Virus Kaum Hippies
Tak hanya di San Francisco. Generasi bunga juga bermekaran di Bandung.
Demonstrasi antiperang marak di Amerika Serikat medio 1960-an. Kaum muda turun ke jalan, memprotes invasi Amerika Serikat ke Vietnam. Simbol mereka adalah bunga sehingga kerap disebut sebagai generasi bunga (flower generation).
Mereka kemudian memimpikan sebuah tatanan kebudayaan baru, yang disebut hippies. Ciri-ciri mereka berambut gondrong, berpakaian urakan, hidup nomaden, kerap melakukan seks bebas, dan menggunakan obat bius. Pandangan kebebasan yang mereka impikan seolah ingin meruntuhkan tembok mapan peradaban Barat yang dianggap munafik.
Menurut W.J. Rorabaugh dalam American Hippies, tahun 1967 menandai puncak gerakan hippie. Saat itu terjadi sebuah fenomena sosial The Summer of Love, di mana ribuan hippies, mayoritas remaja putus sekolah, menyemut di Haight Ashbury, San Fransisco, Amerika Serikat. Di sana mereka berkumpul untuk mendengarkan musik, berhubungan seks, dan menggunakan narkotik.
Festival musik akbar Woodstock di Middlefield, Connecticut, Amerika Serikat, pada 1969 menjadi puncak perayaan budaya kaum hippies.
Budaya hippies lalu mengular ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Anak-anak muda, yang mengalami depolitisasi sejak awal Orde Baru, menyerap mentah-mentah budaya hippies kendati hanya kulitnya.
Menurut Ekspres, 7 Juni 1971, mulanya anak-anak muda di negeri ini meniru hanya sebatas mode. Lama-lama mereka menyaplok habis budaya dan kehidupan hippies, seperti rambut gondrong, dandanan eksentrik, suka pesta, dansa telanjang, dan seks bebas. Yang paling membuat keadaan menggawat adalah penggunaan narkotika, ganja, dan morfin.
Kota besar di Indonesia yang paling cepat menyerap gaya hippies adalah Bandung. Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik menulis, di sana gadis-gadis sekolah ikut-ikutan melakukan seks bebas namun ujung-ujungnya menjadi pelacur-pelacur tanggung. Sebutan populer bagi mereka adalah gongli, singkatan dari bagong lieur, bahasa Sunda babi hutan yang pening.
Pengaruh hippies pun menular ke dunia musik tanah air. Bandung pula yang berada di barisan terdepan.
Dalam buku otobiografinya, Living in Harmony, Fariz RM menyebut The Prophecy yang anggotanya campuran multibangsa sebagai grup musik hippies asal Bandung. Grup musik ini hanya berdiri selama setahun, 1973-1974. Sementara Japi Tambajong menyebut Flower Power sebagai propagandis hippies pada awal 1970-an. Semangat Flower Power bahkan sempat membuat resah orang-orang tua.
“Bandung di kalangan anak muda waktu itu tidak lagi disebut Parijs van Java, tapi San Fransisco of Java,” tulis Japi.
Di Jakarta, kaum muda berharap bisa menikmati konser ala Woodstock. Keinginan itu terpenuhi melalui konser musik besar bertajuk Summer 28 –akronim dari Suasana Menjelang Kemerdekaan ke-28– yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, pada 16 Agustus 1973. Konser ini rencananya berlangsung selama 12 jam, dari pukul 17.00 hingga 05.00, dan menampilkan sekira 20 grup band dari berbagai genre dan subgenre musik, dari Koes Plus hingga God Bless.
Dalam artikel berjudul “40 Tahun Summer’28”, pengamat musik Denny Sakrie menyebut Summer’28 sebagai pesta euforia kebebasan bermusik anak muda Indonesia yang sebelumnya dibelenggu aturan-aturan pemerintah.
“Inspirasi dari gerakan generasi bunga Summer of Love kemudian dicampurbaurkan dengan semangat kebebasan dalam bermain musik,” tulis Sakrie.
Sayangnya, konser harus berakhir lebih cepat. Sekira pukul tiga dini hari terjadi kerusuhan. Konon, karena band rock AKA dari Surabaya batal tampil.
Pemerintah pun resah dengan pengaruh hippies pada generasi muda, menganggapnya sebagai ancaman bagi keamanan dan ketertiban. Beberapa upaya pun dilakukan, salah satunya melalui aturan dilarang gondrong.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar