Masuk Daftar
My Getplus

Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban

Penemuan jamban kuno adalah harta karun arkeologi. Dari dalamnya bisa diketahui ragam makanan, penyakit, dan tentang ketakutan orang Romawi terhadap setan jamban.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 30 Jan 2021
Toilet Romawi di Appia Antica, Roma, Italia. (Mette Fairgrieve/Shutterstock).

Di dalam ruang lembap, sederet bangku batu berlubang dipasang memanjang menempel di sepanjang dinding. Kira-kira lima puluh lubang seukuran piring makan dipahat pada permukaannya. 

Dua ribu tahun yang lalu, di lubang-lubang itulah masyarakat Romawi Kuno membuang hajat. Jamban umum berlangit-langit tinggi ini berada di bawah salah satu istana paling mewah. Ruangan ini pun menjadi tempat tersibuk, sekaligus paling bau kala itu. 

Ann Koloski-Ostrow dan Gemma Jansen mendapat kesempatan langka mempelajari sisa-sisa toilet atau jamban umum di Bukit Palatium itu pada 2014. Arkeolog Amerika dan sejarawan Belanda ini sudah banyak meneliti jamban dari berbagai peradaban kuno.

Advertising
Advertising

Sebagaimana ditulis dalam Nature, bangku-bangku kloset Bukit Palatium itu diukur. Tingginya 43 cm dengan jarak antara lubang setengah meter. Di bawah lubang menganga saluran pembuangan, yang terdalam 3,8 m. 

“Tidak ada tanda-tanda penghalang di antara dudukan kloset, tetapi orang-orang mungkin memiliki privasi berkat pakaian mereka yang panjang dan jendela yang terbatas,” kata Koloski-Ostrow.

Baca juga: Brutal dan Primitifnya Sejarah Roma dalam Romulus

Di luar pintu masuk terdapat bekas-bekas coretan. Mungkin dulu orang-orang mengantre cukup lama untuk bisa memakai jamban umum itu. Buktinya orang punya cukup waktu untuk menggurat pesan mereka sebelum mendapat giliran. 

“Lokasi bawah tanah dikombinasikan dengan skema warna merah-putih di dinding, menyiratkan pengguna kelas bawah, mungkin budak,” katanya. 

Koloski-Ostrow mengatakan, baru pada sekira abad pertama SM, jamban umum menjadi fitur utama di dalam infrastruktur Romawi. Hampir semua penduduk kota memiliki akses ke jamban pribadi di tempat tinggal mereka.

Kendati begitu para arkeolog hanya tahu sedikit tentang bagaimana jamban ini bekerja dan apa pendapat orang tentangnya. Salah satu alasannya, di zaman Romawi, hanya sedikit orang yang menulis tentang jamban. 

“Saya rasa akan menjadi berita bagi banyak arkeolog yang telah bekerja di semua jenis bangunan Romawi bahwa beberapa bangunan ini benar-benar memiliki fasilitas jamban,” kata Koloski-Ostrow.

Jamban dari era Romawi di Ostia Antica, situs arkeologi yang luas di wilayah Lazio, Italia. (Ariy/Shutterstock).

Jamban umum Romawi tampak sangat mirip dengan pendahulunya di Yunani. Terdapat kamar berisi kursi bangku batu atau kayu yang ditempatkan di atas saluran pembuangan. Selain lubang jamban, ada celah sempit memanjang di bagian depan bawah bangku. Celah ini memungkinkan pengguna memasukkan tongkat berujung spons untuk membersihkan jamban. Lalu terdapat saluran air di depannya. Ini mungkin digunakan untuk mencuci tongkat spons agar bisa digunakan kembali. 

Baca juga: Pembersih Gigi Zaman Kuno

Beda lagi dengan jamban pribadi. Pada rumah-rumah pribadi, jambannya sering kali berada di dalam atau dekat dapur. Ini dianggap praktis karena orang juga membuang sisa makannya lewat lubang jamban. 

