Nonton Film Porno Tempo Dulu
Geliat industri pornografi di Indonesia dari masa ke masa. Dulu tempat pemutaran film esek-esek saja yang digerebek, tapi sekarang sudah ada rumah produksinya.
Kelurahan Srengseng Sawah di Jagakarsa, Jakarta Selatan terkenal dengan tempat wisata Perkampungan Betawi Setu Babakan. Namun, beberapa pekan belakangan ini, warga Srengseng dihebohkan oleh kasus penggerebekan rumah produksi film porno. Hendaru Tri Hanggoro adalah salah satu warga Srengseng Sawah yang turut kaget atas pemberitaan menyangkut lingkungan tempat tinggalnya itu. Rumah yang digerebek hanya berjarak 1 km dari kediamannya.
“Enggak tahu (ada studio film porno-red). Gua biasa lewat depan rumah itu. Kebetulan itu rumah kan kayak rumah toko gitu. Di pinggir jalan pula. Jadi ya, biasa aja ngelewatinnya. Engga pernah ada aktivitas syuting film,” tutur Hendaru kepada Historia.id.
Tim Patroli Siber Polda Metro Jaya, dikutip dari tempo.co, mengungkap rumah produksi Karya Bintang Studio (KBS) difungsikan sebagai studio pembuatan film porno di Jalan Raya Srengseng Sawah. Rumah produksi ini telah beroperasi sejak 2022 dan menghasilkan sekitar 120 film yang ditayangkan di tiga situs daring berbayar. Keuntungan yang diraup ditaksir berjumlah 500 juta rupiah. Beberapa pemerannya melibatkan artis dari kalangan selebgram.
“Kalau tau mah, gua ikut ngelamar,” ujar Hendaru berkelakar.
Penggerebekan rumah produksi film porno di Srengseng membuktikan pornografi di Indonesia kian masif. Ia bahkan telah berkembang menjadi industri buatan anak negeri. Zaman sekarang pornografi dapat dengan mudah diakses siapapun dari internet atau bahkan dijual untuk meraup keuntungan. Polisi pun bergerak secara siber untuk menangkap pelaku dan pembuat kontennya sebagaimana kasus Srengseng.
Pada tempo dulu, pembuat konten porno bisa mendulang uang dengan menggelar lapak pemutaran film porno. Tempat-tempat seperti inilah yang menjadi sasaran penggerebekan polisi. Kasus penggerebekan tempat demikian pernah terjadi di Surabaya lebih dari setengah abad silam. Istilah zaman itu lebih lazim menyebutnya sebagai film cabul.
“Tempat Pemutaran Film Tjabul Digrebeg Polisi. 13 orang ditahan di Surabaya -- Pemutaran sudah dilakukan dibeberapa tempat di Jawa Timur,” lansir harian Suara Merdeka, 13 September 1956.
Baca juga: Film Porno Mirip Sukarno
Kepolisian Surabaya diberitakan telah menggerebek sebuah rumah di Jalan Salak 36 yang digunakan sebagai tempat pemutaran film cabul. Dalam penggerebekan itu, polisi menyita barang bukti berupa sebuah proyektor dan 5 rol film tentang praktik-praktik percabulan. Tidak dijelaskan lebih lanjut apakan film yang diputar buatan dalam atau luar negeri. Polisi menahan pemilik rumah, pemutar film, pemilik film, serta penontonnya yang berjumlah kurang lebih 12--13 orang.
Pemilik proyektor film berinisial TKT dan bertempat tinggal di Gembong Sawahan Tengah, Surabaya. Pemutarnya (PEK) berasal dari Sidodadi sedangkan pemilik rumah yang dijadikan tempat pemutaran film berinisial GKH. Untuk tiap pemutaran film, menurut pemeriksaan polisi, pemilik proyektor film membandrol biaya sewa sebesar 500 rupiah. Sementara itu, penyewa proyektor memungut 75 rupiah dari setiap penontonnya. Bisnis film esek-esek ini cukup meresahkan karena bukan kali pertama dijalankan oleh para pelaku.
“Praktik-praktik pemutaran film itu sudah berulang-ulang dilakukan dibeberapa tempat di Jawa Timur, tetapi baru kali ini saat nahas ditangkap polisi,” sebut Suara Merdeka.
Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno
Dari rumah pemilik proyektor, polisi menyita lagi dua rol film cabul. Film-film cabul itu ditayangkan pada kalangan-kalangan tertentu. Di rumah Jalan Salak, tempat berlangsungnya nonton bareng film cabul, polisi juga menyita majalah-majalah vulgar yang dianggap melampaui norma kesusilaan dan kesopanan.
Selain film, bacaan-bacaan cabul memang sudah banyak beredar pada dekade 1950-an. Menurut Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja, buku-buku berbau porno itu berukuran saku dan kualitas cetakannya kurang bagus. Harganya pun lumayan mahal untuk kantong remaja. Biasanya buku porno itu tidak selalu berisi gambar yang merangsang tapi dalam bentuk cerita. Salah satunya serial Serikat 128 yang menceritakan organisasi rahasia yang membongkar dan melawan kejahatan komplotan para bandit dan koruptor.
“Cerita kriminal ini sering diselingi cerita adegan porno,” kenang Lubis.
Baca juga: Sukarno dan Majalah Playboy
Pada dekade 1970-an, film porno bahkan sudah masuk bioskop. Pada umumnya berasal dari luar negeri, seperti Italia dan Hongkong. Supaya menarik perhatian, promosi film jenis ini menampilkan berbagai gambar baliho yang hot dan vulgar di depan bioskop. Kecenderungan ini diikuti oleh beberapa film Indonesia.
“Tren film pornografi mulai marak dalam film Indonesia sekitar akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an,” catat budayawan Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina, & Es Shanghai.
Seiring waktu, perkembangan film porno berkelindan dengan kemajuan teknologi, sebagaimana film-film lain. Orang tak lagi menontonnya via proyektor. Ia beralih wahana ke dalam bentuk penyimpanan digital seperti kaset (Betamax dan VHS) hingga piringan padat (CD,VCD, dan DVD). Kawasan Glodok pada periode 1990-an hingga dekade awal 2000-an disebut-sebut sebagai sentra perdagangan VCD porno. Internet membuatnya jadi lebih mudah lagi sehingga orang pun tergiur untuk memproduksinya sendiri, seperti yang terjadi di Srengseng baru-baru ini.
Baca juga: Bernapas dalam Film Panas
Menurut Hendaru, jurnalis sejarah yang fokus pada sejarah hiburan, pemberitaan soal penggerebekan film porno di Srengseng malah membuat orang jadi penasaran. Padahal, filmnya, kata Hendaru biasa saja. Ketimbang film biru “polosan”, filmnya lebih mengarah ke semi porno atau komedi vulgar tengah malam yang pernah tayang di salah satu tv swasta pada awal 2000-an. Sementara itu, nama Srengseng Sawah, lingkungan tempat tinggalnya sejak orok jadi tercemar gara-gara pemberitaan ini.
“Daerah sini malah lebih terkenal sama tempat wisatanya, kan ada Setu Babakan sebagai perkampungan budaya Betawi. Padahal filmnya biasanya aja. Sementara nama Srengseng Sawah jadi keseret ke hal-hal yang nggak sesuai fakta. Bukan hanya merusak nama wilayah, tapi juga pikiran orang,” terang Hendaru.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar