Masuk Daftar
My Getplus

Sukarno dan Seni

Seni adalah bagian tak terpisahkan dalam diri Bung Besar itu.

Oleh: M.F. Mukthi | 27 Jun 2012
Foto: Micha Rainer Pali

SUKARNO sangat mencintai seni. Itu fakta sejarah. Dalam kalimat pembuka otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dia mengakui bahwa untuk menggambarkan dirinya, cara termudah ialah dengan menyebutnya ‘mahapencinta’. Selain mencintai negerinya, Sukarno mencintai rakyatnya, mencintai perempuan, mencintai seni, dan seterusnya. “Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni.”

Sukarno bukan anak kemarin sore dalam urusan seni. “Secara genetik, Sukarno ini berdekatan dengan seni bukan secara kebetulan,” ujar kritikus seni Merwan Yusuf dalam diskusi “Bung Karno dan Seni”. Darah Bali ibunya, dalam pandangan Merwan, mengalirkan darah seni pada Sukarno. “Orang Bali itu dan agamanya sudah sebuah seni,” ujarnya.

“Bung Karno dan Seni” merupakan bagian dari rangkaian Pameran Seni Rupa “Energi Bung Karno” yang dihelat Majalah Historia bekerjasama dengan Megawati Insitute dan Galeri Cipta di Galeri Cipta III, 22-30 Juni. Selain Merwan Yusuf, pembicara lain adalah sejarawan Asvi Warman Adam. Diskusi yang dimoderatori wartawan Arie MP Tamba itu berlangsung meriah dengan beragam pertanyaan berbobot.

Advertising
Advertising

Kecintaan Sukarno akan seni terus bertambah seiring makin dewasanya dia. Keputusan memilih jurusan arsitektur dalam kuliahnya merupakan salah satu indikasi minat dan bakatnya pada seni. Di Ende, misalnya, Sukarno membuat sandiwara untuk membunuh kesepiannya. Ada sekira 12 naskah yang dia tulis selama pembuangannya.

Kecintaan pada seni turut mempengaruhi gaya kepemimpinan Sukarno. Sebagai contoh, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Sukarno berperan penting dalam penentuan lambang negara. Desain pakaian-pakaiannya, terutama jas, banyak yang dia kerjakan sendiri. Dalam sebuah kesempatan, pernah Sukarno meminta Jusuf Muda Dalam membeli sebuah lukisan yang dia senangi dalam sebuah acara. Namun Jusuf urung membayarnya karena kondisi keuangan negara yang sedang kritis. Di lain kesempatan, Sukarno pernah menugaskan salah seorang menterinya untuk membuat kalimat di museum nasional seindah kalimat yang terpampang di pintu keluar museum nasional Meksiko. “Anda bisa meninggalkan gedung museum ini, tapi Anda tidak bisa meninggalkan masa lalu,” demikian bunyi kalimat itu, dan Sukarno sangat menyukainya. Penamaan memang menjadi salah satu keahlian Sukarno. “Pengambilan nama dan istilah,” bagi Sukarno menurut Merwan, “sangat dipikirkan.”

Selain hobi melukis, Sukarno dikenal sebagai kolektor lukisan. “Dialah yang memulai kolektor pertama dengan jumlah lukisan terbanyak di Indonesia,” ujar Merwan. Sukarno juga sangat peduli kepada para pelukis di samping seniman-seniman di bidang lain. “Selain seniman, kolektor, Sukarno juga pelindung seniman,” lanjut Merwan.

Seni bagi Sukarno seperti ruh, membuat apapun karya atau hasil kerjaan terasa hidup. Misalnya pada salah satu kuliahnya yang disiarkan RRI, Sukarno  bisa secara luwes menganalogikan Demokrasi Terpimpin dengan sebuah orkestra. Meski masing-masing elemen punya peran penting, tanpa dirijen mereka tak akan bisa menghasilkan alunan nada yang harmonis. Dirigenlah yang bertugas membuat peran-peran itu menjadi padu, menghasilkan sebuah karya musik nan apik. Peran dirijen itulah yang dalam demokrasi dipegang oleh pemimpin atau tetua dalam tradisi musyawarah yang telah diwariskan secara turun-temurun di negeri ini.

Sukarno tak hanya menikmati seni untuk dirinya sendiri. Sukarno ikut menularkan jiwa seni kepada rakyatnya. Lebih jauh, Sukarno menggunakan seni sebagai media merancang, membangun, dan merawat bangsanya. Patung, monumen, bangunan, lukisan, lagu dan lain sebagainya menjadi buktinya. Tak jarang Sukarno harus merogoh koceknya sendiri untuk mewujudkan karya-karya seni itu. Bila memang ada klasifikasi ‘seni untuk bangsa’, “Sukarno itu di situ perannya,” pungkas Asvi.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Runtuhnya Kesultanan Banten Filantropi Tjong A Fie Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik