Masuk Daftar
My Getplus

Mencari Pasangan Lewat Koran

Mencari pasangan lewat iklan di koran umum dilakukan di zaman kolonial Belanda. Kebiasaan ini diikuti pemuda Indonesia yang memicu pro dan kontra.

Oleh: Amanda Rachmadita | 01 Mar 2024
Potret studio pengantin Jen Bruinsveld van Hengh di Batavia sekitar tahun 1897. (Charls & van Es & Co (Batavia) via KITLV).

DI masa kini, banyak orang sudah tak asing dengan aplikasi kencan untuk mencari pasangan. Tinder, Bumble, Badoo, maupun Coffee Meets Bagel sukses menarik minat masyarakat. Proses pendaftarannya mudah, cukup mengunduh aplikasi tersebut di ponsel, lalu mendaftarkan diri dan menautkan foto agar dapat dilihat pengguna lain saat mencari pasangan. Para penggunanya juga dapat lebih dulu berkomunikasi melalui fitur pesan instan yang tersedia di aplikasi sebelum memutuskan bertemu tatap muka.

Layanan pencarian jodoh bukan hal baru di masyarakat. Sebelum menjamurnya aplikasi kencan, tak sedikit orang menggunakan jasa biro jodoh untuk mencari pasangan. Selain itu, ada pula yang memasang iklan di koran yang sudah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda.

Menurut sejarawan Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur surat kabar telah hadir di Batavia sejak abad ke-18. Gubernur Jenderal van Imhoff dianggap sebagai tokoh yang berperan besar dalam kemunculan surat kabar di wilayah koloni VOC tersebut. Niat sang gubernur jenderal membuat orang-orang Eropa menyadari ikatan di antara mereka terwujud dengan kehadiran Bataviasche Nouvelles (Batavia News) yang edisi pertamanya diterbitkan oleh J.E. Jordens pada 7 Agustus 1744.

Advertising
Advertising

Baca juga: Tips Memilih Jodoh Ala Raja Jawa

“Jordens kemudian ditugaskan oleh gubernur jenderal menerbitkan edisi mingguan surat kabar ini untuk jangka waktu tiga tahun. Sejak saat itu, surat kabar ini terbit setiap Senin sore dan didistribusikan dari kastil,” tulis Taylor.

Lambat laun surat kabar bermunculan di berbagai wilayah Nusantara. Di Surabaya misalnya, Dukut Imam Widodo menyebut dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe bahwa Soerabaijas Advertentie-Blad yang dipimpin oleh C.F. Smith menjadi surat kabar pertama di Surabaya. Surat kabar ini pertama kali terbit pada bulan Maret 1836. Sesuai dengan namanya, koran yang terbit dua minggu sekali itu berisi tentang berbagai iklan, mulai dari pelelangan budak, penjualan rumah dan tanah, hingga informasi terkait kedatangan dan keberangkatan kapal.

Di antara berbagai advertensi penjualan rumah maupun barang-barang lainnya terselip iklan pencarian jodoh. Salah satu contoh iklan tersebut terdapat dalam surat kabar De Oostpost, 24 Desember 1857. Empat orang pemuda berpendidikan tinggi, tidak kekurangan harta, berpenampilan menarik, dan memiliki kedudukan yang tidak kecil dalam masyarakat, tertarik berkenalan dan menjalin hubungan serius ke jenjang pernikahan.

“Kurangnya kesempatan untuk menjalin hubungan membuat mereka menggunakan cara yang lebih umum untuk menyampaikan niat ini, terutama kepada para wanita Surabaya. Berangkat dari hal ini, para peminat diminta untuk mengajukan permohonan kepada pihak redaksi surat kabar dan kerahasiaan akan dijaga sebaik-baiknya,” tulis surat kabar yang pertama kali terbit di Surabaya pada Januari 1853 itu.

Baca juga: Dendang Cinta Kala Martandang

Dalam beberapa kasus, pria yang memasang iklan pencarian jodoh di surat kabar mencantumkan sejumlah kriteria seperti usia, penampilan, hingga kepribadian yang diinginkan. Hal ini terlihat pada iklan di surat kabar Java-Bode, 21 September 1859. Seorang pria ingin berkenalan dengan wanita (yang belum pernah menikah maupun janda) berusia antara 20 sampai 25 tahun. Pria itu juga menambahkan kriteria seperti berwatak baik, berpenampilan manis, serta memiliki sedikit modal untuk melangsungkan pernikahan setelah berkenalan. Pembaca yang berminat dan memenuhi persyaratan dapat mengirimkan surat dengan inisial A.M.O.R. ke kantor Java-Bode.

