PEMERINTAH menetapkan K.H. Abdul Chalim bersama lima tokoh sejarah sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2023. Ulama asal Majalengka, Jawa Barat ini dinilai berjasa dalam perjuangan kemerdekaan. Tak hanya melalui organisasi Nahdlatul Ulama dan Sarekat Islam, ia juga ambil bagian dalam perang mempertahankan kemerdekaan.
Abdul Chalim lahir pada 22 Juni 1898 sebagai putra tunggal dari Kedung Wangsagama, seorang kepala desa yang disegani. Ia sempat menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Cirebon, sehingga menguasai bahasa Belanda. Penguasaan bahasa Arabnya semakin baik setelah ia menimba ilmu di sejumlah pesantren di Cirebon dan sekitarnya, serta melanjutkan studi selama tiga tahun di Makkah. Di samping berguru pada sejumlah ulama, ia juga menunaikan ibadah haji.
Menurut Masyhudi Muchtar dan Mohammad Subhan dalam Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amalia, Uswah Volume 1, selama di tanah suci Mekkah, Abdul Chalim berkawan baik dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, yang kelak menjadi Katib Aam PBNU periode pertama. “Kedekatannya itu bukan hanya berkaitan dengan ilmu yang sedang mereka gali, tetapi juga sebab keduanya memiliki hobi yang sama yakni sama-sama pendekar silat,” tulis Muchtar dan Subhan.
Baca juga: Mohammad Tabrani, Pahlawan Nasional dari Madura
Sementara itu, menurut Tim Walikutub Saklusin 12 dalam Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab dalam Perspektif Saksi Autentik Sejarah NU, K.H. Abdul Chalim, Sang Katib Tsani NU Pertama, saat berusia 16 tahun K.H. Abdul Chalim merupakan anggota termuda sekaligus pengurus Sarekat Islam Hijaz. Kegiatannya dalam Sarekat Islam menumbuhkan kesadaran akan kebangsaan dan persatuan nasional. Terlebih Sarekat Islam dikenal vokal dalam menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak sesuai syariat Islam dan merugikan rakyat. Atas dasar itu pula sekembalinya ke tanah air pada 1917, K.H. Abdul Chalim berupaya meringankan penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda di sekitar kampungnya.
Teringat akan kawan-kawannya selama di Makkah yang juga telah kembali ke tanah air, K.H. Abdul Chalim memutuskan untuk memulai perjuangan bersama mereka. Pada 1922, ia pergi ke Surabaya dan tiba setelah belasan hari berjalan kaki. Atas jasa Kiai Amin Peraban, K.H. Abdul Chalim bertemu kembali dengan kawan lamanya saat di Makkah, yakni K.H. Abdul Wahab Hasbullah atau lebih dikenal dengan Kiai Wahab Jombang. Hubungan baik yang terjalin membuat K.H. Abdul Chalim dipercaya menjadi pengajar di Nahdlatul Wathan. Ia juga dipercaya mengatur administrasi dan menjadi inisiator kegiatan belajar-mengajar dan membuka forum-forum diskusi.
“Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu balaghoh (sastra Arab), K.H. Abdul Chalim banyak sekali menciptakan syair-syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri di dalam Nahdlatul Wathan,” tulis Tim Walikutub Saklusin 12.
Baca juga: Perjalanan KH Abdul Chalim Nandur Cinta Tanah Air
Selain di Nahdlatul Wathan, K.H. Abdul Chalim juga mengajar di Madrasah Tashwirul Afkar, Surabaya. Selama aktif mengajar, ia menerapkan gagasan-gagasan tentang interaksi sosial, solidaritas politik, dan wawasan kebangsaan. Interaksi dengan sejumlah ulama turut menjadikan K.H. Abdul Chalim sebagai salah satu tokoh dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut antropolog Martin van Bruinessen dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, NU yang didirikan pada 1926 oleh sekelompok ulama yang berbasis di pesantren-pesantren merupakan sebuah bentuk upaya menegakkan syariat Islam dengan berdasarkan pada salah satu dari empat mazhab. “Organisasi ini tumbuh menjadi kelompok kepentingan yang besar yang mewakili lingkungan pesantren, dan dikukuhkan baik oleh kharisma kiai senior maupun jalinan rumit hubungan patronase antara guru dan mantan murid,” jelasnya.
Baca juga: KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional
Pada masa itu, NU kerap menggelar tablig maupun pengajian. K.H. Abdul Chalim biasanya mendapat tugas mengantarkan surat-surat undangan ke rumah para ulama se-Jawa dan Madura. Ia juga kerap kembali ke kampung halamannya untuk memperkenalkan, mengajarkan, dan menyebarluaskan paham ahlussunah wal jamaah. Untuk menarik perhatian masyarakat Majalengka dan sekitarnya, ia membagikan gambar-gambar dan surat kabar Soera Nahdlatoel Oelama.
Kegiatannya di NU tak membuat K.H. Abdul Chalim meninggalkan Sarekat Islam. Surat kabar De Locomotief, 17 Januari 1927, menyebut K.H. Abdul Chalim terpilih menjadi salah satu anggota Pengurus Besar Sarekat Islam yang diketuai oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada 1927.
Di masa pendudukan Jepang, K.H. Abdul Chalim menjadi penasihat nasional Hizbullah yang dibentuk pada akhir 1944. Pada mulanya para pemuda yang bergabung dengan Hizbullah berasal dari lingkungan pesantren NU. Seiring berjalannya waktu laskar ini menjadi milik umat secara keseluruhan.
Baca juga: KH Syam'un, Pahlawan Nasional dari Banten
K.H. Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang Majalengka bersama K.H. Abbas Buntet Cirebon. Bersama kelompok-kelompok pejuang lain, Hizbullah cabang Majalengka berjuang mempertahankan kemerdekaan. “Pada masa perang kemerdekaan, K.H. Abdul Chalim ikut masuk hutan dan gunung untuk ambil bagian dalam perang gerilya mengusir penjajah, dan di masa pemerintahan sementara, ia menjabat sebagai anggota MPRS sampai berdiri pemerintahan definitif,” tulis Muchtar dan Subhan.
Selepas masa revolusi, K.H. Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari Partai NU sebagai wakil Jawa Barat pada 1955. Sejak saat itu, perjuangannya lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU di Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU), dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat.
K.H. Abdul Chalim wafat pada 12 Juni 1972. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Pesantren Sabilul Chalim di Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat.*