Masuk Daftar
My Getplus

Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu

 Meski bertentangan dengan kesusilaan, pasutri yang bertukar pasangan demi kepuasan dan variasi seksual juga terjadi di Indonesia. Dulu dilakukan sembunyi-sembunyi, kini makin terfasilitasi dengan terjalinnya komunitas swinger kaum urban.

Oleh: Martin Sitompul | 28 Mar 2024
Ilustrasi tentang aktivitas seksual dalam berbagai posisi di Kuil Lakshmana di Khajuraho, India. Sumber: Wiki.

Beberapa waktu lalu terbetik kabar menghebohkan tentang pengajian yang membolehkan hubungan seksual bertukar pasangan. Pernyataan itu dilontarkan Gus Samsudin, pemilik Pondok Pesantren Nuswantoro di Desa Rejowinangun, Blitar, Jawa Timur. Dalam rekaman video yang kemudian viral itu, Samsuddin berperan sebagai ulama yang berdakwah. Di kalangan jamaahnya, Samsudin membolehkan mereka bertukar pasangan atau bertukar istri atas dasar suka sama suka.

“Bebas di sini, asalkan seneng sama seneng, suka sama suka, silakan saja. Mau tukar pasangan juga boleh,” katanya dalam rekaman video seperti dikutip detikjatim, 27 Februari 2024 silam.

Atas kelakuan kontroversinya itu, Samsudin kini digelandang dalam tahanan. Namun, bukan penistaan agama yang menjeratnya, melainkan pelanggaran undang-undang ITE. Karena kadung viral, rekaman video itu menyebar ke mana-mana dan meresahkan masyarakat. Samsudin belakangan mengaku dakwahnya soal bertukar pasangan itu sebagai konten untuk meningkatkan pelanggan Youtube-nya.  

Advertising
Advertising

Baca juga: Nonton Film Porno Tempo Dulu

Dalam bahasa kekinian, praktik bertukar pasangan ini disebut swing partner party atau swinging; salah satu bentuk seks bebas gonta-ganti pasangan bercinta. Meski terdengar tabu, ia sebenarnya bukan barang baru. Pada 1956, koran Indonesia Raya memberitakan tentang perkumpulan tukar-menukar istri di Karawang.

“Di Daerah Kabupaten Karawang ada persekutuan antara sejumlah orang laki-laki dengan sukarela mengadakan pertukaran istri masing-masing. Perempuan yang baru beranak ternyata laris dikunjungi oleh laki-laki yang bukan suaminya itu.” demikian keterangan yang diterima Kantor Urusan Agama (KUA) Jawa Barat dikutip Indonesia Raya, 24 Februari 1956.

Praktik tukar-tukaran istri di Karawang itu membuat Kepala KUA Jawa Barat Arhatha Abdurrauf jadi gelisah. Menurutnya perkara tersebut sukar diproses secara hukum. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), belum ada pasal yang mengatur hubungan seksual bertukar pasangan.

“Peristiwa itu bukan saja sulit untuk diperiksa, tapi juga sulit untuk dituntut, oleh karena dalam KUHP tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menuntutnya, jika tidak ada pengaduan atau pendakwaan, sedangkan perbuatan itu, menurut laporan tersebut, dilakukan secara sukarela,” jelas Abdurrauf dikutip Indonesia Raya

Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit

Tidak diketahui persis motif wanita yang terlibat dalam hubungan seksual tukar pasangan di Karawang. Bisa jadi dia ikhlas memberikan diri atau dipaksa oleh suaminya. Namun, menurut Abdurrauf, kecenderungan motifnya bisa ditinjau dari hubungan patronase suami-istri. Apalagi bagi mereka yang tinggal di pedesaan, pada umumnya istri serba menurut kepada perintah suami.

Demi menutup celah dalam KUHP itu, Abdurrauf berharap, para pemimpin rakyat di DPR maupun tokoh agama urun rembuk memikirkan undang-undang yang mengatur perkara bagi pelaku praktik seksual bertukar pasangan. Dia menyebut perilaku seksual menyimpang itu sebagai kebejatan akhlak yang mesti diberantas. Dengan demikian, Abdurrauf menandaskan, “Generasi Indonesia yang akan datang jangan merupakan keturunan yang tidak karuan, yang rendah taraf rohaniah dan jasmaniahnya.

