SEBUAH oplet berwarna biru dengan sedikit garis hitam memanjang di bagian kap mesin mendekam di ingatan banyak orang Indonesia. Oplet ini muncul di sinetron laris berjudul Si Doel Anak Sekolahan pada dekade 1990-an. Umurnya telah lanjut. Hampir setua dengan pemiliknya di sinetron.
Benyamin Sueb, aktor kawakan, berperan sebagai pemilik oplet di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dalam suatu episode, dia pernah bilang bahwa opletnya berasal dari zaman Jepang. “Ini oplet dari zaman Jepang belum pernah ditubruk. Kalau nubruk, emang sering,” begitu katanya dengan nada kocak.
Celetukan Benyamin ada benarnya sekaligus ada pula salahnya. Oplet Si Doel memang berusia tua. Tapi tidak berasal dari zaman Jepang. Oplet itu buatan pabrik mobil Morris asal Inggris. Ia bertipe Morris Minor Traveler 100 keluaran 1950-an. “Oplet model begini masuk ke Jakarta pada 1960-an,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Colek Cemplung Cerita yang Tercecer dari Tanah Betawi.
Mengenai titik mula kapan kendaraan itu beroperasi di Indonesia dan mengapa bernama oplet, Ahmad Mathar mengaku belum dapat keterangan pasti. “Saya tidak tahu sejak kapan orang sini sebut oplet,” lanjut Bang Mathar, sapaan akrabnya.
Alat Perjuangan
Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis terkemuka Indonesia, menjelaskan kemunculan oplet bertalian erat dengan kebutuhan transportasi masyarakat kolonial di kota besar seperti Batavia. Kebutuhan itu terpenuhi oleh sepeda dan mobil. Sepeda untuk jarak dekat, sedangkan mobil untuk jarak jauh.
“Sejak tahun 1920-an jumlah mobil di Batavia menunjukkan angka yang meningkat pesat,” ungkap Mona Lohanda dalam Para Pembesar Mengatur Batavia. Saat bersamaan, kebutuhan warga kota terhadap angkutan umum juga meninggi. Orang kota perlahan meninggalkan angkutan umum bertenaga hewan semisal sado dan delman untuk transportasi dalam kota.
Trem listrik mulai melayani warga kota. Selain itu, ada pula angkutan umum berukuran lebih kecil dengan empat ban. “Pada sekitar tahun 1935-an itu muncul pula jenis angkutan mobil penumpang yang disebut autolettes, yang oleh orang Betawi disebut oplet,” catat Mona.
Baca juga: Menyusuri Jejak Trem
Keterangan Mona sejalan dengan penelitian H.W. Dick tentang angkutan umum kota dan kemunculannya di sejumlah kota besar Indonesia seperti Batavia, Malang, dan Surabaya. “Kendaraan angkutan kecil yang mula-mula muncul di Jakarta pada awal tahun 1930-an berjalan sejurusan dengan trem Tanah Abang-Kota,” tulis Dick dalam “Angkutan Umum Kota dan Partisipasi Pribumi”, termuat di Prisma, No. 4, April 1981.
Angkutan umum berukuran kecil itu mampu menampung 6-8 penumpang. Pelayanannya lebih cepat dan ongkosnya juga sedikit lebih tinggi daripada trem. Kebanyakan mobilnya buatan Eropa dan tidak diimpor jadi untuk kebutuhan angkutan umum.
Ada tangan-tangan kreatif pengubah mobil tersebut. “Sasis mobil diubah dengan tambahan kabin kayu di belakang sopir… Kendaraan gubahan ini kemudian dikenal sebagai otolet, atau mengikuti merek sedan Jerman, opelet,” tulis Dick.
Bentuk oplet-oplet itu tersua dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950. Oplet-oplet di Batavia memiliki pintu penumpang di bagian belakang. Badannya penuh dengan iklan. Jendelanya tanpa kaca. Sopirnya kelihatan berfisik seperti penduduk tempatan.
