Monumen Sukarno telah berdiri di pusat kota Algiers, Aljazair. Monumen yang didesain oleh Ridwan Kamil dan Dolorosa Sinaga itu merupakan permintaan pribadi Gubernur Algiers sebagai penghormatan Aljazair pada Sukarno.
“Bung Karno sangat dihormai di Aljazair. Karena inspirasi Bung Karno, juga karena semangat Dasa Sila Bandung di KAA 1955 yang memberikan inspirasi bagi para pendiri Aljazair untuk merebut kemerdekaan dari penjajah di sana. Ini merupakan kehormatan nama Indonesia di mata dunia,” ujar Ridwan Kamil di akun twitter-nya, 6 Mei 2020.
Hubungan Indonesia dengan Aljazair memang sudah cukup lama terjalin. Sejak Konferensi Asia Afrika yang pertama, Indonesia juga beberapa kali memberi bantuan kepada negara-negara yang belum merdeka termasuk Aljazair.
Baca juga: Sokongan Indonesia untuk Kemerdekaan Afrika Utara
Dalam pidato Sukarno berjudul To Build The World Anew misalnya Sukano juga menyinggung perjuangan kemerdekaan Aljazair secara khusus di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara juga dibentuk dan Indonesia mengusahakan kantor bagi utusan dari Aljazair, Tunisia dan Maroko di Jakarta.
Hubungan baik dengan Aljazair ini mengingatkan Indonesia pada salah satu tokoh revolusi Aljazair yakni Djamila Bouhired. Namanya sempat terkenal di Indonesia pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an ketika Aljazair berada di puncak perlawanan terhadap penjajahan Prancis.
Djamila Bouhired merupakan pejuang kemerdekaan Aljazair yang lahir dari kelas menengah dan mendapat pendidikan di sekolah Prancis. Ketika berusia 22 tahun, Djamila bergabung dengan Front de la Libération Nationale (FLN), kelompok nasionalis yang dibentuk pada 1954.
Baca juga: Membebaskan Tjakrabirawa di Aljazair
Pada 1957, Bouhired ditangkap bersama beberapa pejuang lainnya atas tuduhan pengeboman sebuah kafe di Algiers. Ia disiksa di penjara dan dijatuhi hukuman mati.
Dukungan terhadap pembebasan Djamila Bouhired mengalir dari berbagai kalangan. Georges Arnaud dan Jacques Verges, dua simpatisan komunis, membelanya di depan umum. “...dan mereka menggunakan kisah-kisahnya sebagai simbol keinginan Aljazair untuk merdeka,” tulis Erika Kuhlman dalam A to Z of Women in World History.
Akhirnya, hukuman mati tak dilaksanakan dan Djamila Bouhired dipindahkan ke Rheims, Prancis. Pada Mei 1959, El-Moudjahid, media FLN, menyatakan Djamila Bouhired sebagai wanita paling terkenal di Aljazair. Sementara itu, ia tetap dipenjara di Prancis dan baru bebas pada 1962 bersama banyak tahanan Aljazair lainnya.
Kisah Djamila Bouhired diangkat ke layar lebar pada 1958. Kabar itu sampai ke telinga sutradara Usmar Ismail yang sebelumnya juga tertarik dengan sosok Djamila Bouhired. Usmar Ismail kemudian menonton film itu ketika mengunjungi Mesir. Tak lama setelah itu, perusahaan film milik Usmar Ismail, Perfini, menyediakan film berjudul Djamila Bouhired itu untuk penonton di Indonesia.
Baca juga: Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika
Menurut Hairus Salim H.S. dalam “Indonesian Muslim and Cultural Networks” yang termuat dalam Heirs to World Culture, Being Indonesian 1950-1965 kisah Djamila Bouhired sebelumnya memang sudah populer di Indonesia melalui serial di surat kabar.
Jurnalis Rosihan Anwar adalah orang yang menyusun serial itu di halaman harian Pedoman dari Februari hingga Maret 1958. Kisah berjudul Djamila Srikandi Alzajair itu disukai banyak pembaca dan meningkatkan sirkulasi Pedoman yang dipimpin Rosihan.
“Menurut Rosihan, cerita ini ditulis oleh Lakdar Brahimi, yang menjadi perwakilan FLN di Jakarta dan didasarkan pada apa yang ia baca di surat kabar seperti Le Figaro dan l'Humanité. Lakdar menulis ceritanya dalam bahasa Inggris, yang kemudian diterjemahkan oleh Pedoman,” tulis Hairus.
Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra
Mochtar Embut, musisi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), juga terinspirasi oleh Djamila Bouhired. Ia membuat lagu berjudul Djamila yang terkenal setelah dinyanyikan oleh paduan suara Lekra. Liriknya tentu saja berangkat dari perjuangan Djamila Bouhired dan rakyat Aljazair. Lagu ini dibuat sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan negara-negara Asia-Afrika.
Lagu Djamila juga direkam dalam piringan hitam bersama lagu Pudjaan Kepada Pantai, Persahabatan Tiongkok-Indonesia, Asia Afrika Bersatu, Nasakom, Dari Rimba Kalimantan Utara, Lagu Perjuangan, Api Cubana serta beberapa lagu daerah. Piringan hitam tersebut kemudian menjadi cenderamata Lekra dalam rangka misi kebudayaan ke Tiongkok pada 1963.
Djamila Bouhired kini masih hidup dan telah berusia 84 tahun. Pada Maret 2019, ia bahkan masih hadir dalam demonstrasi besar di Aljazair yang memprotes upaya Presiden Abdelaziz Bouteflika menjabat untuk yang kelima kalinya.