SOFYAN MBARKI tampaknya dapat bernapas lega. Usulan anggota Partij van de Arbeid (Partai Pekerja) Belanda ini akhirnya direspon walikota Amsterdam, Femke Halsema. Dalam waktu dekat pengajuan proposal “Keberagaman di Jalanan Amsterdam” yang dibuatnya akan direalisasikan oleh pemerintah Kota Amsterdam.
Diberitakan harian Parool pada Kamis, 1 Agustus 2019 waktu setempat, akan ada 27 tokoh anti-kolonial dari negara bekas jajahan Belanda yang disematkan menjadi nama sebuah jalan di kawasan Ijburg, sebuah pemukiman di tenggara Amsterdam yang berdiri di atas pulau buatan.
“Kami ingin Amsterdam menjadi kota bagi semua orang. Kota orang-orang merdeka yang setara dan nyata,” ungkap walikota Halesma dikutip laman parool.nl.
Menariknya, dari 27 nama yang muncul, sembilan di antaranya diambil dari nama tokoh-tokoh Indonesia. Selain satu nama yang menggunakan istilah keindonesiaan, Merdekastraat atau Jalan Merdeka.
Kesembilan tokoh yang namanya terabadikan menjadi nama jalan tersebut adalah para pejuang yang semasa hidupnya banyak menentang kebijakan kotor praktek imperialisme di Indonesia melalui berbagai tindakan. Siapa sajakah mereka?
Baca juga: Tan Malaka dan Delapan Tokoh Indonesia Jadi Nama Jalan di Amsterdam
Tan Malaka
Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Padam Gadang, Sumatera Barat. Ia adalah tokoh pemikir yang gagasannya dinilai berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda. Tan dianggap dapat menggerakan perlawanan terhadap praktek kolonialisme. Bahkan setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, Tan masih dianggap sebagai ancaman, terutama setelah ia mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).
Namun jauh sebelum Partai Murba yang berasas: antifascis, antiimperialis, dan antikapitalis terbentuk, Tan Malaka telah menyuarakan gagasan kebebasannya di panggung internasional. Pada 12 November 1922, saat Kongres Komunis Internasional IV, Tan mengusulkan aliansi Islam-Komunis dengan membentuk Pan-Islamisme dalam rangka melawan imperialisme.
Tan juga pernah membuat sebuah propaganda yang sukses menarik 17-19 batalyon untuk bergabung dengan Gabungan Pembela Proklamasi (GPP). Ia mampu menarik simpati kalangan militer saat menjelaskan ide-idenya itu dalam Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi). GPP sendiri disiapkan oleh Tan untuk mengahadapi serangan Belanda jika sewaktu-waktu mereka kembali ke Indonesia.
Selama masa hidupnya Tan dianggap sebagai pengkhianat. Pemikirannya yang anti pemerintah Sukarno-Hatta dikhawatirkan akan merusak stabilitas negara yang baru terbentuk ini. Tan memang giat melakukan gerilya untuk gagasan-gagasannya.
Pemerintah yakin bahwa gerakan Tan mesti ditumpas. Bersama GPP, Tan mesti berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Ketika melakukan gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.
Baca juga: Tahun Terakhir Tan Malaka
RM. Soewardi Soerjaningrat
Berbeda dengan Tan Malaka, RM Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara memiliki cara sendiri dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Dilahirkan di Yogyakarta, 2 Mei 1889, Soewardi dianggap sebagai tokoh pemikir yang tenang, namun tulisannya dapat mengusik kekuasaan Belanda di tanah jajahannya.
Seperti tulisan singkatnya, “Als ik eens Nederlander was” (Andai Aku Seorang Belanda), yang mengkritisi perayaan 100 tahun Negeri Belanda lepas dari cengkraman Prancis. Baginya beban finansial perayaan yang dibebankan kepada masyarakat di Hindia Belanda merupakan “ sebuah ironi masyarakat jajahan yang harus membiayai pesta kemerdekaan para penjajah”.
Berselang sepekan dari kritiknya itu, Soewardi kembali membuat tulisan, “Een voor Allen, Allen voor een” (Satu untuk Semua, Semua untuk Satu), diterbitkan De Express 28 Juli 1913. Geram dengan tulisan-tulisan Soewardi, pemerintah Belanda segera bergerak untuk menindaknya.
Soewardi berserta koleganya, Tjipto Mangkunsumo dan Douwes Dekker, lantas ditangkap dan dipenjarakan. Pada 18 Agustus 1913, hakim memutuskan tiga serangkai itu diasingkan ke Bangka, Banda Neira, dan Kupang. Namun mereka menolak. Ketiganya lebih memilih luar negeri sebagai tempat pengasingannya. Akhirnya diputuskan bahwa mereka dikirim ke Belanda.