Masyarakat Romawi Kuno terkadang menyiram jambannya dengan ember air. Kendati lubang-lubang jamban itu tak selalu tersambung dengan selokan.

“Ketika lubang-lubang itu terisi, mereka mungkin mengosongkannya, baik ke kebun atau ladang di luar kota,” kata Jansen.

Penelitian tentang jamban kuno ini kemudian dinilai memberi cara baru dalam mempelajari banyak hal tentang masa lalu. Termasuk pola makan, penyakit, dan kebiasaan populasi masa lalu. Terutama masyarakat kelas bawah, yang hanya mendapat sedikit perhatian dari para arkeolog.

“Jamban memiliki banyak hal untuk diceritakan kepada kami, jauh lebih banyak daripada bagaimana dan di mana orang pergi ke kamar mandi,” kata Hendrik Dey, arkeolog di Hunter College New York kepada Nature. 

Sanitasi Tak Meningkatkan Kesehatan

Jamban Romawi memiliki sejumlah kekurangan. Satu masalah utama adalah tak ada lengkungan berbentuk S di pipa bawah jamban. “Jebakan” ini fungsinya untuk mencegat lalat. Lalat menyebarkan materi feses dan patogen ke manusia, sehingga perpindahannya harus dipersulit.

Mark Robinson, arkeolog lingkungan Universitas Oxford dan Erica Rowan dari Universitas Exeter, Inggris, menganalisis sisa feses dalam saluran jamban kuno yang terawat baik di Herculaneum, salah satu kota Romawi Kuno di Italia yang dihancurkan oleh letusan Gunung Vesuvius pada 79 M. Saluran ini terhubung ke beberapa jamban di blok permukiman.

Baca juga: Kala Kolera Menyerang Batavia

Benar saja, di antara kotoran dan sampah lain yang dibuang ke sana, Robinson menemukan banyak pupa lalat mineral yang rapuh. Karenanya, kendati Romawi Kuno terkenal dengan sistem perpipaannya yang canggih, studi modern tentang kotoran pada jamban kuno ini pun menunjukkan, teknologi sanitasi tak banyak membantu kesehatan penduduknya.

Gambar rekonstruksi jamban umum yang digunakan di Bentang Romawi Hausesteads (Vercovicium), Inggris, yang dibangun pada sekira abad 100-an M. (Wikipedia).

Makanan dan Penyakit dalam Feses

Membuang sampah dapur ke jamban memang bukan kebiasaan higienis. Namun, sampah-sampah kuno itu kini berguna sebagai sumber informasi yang kaya. 

Sebagaimana dalam hasil penelitian Mark Robinson dan Erica Rowan berjudul “From the Waters to the Plate to the Latrine: Fish and Seafood from the Cardo V Sewer, Herculaneum” yang dipublikasikan di Journal of Maritime Archaeology (2018), masyarakat Herculaneum sejak dulu telah mengkonsumsi beragam makanan sehat. Yang paling sering adalah buah ara, telur, zaitun, anggur, dan kerang. Padahal saluran jamban itu terhubung dengan apartemen dan toko dari masyarakat kelas bawah.

Artinya bukti dari Herculaneum menunjukkan kalau semua kalangan di kawasan itu mengkonsumsi beragam jenis makanan. “Kami selalu berpikir bahwa kalangan non-elite di dunia kuno tidak makan makanan yang sangat beragam atau menarik,” kata Rowan kepada Nature.

Baca juga: Mengintip Isi Dapur Firaun

Mereka juga membumbui makanan mereka dengan dill, mint, ketumbar, dan biji mustard. “Itu sangat sehat, dan mereka bisa mendapatkan semua nutrisi penting,” jelas Rowan.

Rowan menyimpulkan, banyaknya sisa-sisa dapur di dalam jamban menandakan orang-orang Romawi di Teluk Napoli ini lebih banyak memasak di rumah daripada yang dia perkirakan sebelumnya. Terutama dari jumlah tulang ikan yang ditemukan. Ia menilai perdagangan ikan di kawasan itu mungkin jauh lebih besar dari dugaan para ahli.