Selain Karawang, gejala yang sama juga melanda di Kabupaten Ciamis. Masih dalam berita Indonesia Raya, kasus hubungan seksual bertukar pasangan di Ciamis itu sampai menjadi bahasan dalam konferensi antar kepala KUA kabupaten-kabupaten seluruh Priangan. Konferensi menginstruksikan penyelidikan lebih lanjut untuk pencegahan dan penyuluhan bilamana diperlukan.

Baca juga: Kaum Anti Kemapanan

Tapi, seiring waktu, gerakan seks bebas bukannya makin menurun malah terjadi peningkatan. Dekade 1960-an, gerakan “hippies” kaum anti-kemapanan yang menentang nilai-nilai konservatif di Amerika begitu menggandrungi perilaku seks bebas lewat gaya hidup mereka. Pun demikian dengan praktik seksual bertukar pasangan.

Pada 1970-an, mulai dikenal istilah-istilah yang berhubungan dengan praktik seksual bertukar pasangan, seperti The Swinging '70 atau Swingtown. Pelakunya disebut swinger. Pesta swinger umumnya terjadi di kota-kota besar sebagai sisi gelap kehidupan masyarakat urban.

Di Indonesia, fenomena swinger baru marak memasuki tahun 2000. Moammar Emka, penulis urban kultur tentang kehidupan seks liar di Jakarta, menyingkap tentang komunitas swinger bernama Klub “Casa Rosso”. Selain mewawancarai para pelakunya, Emka juga berpartisipasi aktif sebagai peserta pesta swinger yang diikutinya pada 2003 itu. Dia diajak oleh seorang kawan yang merupakan anggota tetap komunitas tersebut. Untuk ikut pesta, peserta harus membayar tiga juta rupiah sebagai ongkos akomodasi, konsumsi, dan iuran. Angka yang cukup besar untuk masa itu.    

“Meski tidak menjadi semacam nama organisasi, minimal nama itu menjadi pembeda dengan kelompok seks tukar pasangan yang lain. Kabarnya, di Jakarta kelompok penganut paham seks ini tidak hanya satu atau dua, tapi ada puluhan. Casa Rosso hanyalah salah satunya,” catat Emka dalam bukunya Jakarta Undercover 2.

Baca juga: Virus Kaum Hippies

Emka menuturkan, pesta swinger itu berlangsung di sebuah Hotel di Jakarta Barat. Sejumlah pasangan datang secara sengaja dan sadar untuk menggelar pesta seks bertukar pasangan. Pasangan kencan diundi berdasarkan kunci kamar milik pria yang diambil secara acak oleh wanitanya.

Menurut Emka, para peserta yang terlibat dalam pesta seks itu mencari tujuan yang beragam. Ada yang menganggapnya sebagai hiburan semata. Ada yang dengan begitu, menjadi lebih terbuka dengan pasangan sahnya. Ada yang ingin coba-coba cari pengalaman baru; variasi dalam petualangan seksual. Namun, semuanya sepakat bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah kelainan seksual.

“Menyodorkan pasangan sebagai barter untuk menambah gairah, kesenangan, rekreasi, sensasi, dan bahkan tak urung berakhir untuk tujuan bisnis semata. Tren keblinger pasangan masyarakat urban,” demikian simpul Emka.

Baca juga: Teks-Teks Jawa tentang Perilaku Seks 

TAG

seksualitas karawang

ARTIKEL TERKAIT

Menyingkap yang Tabu Tempo Dulu Kisah Seniman Yahudi Pura-pura Mati demi Menghindari Nazi Tiga Kasus Tukar-Menukar Istri Om Genit Mata Keranjang Azab Raja Cabul di Tanah Bugis Riwayat Homofobia Mengorek Ngondek Konflik Beras Kaum Republik Kisah Romansa Masa Lalu Memuja Dewi Cinta Mesopotamia