Perjuangan lain Soewardi adalah mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta, buntut dari kegelisahannya akan pendidikan di Hindia Belanda yang diskriminatif. Ia ingin semua orang dapat memperoleh pendidikan, tidak peduli status sosialnya. Namun halangan dari pemerintah kolonial kembali dilakukan.
Mereka memberlakukan peraturan yang memberatkan pelaksanaan sekolah pribumi tersebut. Akhirnya Soewardi mengancam akan melakukan pembangkangan. Karena tidak menggubris ancamannya, Soewardi akhirnya tetap menjalankan pendidikan dan terus mengembangkan Taman Siswa menjadi model pendidikan rakyat yang baik di masa kolonial Belanda.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
SK Trimurti
Perjuangan S.K. Trimurti dalam pergerakan melawan imperialisme telah dimulai sejak usia yang cukup muda. Dilahirkan di Solo pada 11 Mei 1912, Trimurti segera bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia) ketika usianya genap menginjak 20 tahun. Selama tahun-tahun tersebut, Trimurti terlibat dalam berbagai pergerakan anti kolonial hingga akhirnya ia harus mendekam di penjara Semarang selama 9 bulan pada 1936.
Setelah bebas dari penjara, Trimurti menekuni dunia jurnalistik. Ia pernah bekerja sebagai pembantu tetap harian Sinar Selatan yang terbit di Semarang. Trimurti dengan cepat dikenal oleh para tokoh pergerakan sebagai penulis yang anti kolonial. Tulisan-tulisannya yang kritis tentang pemerintah Belanda membuat ia harus menyamarkan namanya agar tidak ditangkap.
Berkat karirnya yang cemerlang selama periode kemerdekaan, Trimurti diminta menjadi Menteri Perburuhan yang baru dibentuk dalam kabinet Amir Sjarifuddin. Awalnya ia menolak, namun akhirnya diterima sebagai lanjutan dari perjuangan yang selama ini ia lakukan.
Sebagai Menteri Perburuhan, Trimurti mendorong oraganisasi-organisasi buruh untuk memperkuat diri agar siap mengahadapi segala kemungkinan dalam suasana kemerdekaan yang masih rapuh tersebut. Terutama jika suatu saat penjajahan kembali menghampiri Indonesia.
Trimurti meyakini bahwa pergerakan buruh harus dibawa ke front perjuangan nasional. Ia hafal betul kalau kabinet Amir Sjarifuddin masih terlalu lemah untuk perjuangan sehingga Trimurti selalu menemui dan meyakinkan kelompok buruh agar mendukung pemerintah.
Baca juga: Kiprah Trimurti, Menteri Buruh Bersandal Jepit
Kapiten Pattimura
Kepahlawanan Kapiten Patimura yang bernama asli Thomas Matulessy dalam menentang kolonialisme di Maluku dianggap sebagai salah satu yang terbesar di wilayah timur Indonesia. Perjuangannya mampu menggerakkan rakyat Maluku untuk melakukan perlawanan, bahkan setelah dirinya tewas dihukum mati. Api perjuangan yang dinyalakan Pattimura sejatinya tidak pernah padam.
Sebelum dihukum mati, perlawanan terbesar Matulessy adalah berhasil menduduki Benteng Duurstede di Saparua, Maluku, yang menjadi satu dari sekian basis kekuatan Belanda di wilayah tersebut. Kabar jatuhnya benteng itu tersebar dari mulut ke mulut hingga didengar oleh seluruh rakyat Maluku yang akhirnya ikut berjuang.
Pattimura sendiri merupakan nama sebuah gelar. Ada yang mengatakan bahwa gelar itu mengandung arti ‘Patih yang murah hati’. Nama Pattimura juga dipakai sebagai nama keluarga atau nama bayi laki-laki yang baru dilahirkan terutama di Seram Barat atau tempat terjadinya pemberontakan kecil melawan pemusnahan kebun-kebun cengkeh dan pala yang disebut hongi. Di Maluku setiap pemimpin perlawanan selalu digelari Pattimura mengikuti jejak Kapitan Pattimura.
Baca juga: Cerita di Balik Gambar Pattimura
Pangeran Diponegoro
Terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, Pangeran Diponegoro dilahirkan di Ngayogyakarta Hadiningrat pada 11 November 1785 dari pasangan Sultan Hamengkubuwono III dan Ratu Kedaton. Sejak kecil, Diponegoro dididik di lingkungan agama yang baik, serta dekat dengan rakyat. Walau berasal dari keluarga ningrat, Diponegoro dibesarkan jauh dari lingkaran keraton yang penuh intrik politik, sehingga ia dapat akrab dengan seluruh lapisan masyarakat.