Tjokropranolo, Gubernur Jakarta 1977-1982, bilang bahwa oplet sempat jadi pelarian kaum nasionalis. Mereka memilih jadi sopir oplet ketimbang harus bekerja sebagai pegawai Belanda. “Riwayat oplet tumbuh dalam proses perjuangan,” kata Tjokropranolo dalam Kompas, 18 September 1980. Tapi peran oplet sebagai alat perjuangan menghilang pada masa Jepang. Sebab Jepang menghentikan izin operasinya.
Oplet kembali hadir di Jakarta pada masa kemerdekaan. “Sesudah Jepang menyerah, mula-mula kendaraan militer Jepang dan kemudian Jeep Willys Amerika diubah dengan cara yang sama,” tulis H.W. Dick.
[pages]
Menguasai Jalan
Oplet tumbuh begitu pesat di Jakarta pada dekade 1950-an. Ia menghubungkan orang dari pasar satu ke pasar lainnya dan dari pedalaman menuju ke pinggiran. Ia menjadi tulang punggung sistem transportasi kota.
Kementerian Penerangan mencatat sejumlah nama untuk angkutan umum berukuran kecil di Jakarta selama dekade 1950-an. “Namanya banyak, ada yang memberinya nama oplet, autolet, dan ada pula dengan sebutan austin. Bagi penduduk Jakarta nama yang terakhir inilah yang jadi populer,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya, terbitan 1958.
Kendaraan sejenis oplet atau austin sebenarnya terjumpa pula di kota-kota lain. Perbedaannya terletak pada jarak tempuh pengangkutan. Di kota lain kebanyakan oplet atau austin melahap jarak jauh: jalur antarkota, antarprovinsi. Di Jakarta, oplet hanya melayani rute dalam kota hingga ke pinggirannya.
“Pada waktu ini jurusan perjalanan kendaraan murah dan praktis ini baru dua arah, yaitu Kota-Djatinegara dan Kota-Tanah Abang,” catat Kementerian Penerangan.
Penghapusan trem pada akhir dekade 1950-an kian menambah jumlah oplet di Jakarta sepanjang dekade 1960-an. Kompas, 25 Februari 1971, menghitung populasi oplet telah mencapai 6.128 unit. Jumlah angkutan umum terbanyak kedua setelah becak.
Baca juga: Mengayuh Sejarah Becak
Selain penghapusan trem, kenaikan populasi oplet juga berpangkal pada kegagalan bus kota sebagai angkutan pengganti trem. Ia tidak mampu memenuhi kebutuhan pengangkutan warga kota. Saban hari orang-orang berjubelan dan bergelantungan di pintu-pintu bus kota. Tidak ada kenyamanan di sana. Oplet-oplet tua dari masa sebelum kemerdekaan dan buatan 1950-an tampil menutup celah tersebut.
Oplet biasanya dimiliki oleh pengusaha kecil. Mereka menyewakan oplet itu 1.000 sampai 1.500 rupiah per hari pada akhir dekade 1960-an. Harga sewa bergantung pada konsumsi bahan bakarnya. Semakin irit justru semakin mahal sewanya. Oplet teririt jatuh pada pabrikan Chevrolet, sedangkan oplet terboros berasal dari jenama Jeep. Demikian menurut catatan Kompas, 25 Februari 1971.
Pilihan warga kota untuk menggunakan oplet membawa pengaruh pada kehidupan sopir oplet sepanjang dekade 1960-an. Mereka bekerja dengan santai. Tak ada uang setoran. Hanya bayar uang sewa. “Mereka minum kopi bila ngantuk, minum es bila haus, dan istirahat dimana mau,” tulis Kompas, 1 Maret 1993.
