Pada masa pembuangannya di Ende (1934–1938) dan Bengkulu (1939–1942), Sukarno tak hanya berdiam diri. Selain membaca buku tentunya, ia juga menulis naskah sandiwara. Hubungannya dengan sandiwara sudah terjalin sejak ia mondok di rumah H.O.S Tjokroaminoto, di Surabaya.
Kala itu, Sukarno aktif dalam Jong Java yang sering mengadakan kegiatan sosial di kampung-kampung, sekolah, dan lokasi terdampak bencana alam. Untuk mengumpulkan uang demi menyokong kegiatan itu, Jong Java mengadakan pertunjukan sandiwara.
Jong Java tidak banyak memiliki anggota perempuan. Sukarno yang tampan kelihatan seperti anak gadis. Maka, ia pun memerankan perempuan dalam banyak pertunjukan sandiwara.
“Dan potonganku lebih banyak menyerupai seorang perawan cantik, kalau Jong Java mengadakan pertunjukan diserahi memainkan peran wanita. Aku betul-betul membedaki pipi dan memerahkan bibirku,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno
Untuk mendukung peran perempuannya itu, Sukarno menggunakan dua buah roti yang dimasukan ke dalam bajunya. Alhasil, jadilah payudara buatan yang membuat tubuhnya yang langsing semakin mirip perempuan.
“Untunglah dalam peranku itu tidak termasuk adegan mencium laki-laki. Selesai pertunjukan kupikir, tentu aku tak dapat menghamburkan uangku begitu saja karena itu kukeluarkan roti itu dari dalam baju dan kumakan,” kenangnya.
Harsono Tjokroaminoto, anak H.O.S Tjokroaminoto juga terkenang dengan peran perempuan yang dilakoni Sukarno. Dalam Menelusuri Jejak Ayahku, Harsono menyebut bahwa Sukarno juga sering bermain sandiwara dalam acara-acara ulang tahun. Dari ulang tahun perkumpulan-perkumpulan di sekolah hingga organisasi.
“Peran yang sangat digemari oleh beliau, anehnya bukan peran laki-laki melainkan justru peran sebagai wanita. Dengan badan yang tinggi, langsing orang tidak akan mengira kalau yang berperan itu seorang pria. Tetapi karena mendengar suaranya maka barulah penonton akan mengetahui bahwa yang berperan itu seorang pria sejati,” kata Harsono.
Harsono sering kali dimintai bantuan oleh Sukarno untuk mencari roti dan rambut palsu. Saat itu susah sekali mencari rambut palsu karena termasuk barang langka. Yang ada hanyalah rambut palsu yang dirangkai dari benang.
“Zaman dulu rambut palsu dibikin dari benang besar yang namanya suyet. Selain rambut palsu saya juga harus mencari dua buah roti karambol yaitu roti bulat yang berbentuk payudara wanita. Zaman sekarang roti karambol juga ada tetapi sekarang dinamakan roti manis, tanpa campuran kismis ataupun coklat. Dua buah roti karambol ini sangat dibutuhkan untuk dipasang pada dada beliau,” sebut Harsono.
Baca juga: Bung Karno Dikerjai Anggota Grup Sandiwaranya
Kenangan Harsono itu membuatnya heran ketika Sukarno telah menjadi presiden. Kegemaran berperan sebagai wanita itu, menurutnya sangat berbanding terbalik dengan sosok Sukarno yang gagah dan disukai banyak perempuan ketika menjadi presiden.
“ …sebab kalau dulu Bung Karno dalam masa remajanya dalam bermain sandiwara selalu ingin menjelma sebagai wanita, tetapi kemudian apalagi sesudah menjadi presiden beliau justru menjelma menjadi seorang perkasa seperti yang dikemukakan ibu-ibu, Bung Karno ‘He is a man and that is why we like him’,” katanya.
Dari Surabaya, Sukarno membawa pengalaman bermain sandiwara ke pembuangan. Setidaknya ia membuat 12 naskah di Ende dan empat naskah di Bengkulu. Namun, dari semua naskah itu, tidak ada aktor perempuan yang dilibatkan. Peran perempuan dimainkan oleh laki-laki.
Taufik Rahzen dalam diskusi bertajuk “Drama Bung Karno” di Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa, 30 Juni 2020 menyebut hal itu berasal dari tradisi ludruk yang bisanya hanya laki-laki yang bermain.
“Kenapa perempuan tidak main dalam tonil-tonil Bung Karno itu mengikuti tradisi ludruk sebenarnya. Ludruk di Surabaya, kalau anda tahu, hanya laki yang main. Dan kalau perempuan, ya dimainkan oleh laki-laki,” kata Taufik.
Baca juga: Sukarno dan Seni
Sementara itu, Sukarno menyebut bahwa perkumpulan sandiwara di Ende hanya beranggotakan laki-laki karena para perempuan takut dituduh terlalu berani.
Meski demikian, peran perempuan dalam sandiwara-sandiwara Sukarno, baik di Ende maupun Bengkulu, bukan berarti tidak ada. Menurut Taufik, perempuan pertama yang berjasa besar adalah Inggit Garnasih.
Inggit Garnasih berhasil membuat gagasan dan ide Sukarno bisa tertuang dalam sandiwara. Periode ini disebut Taufik sebagai periode “Negara Teater”. Di mana Sukarno berada dalam dunia ide dan Inggit yang membantu menyalurkan ide-ide itu.
“Inggitlah yang memungkinkan memproduksi seluruhnya. Memungkinkan membuat tonil Kelimutu, memungkinkan membuat tonil Monte Carlo di Bengkulu,” kata Taufik.
Periode “Negara Teater” kemudian berubah menjadi “Teater Negara” setelah Sukarno bertemu Fatmawati. Dari dunia ide, Sukarno masuk ke dunia realitas pada periode ini berkat Fatmawati.
Baca juga: Perempuan yang "Menghidupkan dan Menyayangi" Sukarno
Senada dengan Taufik, penggiat teater Faiza Mardzoeki juga menyebut bahwa Inggit memang memiliki peranan besar bahkan hingga hal-hal detil dalam sandiwara.
“Peran Inggit itu harus ditulis lagi. Bahkan saya juga membaca, Inggit selalu juga melakukan penataan make up untuk terutama aktor (yang berperan) perempuan,” kata Faiza.
Taufik menambahkan, meskipun tidak tampil di atas panggung, Sukarno justru menempatkan nilai-nilai yang memperjuangkan perempuan dalam naskah-naskahnya.
“Peranan perempuan di dalam Sukarno itu besar, bukan hanya besar tapi amat besar sebenarnya. Dan seluruh dari karya-karya dia itu adalah karya yang mengidolakan (perempuan). Tanpa pemain (perempuan), tapi sebenarnya nilai-nilai dasar perempuan itu yang diperjuangkan atau yang muncul dalam karya-karya Sukarno,” kata Taufik.