Bukan tanpa alasan Diponegoro mengangkat senjata pada Perang Jawa. Sejarawan Peter Carey yakin bahwa Diponegoro berperang di jalan Islam untuk membela moralitas umat dan keadilan seluruh rakyat Jawa. Diponegoro melihat sendiri kesengsaraan yang ditimbulkan oleh kolonialisasi sehingga ia merasa perlu untuk melawan. Sementara menurut sejawaran Belanda, alasan Diponegoro berperang adalah rasa sakit hati setelah tidak terpilih menjadi sultan. Sedangkan sumber lain menyebut Diponegoro berjuang untuk mempertahakan pesantren Tegalrejo pemerintah kolonial yang dibongkar demi membangun jalan kereta api.
Maria Ulfah
Maria Ulfah lahir pada 18 Agustus 1911 di Serang, Banten, putri dari Bupati Kuningan RAA Mohammad Achmad. Aktivitas pergerakan politik Maria dimulai saat ia bertemu dengan Sutan Sjahrir, tokoh sosialis tekemuka yang kelak menjadi perdana menteri RI, di negeri Belanda. Melalui Sjahrir, Maria dikenalkan kepada kalangan sosialis Belanda dan banyak dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana.
Ketika kembali ke Indonesia, lulusan Fakultas Hukum di Universitet Leiden itu memilih mengajar di Perguruan Rakyat dan di Perguruan Muhammadiyah. Sembari mengajar, Maria juga menceburkan dirinya ke dalam aktivitas pergerakan perempuan Indonesia. Pada kurun tahun 1930-an, gerakan ini menemukan gairahnya untuk menuntut kesetaraan di tengah masyarakat.
Maria semakin gencar mencurahkan gagasan-gagasannya tentang perempuan Indonesia. Ia menjadi salah satu pendiri organisasi Isteri Indonesia. Organisasi itu menerbitkan majalah bulanan, dan Maria menjadi kolumnis tetap di sana. Ia kerap mencurahkan pikiran-pikirannya tentang gerakan perempuan di Indonesia.
Ada berbagai soal yang menjadi perhatian Maria di dalam tulisan-tulisannya, mulai dari keadaan umum peremuan di Indonesia, pernikahan paksa, keadaan buruh perempuan, dan soal perwakilan perempuan dalam parlemen di Hindia Belanda. Lewat majalah Isteri Indonesia, Maria memperjuangkan gagasan perempuan Indonesia duduk di parlemen dan dewan-dewan kota.
Pada masa kemerdekaan, Maria diminta oleh Sjahrir untuk menempati kursi menteri sosial. Penunjukkan itu menjadi wujud sikap antifasis dan memegang prinsip demokrasi yang dilakukan oleh Indonesia. Kiprah Maria sebagai menteri juga memperlihatkan kepada dunia bahwa bangsa ini memiliki seorang pemimpin perempuan yang bahkan di Eropa hal tersebut belum lazim terjadi.
Baca juga: Maria Ullfah, Advokat Kaum Perempuan
Soekaesih
Dari sekian tokoh Indonesia yang muncul, nama Soekaesih mencuri cukup banyak perhatian. Sosoknya terdengar asing di telinga orang-orang Belanda, bahkan mungkin masyarakat Indonesia sendiri tidak akrab dengan nama tersebut.
Perempuan kelahiran Garut ini merupakan putri seorang asisten wedana. Pada pemberontakan komunis tahun 1926, Raden Soekaesih dianggap sebagai sosok yang berbahaya karena pengaruh pemikiran-pemikirannya dapat memicu pergerakan perempuan Indonesia. Bersama kawannya, Munapsiah, Soekaesih dibuang dan dipenjara ke kamp konsentrasi Digul.
Ketika usianya masih sangat muda, Soekaesih sudah menikah dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya. Merasa tidak nyaman, ia pun bercerai dan mulai melibatkan diri dalam pergerakan. Soekaesih kemudian bertemu Soekarna, tokoh Sarekat Islam yang juga dibuang ke Digul. Sepeninggal Soekarna, dan setelah bebas dari kamp konsentrasi, Soekaesih menikahi seorang Belanda J.H. Philipo.
Bersama dengan suaminya itu, Soekaesih terbang ke Amsterdam Belanda pada 1937. Di sana ia menyuarakan kegetiran yang dirasakan para tahanan di Digul kepada rakyat Belanda.
Roestam Effendi
Pada 1935, usai Ratu Belanda Wilhelmina memberikan sambutan, semua orang bersorak: “Leve Oranje!” Di tengah-tengah gemuruh sorak tersebut terdengar pekikan: “Indonesia Merdeka!” Sontak semua orang panik. Petugas keamanan segera menyeret orang Indonesia itu dan menghajarnya sampai babak belur. Adalah Roestam Effendi, seorang pejuang yang tidak mengenal rasa takut di tengah negeri penjajah tersebut.
Dilahirkan di Padang, 13 Mei 1903, Roestam merupakan seorang pemikir yang giat menyuarakan kemerdekaan. Setelah lulus dari sekolah tinggi guru untuk bumiputra di Bandung, ia menjadi guru di Siak Sri Indrapura, Riau. Sebelum pergi ke Belanda, Roestam aktif di dunia politik dan sangat giat menuliskan gagasan-gagasannya melalui berbagai media tulis.
Pada 1920-an, ia pernah menulis sebuah drama sajak berjudul Bebasari yang dicekal oleh pemerintah Belanda. Isinya dianggap memprovokasi rakyat untuk melawan. Sehingga ketika akan dipentaskan oleh mahasiswa kedokteran di Batavia pemerintah kolonial buru-buru mengeluarkan larangan.
Di Belanda, Roestam aktif bergerak di Perhimpunan Indonesia (PI) pimpinan Mohammad Hatta. Ia dipercaya mengurus majalah perhimpunan tersebut, sekaligus menjadi penghubung antar organisasi di Belanda. Roestam dikenal sebagai seorang radikal. Tampak dalam tulisan-tulisannya yang dimuat majalah-majalah kiri, seperti Links Socialist, De Opbouws, De Anti Muiliteristi, dan De Branding.
Roestam adalah orang Hindia Pertama yang menempati jabatan anggota Majelis Rendah Belanda mewakili Partai Komunis Belanda. Saat itu umurnya 30 tahun, termuda di antara seratus anggota yang ada. Di Parlemen, Roestam dikenal lantang berbicara. Ia tidak takut dengan posisinya sebagai orang Hindia yang sedang dijajah negeri itu.
Roestam pulang ke Indonesia pada 1947. Ia telah dikenal luas sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia di negeri Belanda. Di Indonesia, dirinya masih sering menulis pemikiran-pemikirannya di koran, dan dikenal sebagai sastrawan.
Baca juga: Suara Roestam di Parlemen Belanda
L.N. Palar
Lambertus Nicodemus Palar lahir di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara, pada 5 Juni 1900. Setelah meneyelesaikan studinya di MULO Tonando, AMS di Yogyakarta, dan Technische Hoogeshcool di Bandung, Palar meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Pada masa-masa tersebut, ia mulai mendalami pandangan sosial-demokrat. Hal itu dipengaruhi oleh pertemanannya dengan JE Stokvis, anggota Volksraad dan ketua Partai Sosial Demokrat Hindia (ISDP).
Pada 1928, Palar pergi ke Belanda dan kuliah di Universitas Amsterdam mengambil studi ekonomi dan sosiologi. Ia lalu mendaftar menjadi anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Di dalam partai Palar cukup dihormati sebagai penulis dan pembicara untuk urusan sosial-demokrat.
Atas usul Palar, SDAP dan Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Pekerja Belanda membentuk komisi kolonial dan Persdienst voor Indonesia (Persindo). Pembentukan komisi itu dilakukan agar terjalin kontak antara gerakan di Belanda dan Indonesia. Palar dipercaya sebagai sekertaris komisi kolonial, merangkap ketua Persindo.
Baca juga: LN Palar Melawan Nazi Hingga Berdiplomasi
Palar menjadi salah satu orang Hindia yang dihormati oleh banyak orang Belanda, terutama Partai Buruh Belanda. Itu terjadi lantaran ia ikut melakukan perlawanan bawah tanah melawan fasisme NAZI saat Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940.
Pada 1945, Palar terpilih menjadi anggota Parlemen Belanda. Ia sangat aktif membujuk pemerintah Belanda agar tidak melancarkan agresi militer terhadap Indonesia. Usahanya selalu gagal. Bahkan partai buruh yang dibelanya ikut mendukung agresi tersebut. Sebagai bentuk protes, Palar pun memilih mengundurkan diri.
Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta kemudian mengundang Palar untuk menjadi juru bicara di Sidang Dewan Keamanan PBB. Dengan keahlian diplomatiknya, Palar menekan negara-negara anggota PBB agar ikut membela perjuangan bangsanya. Indonesia pun diterima menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950.