Dekade 1960-an juga mencatatkan semangat bebas para sopir oplet. Rute oplet telah bertambah lebih banyak daripada dekade sebelumnya. Tapi jangan bayangkan rute ini resmi dari pemerintah. Rute ini berkembang sesuai kebutuhan dan permintaan penumpang. Sopir pun menarik sesukanya di berbagai rute. Tak ada tanda petunjuk rute di oplet. “Penumpang dan sopir sudah mempunyai kode-kode dengan tangan untuk menunjukkan arah rutenya,” tulis Djaja, 20 Juni 1964.
Tradisi santai dan bebas para sopir oplet tumbuh dari kesadaran sopir oplet terhadap umur kendaraan dan jumlah penumpangnya. Oplet-oplet sewaan mereka tidak bisa diajak mengebut. Penumpang justru suka dengan gaya sopir oplet yang alon-alon. Dari sini, para sopir pun mengerti bahwa mereka tak bakal kehabisan penumpang. Bukan mereka yang mencari penumpang, melainkan sebaliknya penumpanglah yang mencari mereka.
Penumpang oplet beraneka rupa latar belakang. Dari mahasiswa, pekerja kantoran, pegawai negeri, sampai gerombolan copet dan begundal. Kelompok terakhir ini hidup dari menjarah harta para penumpang oplet. Sepanjang 1970-1971, koran-koran nasional memuat banyak peristiwa kejahatan di oplet.
Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menyoroti pelbagai kejahatan di oplet. Dia berpikir bahwa oplet perlu pembenahan. Setidaknya perlu ada rute resmi dari pemerintah. “Oplet-oplet diatur untuk menjadi angkutan ke arah luar kota saja,” kata Ali Sadikin dalam biografinya, Demi Jakarta.
[pages]
Akhir Nasib Oplet
Ali Sadikin juga punya gagasan bahwa Jakarta seharusnya mempunyai empat jenis angkutan umum: kereta api, bus kota, taksi, dan angkutan jenis ke-IV. Kategori terakhir ini mewadahi kendaraan bermotor dengan tiga ban seperti bemo, superhelicak, dan minicar. Oplet tidak termasuk. Maka mulailah upaya menyingkirkan oplet. Para sopir pun turun berdemonstrasi menentang gagasan Ali Sadikin. Penyingkiran ini gagal mewujud.
Tjokropranolo mengajukan gagasan tentang angkutan umum pengganti oplet pada 1977. Namanya mikrolet. Angkutan ini diupayakan masuk dalam kategori bus dengan muatan minimal 9 orang. Tapi polisi enggan menerima konsep ini. Mereka menganggap mikrolet bukan bus. Buktinya plat nomor mereka berawalan angka 1 atau 2, menandakan jenis wagon atau jip. Sementara bus selalu menggunakan awalan angka 7.
Penyingkiran oplet memicu tiga tahun perdebatan. Setelah bergulat dengan berbagai usulan, hari penyingkiran mengada pada 17 September 1980. Mikrolet mulai beroperasi di Jakarta. Tjokropranolo bilang ini bukan penggusuran oplet, melainkan peremajaan. Para sopir oplet memperoleh prioritas untuk mendapat mikrolet sebagai pengganti oplet.
Tapi kenyataan menunjukkan mikrolet jatuh kepada pengusaha baru. “75 persen dari 200 mikrolet yang pertama jatuh pada orang-orang yang belum lama berkecimpung dalam oplet,” tulis Kompas, 1 Maret 1993.
Pemerintah Jakarta tak pernah secara resmi melarang oplet beroperasi. Tapi kebijakan mereka telah meminggirkan dan mematikan oplet perlahan-lahan. Oplet masih beroperasi hingga 1990-an. Kini ia hanya jadi pajangan dan barang koleksi.
Baca juga:
Mengorek Sejarah Ojek
Enam Moda Angkutan di Jakarta yang Tinggal Kenangan
Tudingan Kotor Kepada Aturan Menyalakan Lampu Motor
Alkisah Toyoko, Bajaj Jepang yang Pernah Ramaikan Jalanan Jakarta