SEIRING terbitnya berbagai surat kabar di Indonesia, biro iklan pun bermunculan. Gambaran pekerjaan dan suka duka bekerja sebagai tukang cari advertensi ini pernah dikisahkan dalam majalah Minggu Pagi edisi 11 April 1954.
Hamid mengisahkan, pada suatu hari dia dimintai tolong oleh pamannya untuk memasangkan iklan perkawinan anaknya di surat kabar. “Aku tidak tahu berapa biayanya. Tapi bawa saja ini uang seratus rupiah. Kalau masih kurang, tolong ditambah dulu,” kata pamannya.
Hamid menghubungi surat kabar untuk memasang iklan pengumuman perkawinan tersebut. Rupanya biayanya sekitar 65 rupiah. Hamid mengembalikan sisanya, 35 rupiah kepada pamannya. Namun, sang paman memberikan sisa uang tersebut kepada Hamid.
Mendapat sisa uang kembalian dari memasangkan iklan membuat Hamid tergerak untuk serius menekuni pekerjaan sebagai agen periklanan. Dia memulai pekerjaan itu dengan menghubungi sejumlah toko dan perusahaan untuk menawarkan layanan memasang iklan di koran. Upayanya tak langsung berhasil.
Baca juga:
“Mulanya semua bahkan terasa amat pahit. Tiap hari saya keluar masuk toko, perusahaan dan tempat lain yang kiranya dapat saya jadikan ‘mangsa’. Ini berarti macam-macam orang pula yang harus saya hadapi. Pemilik-pemilik toko kecil biasanya tidak menyusahkan. Mereka mau bersikap baik, ramah-tamah. Tetapi tiap-tiap toko besar kadang-kadang sombong benar terhadap saya,” kata Hamid.
Pernah pula Hamid dimintai surat keterangan bahwa dia benar-benar bekerja sebagai agen periklanan oleh salah satu pemilik toko. Hal ini dapat dimengerti karena mereka belum mengenal Hamid dan khawatir menjadi sasaran perbuatan yang tidak menyenangkan. Setelah kejadian tersebut, Hamid mulai membangun relasi dengan berbagai surat kabar. Dia juga kerap membantu para pekerja media. Akhirnya, dia berhasil mendapatkan surat keterangan yang sah sebagai agen periklanan.
Di antara pengalaman pahit dan manis sebagai agen periklanan, Hamid juga merasakan pengalaman yang tak biasa. Suatu hari, Hamid didatangi kawannya, seorang pemuda yang meminta bantuan dipasangkan iklan pertunangan.
“Siapa yang akan bertunangan?” tanya Hamid.
“Tentu saja saya dong,” jawabnya.
“Lho kok diam-diam saja. Dengan siapa?” tanya Hamid keheranan.
“Masak diam-diam? Saya kan sudah lama bergaul dengan Tuti,” jawab pria tersebut.
Baca juga:
Mula Iklan di Televisi Indonesia
Jawaban pria itu membuat Hamid heran. Pasalnya, memang benar dia sudah lama terlihat bergaul dengan Tuti, tetapi menurut Hamid hubungan itu berat sebelah. Keinginan menjalin hubungan istimewa hanya datang dari si pria, sementara Tuti kurang tertarik kepadanya. Meski begitu, Hamid tetap setuju membantunya. Dia menghubungi surat kabar untuk memasangkan iklan pertunangan kawannya itu dengan Tuti.
Dua hari kemudian iklan pertunangan tersebut dimuat di surat kabar. Namun, Hamid kaget bukan kepalang karena Tuti datang ke rumahnya beberapa hari kemudian. Gadis itu menyebut Hamid penipu karena telah mempermainkan nama baiknya dan keluarganya. “Dik Tut, mengapa engkau berbuat begini?” tanya Hamid mencoba meredakan amarah Tuti.
“Hah, masih juga pura-pura tak tahu. Advertensi pertunangan itu palsu. Siapa yang bilang aku bertunangan dengan lelaki itu? Siapa?” balas Tuti.
“Lelaki itu sendiri yang datang kemari dan meminta bantuan untuk dipasangkan advertensi pertunangan ini,” jawab Hamid.
Baca juga:
Setelah diselidiki barulah diketahui bahwa pemuda itu memang menipu. Dia membuat iklan pertunangan tanpa memberi tahu Tuti dan keluarganya. Hal ini membuat Tuti sakit hati. Tuti meminta Hamid memasang iklan bantahan di surat kabar.
Peristiwa ini tak sekali dialami oleh Hamid. Pada suatu hari, tetangganya datang ke rumah untuk meminta pertolongan. Pria itu hendak memasang iklan pertunangan palsu putrinya dengan Hamid. Putrinya dikenal manis sehingga banyak lelaki suka padanya. Rumah mereka tak pernah sepi dari kunjungan para lelaki, bahkan selama berjam-jam hingga larut malam. Oleh sebab itu, untuk mengurangi kunjungan para lelaki, pria tersebut meminta Hamid untuk bersedia mencatutkan namanya dalam pengumuman pertunangan palsu sang putri.
Tak disangka, iklan pertunangan palsu itu menimbulkan kegegeran setelah terpasang di surat kabar. Anita, putri pria yang menjadi tunangan palsu Hamid, datang ke rumah untuk berkeluh kesah. “Saya memang sudah tahu duduk perkaranya. Ayah memang sudah menyampaikan hal itu kepada saya. Tapi ada satu hal yang memberatkan hati saya, Mas Prap sekarang tak mau tahu lagi tentang saya,” kata Anita.
“Mas Prap? Mas Prap siapa itu?” tanya Hamid.
“Kami sudah berjanji akan menjalin hubungan secara diam-diam hingga saya lulus sekolah. Sesudah itu Mas Prap akan meminang saya kepada ayah. Tapi advertensi itu telah merusak rancangan kami seluruhnya. Mas Prap tidak mau percaya kepada keterangan saya bahwa advertensi itu hanya siasat untuk menjauhkan anak-anak nakal itu dari saya,” kata Anita.
Baca juga:
Cara Mengiklankan Film pada Zaman Belanda
Hamid mencoba menenangkan hati gadis itu sembari memberi solusi. “Begini saja Dik Ani. Biarlah saya nanti menemui Mas Prap itu. Dik Ani boleh ikut kalau mau. Nanti kita jelaskan kepada dia duduk perkaranya,” kata Hamid.
Hamid, Anita, dan Mas Prap kemudian bertemu. Setelah Hamid menjelaskan bahwa iklan pertunangan itu tidak benar dan hanya upaya melindungi Ani, Mas Prap pun percaya. Keesokan harinya di surat-surat kabar termuat iklan pertunangan baru yang berbunyi:
“Dalam advertensi pertunangan antara Anita dengan Hamid beberapa hari yang lalu terdapat kesalahan besar. Nama Hamid itu salah dan harus diganti dengan nama Suprapto”.
Setelah mengetahui hubungan Anita dengan Suprapto, Hamid mengupayakan agar Anita segera dipertunangkan dengan lelaki pilihannya tersebut untuk menghindari akibat yang kurang menyenangkan dari iklan buatan itu. Dan untuk meyakinkan orang, iklan itu disusul iklan pertunangan Hamid dengan Astuti (Tuti), wanita yang pernah mendatanginya karena iklan pertunangan palsu.*