekitar 150 ribu masyarakat Aljazair dan imigran Arab lainnya. Namun hal itu tak menyurutkan sekira 40 ribu orang berkumpul untuk memprotes kebijakan-kebijakan rasis dan diskriminatif itu pada 17 Oktober 1961.
Papon sang komandan Kepolisian Paris pun menggerakkan tujuh ribu personil dan 1.400 aparat khusus antihuru-hara CRS. Mereka tidak hanya memblokade jalur-jalur massa demonstran tapi juga melancarkan raid dan menahan setidaknya 11 ribu pengunjuk rasa.
“Mereka yang ditahan, di antaranya imigran Aljazair, Maroko, dan Tunisia, dibawa ke Parc de Exposistions dan beberapa pusat kamp penahanan lainnya: kantor-kantor polisi, Palais des Sports, dan Stade Pierre de Coubertin,” lanjut Einaudi.
Meski begitu, pasca-penangkapan besar-besaran itu, sekitar lima ribu massa yang tersisa terus melakukan unjuk rasa sampai ke Grands Boulevards dan baru diblokade aparat di Opéra Garnier. Tepat di depan Rex Cinèma saat massa mundur lagi ke Grands Boulevards, aparat kepolisian menyerang dengan tongkat dan melepaskan tembakan kepada massa.
“Dua kompi pasukan CRS mencegat massa di depan Rex Cinèma dan depan kantor suratkabar komunis L’Humanité. Mereka melakukan penyerangan dengan tongkat. Hampir di waktu yang bersamaan dengan penyerangan CRS, aparat kepolisian lain melepas tembakan ke kerumunan massa FLN,” ungkap Jim House dan Neil MacMaster dalam Paris 1961: Algerians, State Terror, and Memory.
Baca juga: Djamila Bouhired Srikandi Aljazair
Massa yang berhamburan sempat dicegat lagi di Jembatan Neuilly. Ratusan yang kemudian diseret dalam keadaan terluka dan tangan terikat ke beberapa area tepi Sungai Seine dan Jembatan Pont Saint-Michel. Walau masih dalam keadaan hidup, mereka dilemparkan dan ditenggelamkan ke Sungai Seine.
Sungai Seine pun memerah. Einaudi mencatat sekitar 200-300 orang tewas dalam Pembantaian 17 Oktober 1961 itu. Sebagian besar tewas usai dipukuli, penembakan, hingga penenggelaman ke Sungai Seine. Namun pasca-kejadian, pihak kepolisian hanya menyatakan dua orang demonstran yang tewas kena tembak.
Setelah 37 tahun berselang, investigasi terhadap tragedi itu dilakoni pemerintah Prancis tapi hanya mengakui 40 orang yang tewas. Papon divonis 10 tahun penjara tapi pada 2002 dibebaskan karena alasan kesehatan.
Sebagai peringatan tragedinya, sebuah tetenger dan plakat diletakkan di Jembatan Pont Saint-Michel oleh Walikota Paris, Bertrand Delanöe pada 17 Oktober 2001. Sementara Emmanuel Macron jadi presiden pertama yang datang pada peringatan ke-60 pada 16 Oktober 2021 ke Jembatan Pont Saint-Michel. Ia mengakui ada keterlibatan negara pada pembantaian itu dan meminta maaf.