Masuk Daftar
My Getplus

Pembatasan Kegiatan Masyarakat Masa Kompeni

Sekarang untuk beraktivitas harus ada STRP. Dulu harus punya surat pas agar bisa lewat penyekatan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 22 Jul 2021
Pos jaga di sebuah kampung di Surabaya pada 1890. (geheugen.delpher.nl).

Pemerintah memperpanjang waktu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali hingga 25 Juli 2021. Perpanjangan ini menyebabkan penyekatan jalan di berbagai daerah masih berlaku. Hanya orang yang membawa Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP) yang diperkenankan melintasi penyekatan yang dijaga panser dan tentara.

Penyekatan membuat masyarakat tak leluasa bergerak di dalam wilayahnya sendiri. Sebagian mengeluh harus mengurus administrasi STRP. Ketidakleluasaan bergerak ini sebenarnya juga pernah terjadi pada masa lampau. Tapi kasusnya bukan karena pandemi, melainkan untuk menjaga keamanan kota pelabuhan milik VOC seperti di Batavia sejak 1620-an.

“Menurut sejarawan Mona Lohanda peraturan ini dimulai sejak 1628,” sebut Yerry Wirawan dalam Keberagaman Masyarakat Indonesia. Peraturan ini berlaku bagi setiap orang lokal tanpa memandang asal sukunya. Setiap orang harus membawa surat pas atau surat jalan agar bisa keluar-masuk kota VOC (passenstelsel).

Advertising
Advertising

“Di masa kekuasaan VOC, warga pribumi yang akan memasuki kota Batavia (wilayah Intramuros) harus memiliki surat pas (Plakaat 6 Agustus 1640) yang dikeluarkan oleh licentiemeester,” catat Mona Lohanda dalam Para Pembesar Mengatur Batavia.

Kala itu, Batavia terbagi menjadi dua wilayah besar: dalam tembok kota dan luar tembok. Orang-orang Eropa beserta budaknya (asisten rumah tangganya) menghuni tembok kota, sedangkan orang-orang lokal tinggal di luar tembok. Pembangunan tembok kota juga tak lepas dari pertimbangan keamanan.

Diurus Kepala Kampung

Adolf Heuken dalam Sejarah Jakarta dari Masa Prasejarah Sampai Akhir Abad ke-20 menyebut kebijakan passenstelsel berpangkal dari ketakutan orang-orang VOC terhadap kemungkinan serangan orang-orang Jawa Mataram. Untuk memperkuat passenstelsel, VOC menempatkan orang-orang lokal di luar tembok kota dan membaginya berdasarkan latar belakang suku atau daerahnya. Kebijakan itu disebut wijkenstelsel (sistem kampung).

VOC menunjuk kepala kampung atau bek di setiap wilayah wijk. Bek bertanggung jawab terhadap keamanan kampungnya masing-masing. Dia juga harus mengurus warga yang mengajukan surat jalan. Dengan begitu, bek menjadi perpanjangan tangan VOC untuk mengetahui pergerakan warga di luar tembok kota.

Baca juga: Berebut Jadi Tuan Bek

Urusan membuat surat pas ini sangat merepotkan. Warga mesti menemui kepala kampungnya untuk meminta formulir isiannya. Warga harus mengisi “alamat yang dituju, angkutan yang digunakan, lama perjalanan, berapa orang yang pergi bersamanya, dan maksud dari perjalanan tersebut,” sebut Mona.

Tak selesai di situ, warga juga wajib membayar biaya pembuatan surat pas itu. Bila surat pas sudah dibuat, warga harus membawanya selama keluar dari kampungnya. Kemudian warga mesti melapor setibanya di tempat tujuan kepada petugas berwenang.

“Kalau orang Cina, ia harus melapor kepada bek Cina atau Opsir Cina setempat untuk mendapatkan tanda tangan dan cap stempel,” lanjut Mona. Dari sini, warga bisa mengeluarkan biaya lagi.

Meski aturan ini tampak ketat dan merepotkan, interaksi warga antarkampung di luar tembok kota tetap berjalan normal. Bahkan kawin-mawin antarkelompok menjadi hal yang kaprah.

