PEMERINTAH menetapkan Lambertus Nicodemus Palar bersama Tahi Bonar (TB) Simatupang dan KRT Radjiman Wedyodiningrat sebagai pahlawan nasional tahun 2013.
Menurut sejarawan George McTurnan Kahin, jika ada orang yang dapat dianggap sebagai pengetua korps diplomatik Indonesia, Palar-lah orangnya. Dia diplomat yang mumpuni dan dihormati. Reputasinya yang cemerlang dalam berdiplomasi tidak lantas membuatnya tinggi hati.
“Saat aku bertemu dengannya di Jakarta lima tahun lalu (1976 –red), Palar masih terlihat sederhana, tulus dan lugas sama seperti saat aku bertemu untuk pertama kali dengannya tiga dekade lalu. Dia lebih suka dipanggil ‘Nick’ daripada ‘Mr Ambassador’ atau ‘Dr Palar’,” kenang George McTurnan Kahin dalam “In Memoriam: LN Palar,” dimuat jurnal Indonesia Volume 32, Oktober 1981.
Palar lahir di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara, pada 5 Juni 1900. Setelah mengenyam pendidikan MULO di Tondano, AMS di Yogyakarta, dan sebentar di Technische Hoogeschool di Bandung, dia kuliah Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Di sini dia mendalami pandangan sosial-demokrat sejak berkenalan dengan JE Stokvis, anggota Volksraad dan ketua Partai Sosial Demokrat Hindia (ISDP).
Pada 1928, Palar pergi ke Belanda dan kuliah di Universitas Amsterdam jurusan ekonomi dan sosiologi. Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, awal 1930, Palar menjadi anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Dengan segera dia menampakkan diri sebagai penulis dan pembicara sosial-demokrat yang dihormati. “Dialah juru penerang yang tak kenal lelah bagi para pengikut SDAP,” tulis Poeze.
Atas usul Palar, SDAP dan Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Sekerja Belanda (NVV) membentuk komisi kolonial dan Persdienst voor Indonesie (Persindo) agar terjalin kontak antara gerakan di Belanda dan Indonesia. Palar diangkat menjadi sekretaris komisi kolonial yang digaji sekaligus kepala Persindo.
Pada 1938, Palar pulang ke Indonesia dan melakukan perjalanan keliling untuk menjalin kontak dengan gerakan nasional dan serikat pekerja. Menurut Kahin, pada tahun-tahun sebelum perang, Palar menjabat sebagai kepala bagian Indonesia dari SDAP. Ketika Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, dia ikut perlawanan bawah tanah melawan Nazi. Tak heran jika dia meraih rasa hormat dari banyak orang Belanda, terutama di Partai Buruh Belanda.
Selain itu, menurut Austin F. Cross dalam “Much-Travelled Diplomat Happy in Ottawa Setting,” The Ottawa Citizen, 2 Februari 1961, keterlibatan itu membuat Palar “terpilih”, bukan “dipilih”, menjadi anggota Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pada 1945.
Di parlemen, Palar membujuk pemerintah Belanda agar tak melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia. Usahanya gagal. Bahkan Partai Buruh (PvdA) –fusi SDAP, partai liberal-progresif VDB, dan Uni Kristen Demokrat (CDU)– mendukung aksi militer itu. Sebagai bentuk protes, Palar mengundurkan diri sebagai anggota partai dan parlemen.
Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta kemudian mengundangnya ke Indonesia untuk menjadi juru bicara di Sidang Dewan Keamanan PBB. Pada akhir 1947, Palar membuka kantor perwakilan Republik Indonesia di New York. Dengan keahlian diplomatiknya, Palar menekan negara-negara anggota PBB agar membela perjuangan Indonesia.
Indonesia diterima menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950. Palar menjadi kepala delegasi Indonesia di PBB sampai 1953. Setelah itu, dia menjadi duta besar Indonesia untuk India, Uni Soviet dan Jerman Timur, serta Kanada.
Palar kembali memimpin delegasi Indonesia untuk PBB pada 1962. Ketika Sukarno menyatakan keluar dari PBB, Palar menjadi duta besar untuk Washington. Pada September 1966, Palar ditunjuk untuk membawa pesan kepada Sekretaris Jenderal bahwa Indonesia ingin melanjutkan keanggotaannya di PBB.
Palar tak hanya dikagumi kawan-kawan setanah airnya. Jacobus Gijsbertus de Beus, perwakilan Belanda di PBB pada masa konflik dengan Indonesia, juga memujinya: Palar secara utuh membela Indonesia, tetapi juga tidak bisa membenci Belanda sepenuhnya.
“Bagaimana mungkin aku bisa membenci sebuah negeri, yang di mana aku pernah menduduki parlemennya serta juga pernah kubela saat melawan Nazi sebagai prajurit resistansi?” ujar Palar, dikutip de Beus dalam Morgen, bij het aanbreken van de dag.
Setelah pensiun dari tugas diplomatiknya pada 1968, Palar tetap bergiat dalam bidang sosial. Dia meninggal dunia pada 12 Februari 1980 di Jakarta.