Pandangan dari udara kakus umum Tralleis dari masa Yunani kuno yang kini terletak di Aydin, Turki. (Arkeonaval/Shutterstock).

Kepercayaan Kuno tentang Setan Jamban

Kakus rupanya juga bisa menjadi jendela untuk mengetahui kepercayaan masyarakat pada masanya. Beberapa literatur Romawi menyebutkan setan yang bersembunyi di jamban. 

“Setan dapat merapal mantra pada Anda, dan ketika Anda memiliki mantra ini Anda mati atau Anda sakit,” kata Jansen.

Penulis Romawi, Claudius Aelianus menceritakan sebuah kisah dalam bukunya De Natura Animalium tentang seekor gurita yang berenang melalui saluran pembuangan di jamban. Ia lalu memakan ikan asin di dapur malam demi malam. 

Baca juga: Di Balik Kutukan Makam Firaun

Cerita itu mungkin bisa diragukan keasliannya. Tapi hewan pengerat, serangga, dan binatang lain nyatanya suka bersembunyi di jamban dan menyerbu rumah. “Dan air yang berisi kotoran bisa saja mengalir ke atas selama banjir,” lanjutnya.

Gas mungkin juga bisa menjadi masalah. Koloski-Ostrow berspekulasi, mungkin seseorang masuk ke jamban dan benar-benar melihat nyala api keluar dari salah satu lubang akibat gas metana yang menumpuk di selokan di bawah jamban.

Ketakutan terhadap jamban ini kemudian bisa menjelaskan mengapa di jamban umum lebih sedikit ditemukan grafiti dibanding tempat-tempat lain di wilayah Romawi. 

“Tidak ada yang ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sana daripada yang diperlukan,” jelas Koloski-Ostrow.

Baca juga: Di Balik Kematian Cleopatra 

Ketakutan yang sama juga bisa menjelaskan mengapa banyak jamban Romawi memiliki tempat pemujaan kecil bagi Dewi Fortuna. Sang Dewi dianggap melindungi pengguna jamban dari setan penyebab penyakit dan hal buruk lainnya yang bisa terjadi di sana.

Karenanya para peneliti menyimpulkan, tampaknya penduduk Romawi masuk jamban dengan rasa gentar. Baik itu karena kepercayaan mereka, maupun karena bahaya yang nyata dari tikus dan hama lain yang bersembunyi di selokan.

Bagi peneliti seperti Koloski-Ostrow, penemuan ini pun memunculkan lebih banyak pertanyaan tentang masyarakat kuno. Seperti apakah perempuan juga menggunakan jamban umum? Apakah mereka bersosialisasi atau diam selama di jamban? Apa ada pengaruh asing pada jamban Romawi? Lalu bagaimana budaya jamban menyebar antar ibukota dan negara bagian yang jauh? Pertanyaan-pertanyaan ini akan sulit dijawab.

Yang jelas, dengan menjelajahi sisa-sisa jamban dan selokan kuno, para arkeolog bisa menemukan petunjuk lebih jauh tentang kehidupan di dunia Romawi. “Hanya ada sedikit hal yang selalu dilakukan setiap manusia: makan, tidur, dan buang air besar. Jamban adalah arsip dari satu hal yang kita semua pasti lakukan,” kata Jennifer Bates, arkeolog University of Pennsylvania, sebagaimana dikutip Discover Magazine.

 

TAG

romawi kesehatan

ARTIKEL TERKAIT

Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Insinyur Jadi Menteri Kesehatan Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza Di Balik Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia Minyak Mujarab Resep Rahasia Keraton Sumbawa RSUD Pertama di Jakarta Enam Hal Terkait Medis Monster Perempuan dan Ketakutan Laki-laki Makanan Orang Romawi Kuno