Sementara itu, dalam surat kabar De Locomotief, 28 April 1870, seorang pria Belanda secara spesifik mencantumkan kriteria ras tertentu dalam iklan pencarian jodohnya. “Seorang pria muda, Belanda, Administrator di sebuah perusahaan besar, ingin berkenalan dengan seorang gadis atau janda muda Eropa, untuk melangsungkan pernikahan yang sah setelah berkenalan. Kerahasiaan yang ketat terjamin,” tulis surat kabar berbahasa Belanda tersebut.

Menurut Taylor, pencantuman kategori ras yang lebih disukai untuk kandidat tertentu tidak hanya menunjukkan sistem kolonial yang mengistimewakan kelompok etnis tertentu. Identifikasi ras tersebut juga menunjukkan dengan siapa saja para pengiklan merasa nyaman. “Sudah menjadi kebiasaan pada masa itu untuk mengasosiasikan kepribadian berdasarkan ras tertentu. Hal ini biasanya menjadi pertimbangan seseorang untuk mencari pasangan hidup,” tuturnya.

Baca juga: Bukan Biro Siti Nurbaya

Seiring berjalannya waktu, tak hanya orang Belanda, pemuda Indonesia maupun Tionghoa juga turut mencari jodoh lewat surat kabar. Kebiasaan ini semakin marak setelah Indonesia merdeka, seperti termuat di surat kabar Java-Bode, 29 Desember 1952. Seorang pria muda (Indonesia) berusia 27 tahun ingin berkenalan dengan wanita Indonesia berusia di antara 20 hingga 22 tahun. Para pembaca yang berminat dapat mengirimkan surat beserta foto ke kantor surat kabar ini. Kerahasiaan data pengirim dijamin dengan ketat dan segera setelah surat diterima sang pria, foto yang dikirim akan dikembalikan.

Yang menarik, kebiasaan orang Indonesia mencari pasangan lewat iklan di koran menuai pro dan kontra. Misalnya, kritik terhadap kebiasaan ini dimuat dalam majalah Minggu Pagi, 26 April 1953. “Belanda cari jodoh lewat koran, sudah biasa. Orang barat mencari pacar (teman berfoya-foya, selir atau gundik) dengan pasang iklan dalam surat kabar, sudah biasa. Mencari dan minta berkenalan dengan perantaraan iklan, bukan apa-apa. Tapi bagi kita, bangsa timur, dan khusus Indonesia, bagaimana? […] Kalau orang Indonesia, lebih-lebih pemudanya, sudah mulai edan-edanan meniru barat –kalau benar pemasang iklan terkutuk tsb. seorang pemuda dalam pengertian kita yang umum, bukan pemuda palsu– maka herankah kita, jika ada seorang pelajar putri yang tahu-tahu kena rajasinga? Tahu-tahu perutnya gendut, yang lama baru terbuka karena sehari-hari memakai rok dan heskut? Gaduh riuh gegap gempita pengaruh barat merajalela pemuda kita megah terhela susila bangsa rusak merata,” tulis majalah yang terbit setiap hari Minggu tersebut.

Meski tak lepas dari kritik, kebiasaan mencari jodoh lewat iklan di koran masih menjadi alternatif bagi banyak pemuda Indonesia yang hendak mencari pasangan. Kebanyakan dari mereka mengiklankannya di surat-surat kabar berbahasa Belanda.*

TAG

perkawinan koran batavia

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Samsi Maela Pejuang Jakarta Tak Bisa Bayar Utang Dipenjara di Ruang Bawah Tanah Berburu Binatang Berhadiah Uang Kebun Binatang Zaman VOC Dari Guci Jadi WC Dua Gubernur Jenderal VOC Panjat Sosial Zaman Kolonial VOC Batavia Selain Jakarta Ambisi Jan Pieterszoon Coen Membangun Koloni di Batavia