Untuk Warga Tionghoa

Perubahan terjadi setelah 1740. Saat itu, orang-orang VOC membantai ribuan warga Tionghoa karena dianggap ingin memberontak. Sejak itu, orang-orang VOC mulai mencurigai warga Tionghoa. Mereka memberlakukan aturan surat pas secara lebih ketat khusus untuk mereka. Pemberlakuan ini terus berlangsung bahkan ketika aturan surat pas tak lagi diberlakukan untuk warga lainnya pada 1835.

“Tahun 1862 ketika Kultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) dihapus, passenstelsel malah diberlakukan lebih ketat bagi etnis Tionghoa dengan maksud menghambat aktivitas mereka,” tulis Mona Lohanda dalam “The Passen en Wijkenstelsel: Dutch Practice of Restriction Policy on the Chinese” Jurnal Sejarah, Vol. 12 No. 12, Juni 2005.

Baca juga: Duka Warga Tionghoa

Tapi Ong Hok Ham menyebut penegakan dan ketaatan pada aturan surat pas ini sangat bergantung pada orang Tionghoa dan pegawai atau pejabat setempat. “Banyak yang memang mengabaikan pembatasan-pembatasan bepergian ini, khususnya untuk jarak pendek dan yang berwenang kadang-kadang membiarkannya,” tulis Ong dalam “Refleksi Seorang Peranakan Mengenai Sejarah Cina-Jawa” yang termuat dalam Rakyat dan Negara.

Menurut Ong, pemerintah kolonial mempunyai kepentingan atas orang Tionghoa terkait penjualan candu, rumah gadai, pembuatan garam, perahu tambang, dan pajak pasar. “Karena mereka membawa keuntungan bagi usaha pemerintah, mereka harus dapat bergerak secara leluasa,” lanjut Ong.

Bayar Denda

Tapi buat sejumlah pedagang Tionghoa, aturan surat pas itu tetap berlaku. Seperti yang dialami oleh Tio Tek Hong pada 1905. Dia harus tetap membuat surat pas untuk pergi dari Batavia ke sejumlah kota di Jawa.

“Saya minta surat jalan untuk ke Yogya dan Solo kepada Asisten Residen Ketjen di Jakarta. Saya cuma diberi surat jalan ke Surabaya. Katanya dengan surat itu saya boleh singgah di mana saja,” kenang Tio dalam “Cina Pasar Baru tentang Betawi Tempo Doeloe” yang termuat dalam Batavia Kisah Jakarta Tempo Doeloe.

Tio dan seorang temannya sempat khawatir ketika menginap di sebuah hotel yang dikelola orang Belanda di Yogyakarta. Kepada pemilik hotel, dia katakan hanya punya surat jalan ke Surabaya. Tak ada surat jalan secara khusus untuk kota yang dia singgahi. “Kami terus terang memberi tahu tak berbekal surat jalan khusus,” kata Tio.

Tio lalu menghubungi Kapten Yap Ping Liem, kepala orang Tionghoa di Yogyakarta. Dia meminta kepadanya agar mau membuatkan surat jalan untuk keliling Yogyakarta dan Solo. Kapten Yap menyanggupinya dan meminta Tio beserta kawannya tak usah khawatir.

Baca juga: Bandit Menguasai Malam di Batavia

Sepulang dari rumah Kapten Yap, polisi telah menunggu Tio dan kawannya di hotel. “Kami masing-masing tak luput dari denda f.5,00. Kami terpaksa membayarnya karena tak mau masuk penjara,” terang Tio.

Tio dan temannya menunggu surat pas selama empat hari. Tapi surat itu tak jadi-jadi juga. Mereka akhirnya nekat berangkat ke Solo. “Tanpa surat kami berangkat ke Solo. Syukur kami tak mendapat kesulitan,” cerita Tio.

Pemerintah kolonial mencabut aturan surat pas di seluruh wilayah koloni pada 1916. Penghapusan ini hasil dari tuntutan organisasi orang Tionghoa terhadap pemerintah kolonial. Mereka mengatakan dunia sudah berubah dan bergerak ke arah liberalisasi. Pemerintah kolonial pun menilai kebijakan itu sudah usang dan mempersulit pertumbuhan ekonomi.

TAG

surat pas

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu Gara-gara Iklan Pertunangan Palsu Awal Mula Biro Iklan Mencari Pasangan Lewat Koran Pengemis dan Kapten Sanjoto Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Bersepeda Keliling Dunia Mengirim Bayi dan Anak-anak Lewat Paket Pos