Masuk Daftar
My Getplus

Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno

Kreativitas melintas batas Bung Karno dalam panggung drama. Rela berutang demi mengongkosi pementasan yang punya makna dan sandi mendalam.

Oleh: Randy Wirayudha | 01 Jul 2020
Bung Karno bersama para pemain dan kru teaternya, di mana seni teater dikembangkannya sejak pembuangan di Ende dan Bengkulu (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo")

CINTA Bung Karno terhadap seni tak hanya manis di bibir sebagaimana yang ia katakan. Seni sudah mendarah daging mengingat ia lahir dari orangtua campuran Jawa-Bali yang intim dengan seni. Tak heran hidupnya selalu “berselimut” seni, baik sebagai penikmat maupun pelaku seni. Mulai dari seni rupa, seni musik, sampai seni teater.

“Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni,” ucap Sukarno dari bibirnya dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang dituliskan Cindy Adams.

Namun mengungkit seni teater dalam diri Sukarno mesti diakui tak banyak familiar dalam pengetahuan publik. Lebih tepatnya seni drama/teater yang di masa lampau beken dengan sebutan tonil. Bukan hanya sebagai penikmat, sang founding father juga pelaku, pekerja, sutradara, hingga penulis naskahnya.

Advertising
Advertising

“Di kalangan teater bahwa Sukarno menulis naskah itu nyaris tidak ada percakapan. Jadi ini sesuatu yang baru. Faktor lain juga karena referensinya sangat sedikit. Jadi agak gagap juga membaca Sukarno sebagai seorang pekerja teater,” tutur Faiza Mardzoeki, penulis naskah, sutradara cum produser teater dalam diskusi live bertajuk “Drama Bung Karno” di Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa (30/6/2020).

Baca juga: Patung Bung Karno di Aljazair Karya Dolorosa Sinaga

Giat Bung Karno dalam seni tonil atau teater dilakoni kala dalam masa pengasingan di Ende (Nusa Tenggara Timur) kurun 1934-1938, dan di Bengkulu pada titimangsa 1939-1942. Perannya tentu sebagai penulis naskah, hingga sutradara. Tak lagi jadi pemain sebagaimana yang sering pula ia lakoni kala terlibat dalam beberapa pertunjukan ludruk semasa sekolah di Surabaya.

Mengutip Rhien Soemohadiwidjojo dalam Bung Karno Sang Singa Podium, selama di Ende, Bung Karno dibantu istri keduanya, Inggit Garnasih, membentuk kelompok tonil Kelimutu yang beranggotakan 47 pemain dan pekerja belakang layar. Sepanjang empat tahun di Ende, tak kurang 13 naskah sebagai anak rohani dari buah pikirannya, untuk dipentaskan di Gedung Imakulata.

“Demikian juga ketika diasingkan ke Bengkulu, Bung Karno membentuk kelompok tonil Monte Carlo. Saat ini sebagian kostum dan peralatan kelompok Monte Carlo masih bisa dilihat dalam dua lemari di rumah pengasingan Bung Karno di Kota Bengkulu,” tulis Rhien.

Diskusi live Historia.id bertema "Drama Bung Karno" bersama pelaku teater Faiza Mardzoeki dan budayawan Taufik Rahzen

Menengok koleksi di atas, kentara betul bahwa Bung Karno mendalangi teater bukan semata menghabiskan jemunya tempo pada masa pengasingan, baik di Ende maupun di Bengkulu. Si Bung Besar ibarat seniman teater betul-betul lantaran kerap menyiapkan tetek bengeknya dari A sampai Z dengan cermat dan serius dibantu Inggit. Barangkali jika lakon sejarah negeri ini punya plot yang berbeda dan Sukarno tak sampai jadi proklamator dan presiden pertama, sangat mungkin dia mengambil jalan hidup di teater.

“Yang menarik, bahwa Bung Karno itu dalam menjalankan kreativitas teater ini, dia sangat serius. Baik dari visi maupun dari segi yang sangat teknis. Bung Karno dari menyiapkan aspek teknis sampai visi yang ingin disampaikan, hingga melakukan audiensi dengan para pemain. Dan ini dilakukan dengan sangat teknis, tekun dan serius,” lanjut Faiza.

“Kita bayangkan di 1930-an tentu perangkat dan peralatan teater belum selengkap sekarang. Dia harus berpikir secara detail agar naskahnya bisa diimplementasikan maksimal di atas panggung. Dia juga sudah harus punya imajinasi naskahnya di panggung seperti apa karena dia berhadapan dengan beragam masalah teknis,” tambahnya.

Baca juga: Sukarno dan Seni

Satu soal teknis misalnya, terkait pemahaman naskah oleh para pemainnya kala mendirikan kelompok tonil Kelimutu. Disebutkan Budayawan Taufik Rahzen, di masa 1930-an perkembangan literatur dan sastra di Ende baru berkembang di kalangan misionaris dan kongregasi Katolik asal Eropa, Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah. Sementara para pemain yang direkrut Bung Karno, mayoritas masyarakat pesisir campuran, antara orang Ende, Buton, Makassar, Sabu, hingga Bima.

“Mereka enggak bisa baca, umumnya buta huruf. Kemudian bahasa pun pakai Melayu Ende. Nah ayangkan Bung Karno membuat suatu naskah itu harus mengajarkan kepada pemain-pemain yang enggak bisa baca. Makanya naskah itu hanya sebagai kerangka saja dan Bung Karno harus mengulangi secara lisan untuk disampaikan kepada para pemainnya,” timpal Taufik.

Kolase kelompok teater Bung Karno di Ende dan Bengkulu (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo")

Atau soal teknis lainnya terkait pamflet maupun spanduk promosi yang tulisannya juga, atau perihal kostum. Dari sejumlah kostum yang dibuat, Bung Karno juga memikirkan bagaimana unsur modernitas bisa masuk ke panggung.

“Kostum-kostumnya kalau saya lihat juga dipersiapkan dengan sangat serius, enggak terkesan amatir tuh. Ada semangat (kemajuan) zaman, enggak semua tradisional. Peran Inggit juga sangat penting dari kostumnya, bahkan juga Inggit selalu melakukan penataan make up untuk seluruh pemain perempuannya,” sambung Faiza lagi.

Enigma Bung Karno dalam Sandiwara

Setidaknya sekira 17 naskah teater yang pernah dihasilkan Bung Karno selama masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Di antaranya Rahasia Kelimoetoe, Taon 1945, Nggera Ende, Amoek, Rendo, Koetkoetbi, Maha Iblis, Anak Jedah, Dr. Sjaitan, Ero Dinamik, Djoela Goebi, Siang Hai Roembai, Rainbow, Hantoe Goenoeng Boengkoek hingga Djakarta-Chungking.

Walau naskahnya terbilang sederhana, di mana seperti lazimnya dalam penulisan cerita tiga babak: permulaan, konflik, dan solusi, tetapi Bung Karno senantiasa “menitipkan” sandi-sandi tersembunyi, bak kode mesin Enigma untuk dikomunikasikan pada para penontonnya.

“Kalau kita lihat perjalanan penulisan naskah sandiwara Bung Karno, itu akan mencerminkan nanti perkembangan bangsa kita. Jadi bukan naskah drama disebutnya, tapi naskah sandiwara. Kenapa sandiwara? Itu sandi kan rahasia ya. Kemudian wara itu kewacanaan. Jadi Bung Karno sebenarnya menggunakan sandiwara, kata-kata rahasia atau wacana rahasia untuk memberikan pesan kepada publik, termasuk publik internasional,” kata Taufik lagi.

Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi

Taufik melihat ada dua periode selama di Ende dan Bengkulu terkait penafsiran akan sandi-sandi terselubung dalam naskah tonil Bung Karno. Pertama, periode negara teater ketika Bung Karno merasa terisolasi di Ende dan baru mengembangkan diri lewat teater. Ide-ide naskahnya terselip kode-kode yang komunikatif tentang ideologi demokrasi hingga sosialisme, perkembangan sains, hingga masyarakat dan kemanusiaan.

“Tema-tema yang dikembangkan selama empat tahun di Ende, sebenarnya semua kode rahasia yang digunakan untuk memberikan sinyal kepada gerakan perjuangan karena surat-surat itu sulit, disensor. Coba lihat Koetkoetbi. Itu sebenarnya kode: ‘Kalian harus mulai menghimpun diri untuk membangun gerakan bawah tanah’. Atau ketika menulis Taoen 1945, di mana itu kode bahwa Asia mungkin akan masuk ke dalam fase baru pada 1945,” lanjutnya.

“Misalkan lagi Djoela Goebi. Djoela plesetan dari gula, simbol dari kalangan buruh, karena perkebunan gula yang lagi jadi komoditas. Goebi itu ubi, jadi simbol petani. Jadi buruh dan petani itu harus bersatu. Ada lagi Amoek, itu kode untuk pemberontakan. Atau Nggera Ende. Itu kan sebenarnya suatu tarian bersama, kode bahwa semua harus bersatu. Jadi Bung Karno mengirimkan sandi-sandi sedemikian rupa dalam naskah teaternya,” papar Taufik.

Spanduk promosi Teater Kelimutu dengan lakon Koetkoetbi (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo")

Adapun periode Kedua, transisinya dimulai kala Bung Karno sudah pindah ke Bengkulu hingga zaman Jepang, yakni periode teater negara. Bahwa urusan negara sudah jadi yang utama dan teater digunakan Bung Karno sebagai cara mengelola negara. Dan salah satu faktor utamanya tak lain adalah Fatmawati yang kelak jadi istri ketiga Bung Karno.

“Jadi Bung Karno sudah tak lagi seorang anak yang dijaga, dirawat, diruwat oleh Inggit karena sebelumnya peran Inggit membuatnya bebas berkelana dari sudut ide, mimpi dan dunia gagasan. Ketika ketemu Fatmawati, Bung Karno berhadapan dengan kehidupan dan kenyataan yang sebenarnya. Gaya naskahnya berubah. Bung Karno sudah mulai taktis. Kalau enggak ada Fatma mungkin enggak ada Sukarno dengan politik yang realistis, adanya idealis seperti Tan Malaka, membangun mimpi-mimpi atas dunia teater kalau tetap dengan Inggit,” sambungnya.

Baca juga: Teater Zonder Lentera, Karya Sastrawan Peranakan

Semisal naskah Bung Karno, Djakarta-Chungking. Lakon sandiwara yang menceritakan tentang spionase dan solidaritas antar kelompok perlawanan bawah tanah.

“Di sini sinopsisnya menceritakan tentang dikirimnya dua pemuda dari suatu perkumpulan rahasia dari Jakarta ke China. Setting yang dibangun ada di Jakarta, Singapura dan China. Sangat menggambarkan solidaritas dan patriotisme. Naskah yang bahkan masih relevan jika ditampilkan di masa sekarang. Menariknya lagi, tema spionase seperti ini sangat jarang walau di layar lebar sangat digemari,” tutur Faiza lagi.

Spanduk Teater Monte Carlo bertajuk Rainbow di Bengkulu (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo")

Jika naskah di atas terinspirasi dari relasi antara Jakarta-Peking, sedikit berbeda jika mengungkit naskah Hantu Gunung Bungkuk. Menurut Taufik, naskah itu terinspirasi dari kondisi Turki sebagai “The Sickman” atau negara pesakitan. Bahwa hantu kekuatan Islam akan muncul di dalamnya sebagai kode-kode Bung Karno.

“Sandiwara Bung Karno itu kan sandarannya sandi, rahasia, dan wara sebagai wacana. Kalau kita lihat bahasa Jawa kuno yang lama, itu disebut Alamkara, di mana dalam sastra, dia menciptakan dunia lain di dunia yang ada. Seperti halnya relief-relief di Candi Borobudur yang berupa cerita tafsiran Alamkara. Itu tidak ada dalam bahasa percakapan, lho, hanya dalam tulisan dan itu ada kode, pesan tesembunyi,” ungkap Taufik.

“Sukarno kan sebenarnya ingin mengangkat Alamkara ini atau sandiwara, itu khasanah masa lampau dalam bentuk pertunjukan yang modern. Jadi melalui karya-karya sandiwara Bung Karno, kita bisa menyusuri sejarah intelektuaknya yang berkaitan dengan ide-ide global yang ada. Bukan semata-mata melihat sejarah intelektual politik, tetapi respons dia terhadap sains, kemanusiaan, hubungan antarbangsa, bisa ditangkap di naskah-naskahnya,” tandasnya.

Baca juga: Makna Patung Bung Karno di Aljazair

TAG

bulan sukarno bung-karno bulanbungkarno bung karno seni teater tonil sukarno soekarno

ARTIKEL TERKAIT

Supersemar Supersamar Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Brigjen M. Noor Nasution di Panggung Seni Hiburan Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Berpulangnya Yayu Unru, Aktor Watak yang Bersahaja Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band