AWALNYA, Peter Carey hendak menjadikan Herman Willem Daendels –gubernur jenderal Hindia Belanda (1808-1811)– sebagai penelitian tesis doktoralnya di Cornell University. Tema itu berubah ketika Peter menyaksikan sketsa dalam bab tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf mengenai Perang Jawa. Sekilas pandang membuat Peter terpana.
“Ada semacam panggilan. Semacam kontak batin,” kata Peter Carey kepada Historia.id saat berbicang di sela-sela peluncuran bukunya, Urip iku Urib: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey, di Perpustakaan Nasional, lima tahun silam.
Sketsa menampilkan sesosok pangeran yang menunggang kuda. Di kepalanya melekat surban. Tubuhnya dibalut pakaian perang sabil. Di balik kegagahan sang pangeran, terselip wajah muram sedikit membungkuk. Itulah potret tentang Pangeran Diponegoro dalam sketsa karya Mayor Francois de Stuers.
Dalam sketsa de Stuers, Diponegoro digambarkan sedang memasuki perkemahan yang dipersiapkan di Metesih, sebuah permukiman kecil di tengah Kali Progo dekat kantor Residen Kedu di Magelang, 8 Maret 1830. Di situ, Diponegoro dan pengikutnya bermukim selama 20 hari (8—28 Maret 1830).
Baca juga: Di Balik Sketsa Wajah Diponegoro
Peter tak yakin benar atas apa yang membuatnya tertarik pada sketsa tersebut. Namun, dia menangkap sifat misterius dari sosok Diponegoro yang terekam dalam sketsa. Ada semacam panggilan dalam diri Peter setelah sekilas pandang menyaksikan sketsa Diponegoro. Peter lantas menjatuhkan pilihan untuk meneliti riwayat hidup Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah tokoh utama dalam Perang Jawa (1825—1830) yang menentang pemerintah Belanda. Selama perang tersebut, perlawanan Diponegoro telah menyebabkan kerusakan dan kerugian teramat besar bagi pihak Belanda. Perang baru berakhir setelah Diponegoro dijebak untuk berunding yang mengawali peristiwa penangkapannya. Pemerintah kolonial kemudian mengasingkan Diponegoro ke Manado lalu Makassar sampai wafat pada 1855. Secuplik riwayat itu dibaca Peter sewaktu berkuliah di Cornell pada akhir 1960.
“Saya ingin mendalami sosok itu,” kenang Peter, “Tapi ternyata saat itu, tidak ada buku-buku yang lengkap tentang Diponegoro.”
Baca juga: Peter Carey dan Takdir Menemukan Diponegoro
Keputusan itu kemudian membawa Peter kepada petualangan menggumuli jejak-sejejak Diponegoro. Pada 1970, Peter berangkat ke Indonesia untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Dari Pelabuhan New Orleans dia menumpang kapal Jakarta Lloyd. Peter bisa menumpang di kapal pelayaran Indonesia tersebut atas bantuan profesornya, George Kahin, yang kenal baik dengan agen Jakarta Lloyd di New York.
Perjalanan yang memakan waktu berminggu-minggu dimanfaatkan Peter untuk mempelajari bahasa Indonesia dari para awak kapal. Di Teluk Betung, kapal yang seharusnya berlabuh di Tanjung Priok harus memutar ke Palembang untuk mengangkut karet. Di tengah lautan, Peter hampir mati karena salah makan dan usus buntunya pecah.
“Untuk datang ke sini, sepertinya saya harus meninggal lebih dulu untuk bisa berangkat,” ujar Peter.
Baca juga: Kamar Panas untuk Diponegoro
Di Indonesia, Peter juga menjalani perjuangan yang tak mudah. Proses risetnya memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga. Pengalaman ini dikisahkan Peter saat “Ekspose Guide Khazanah Arsip Berbahasa Belanda” pada 2022 silam. Sejak 1971, setiap hari dan seorang diri, Peter “memamah” arsip demi arsip di gedung Arsip Nasional (ANRI) yang saat itu masih beroperasi di Jl. Gadjah Mada, Jakarta Pusat. Berangkat dari Tanah Abang 1 naik oplet No. 111 jurusan Harmoni sudah jadi rutinas Peter selama penelitiannya.
“Turun di Jl. Gadjah Mada, satu gedung yang sangat bersejarah dan angker. Kadang-kadang saya harus pakai sepatu bot karena ada banjir di Jakarta pusat. Saya tidak bisa duduk. Saya harus duduk bersila di atas meja untuk bisa membaca,” kenang Peter.
Beruntunglah Peter didampingi oleh Sundoyo, seorang arsiparis senior, yang menguasai seluk-beluk arsip periode kolonial. Menurut Peter, arsip karesidenan (arsip daerah) koleksi ANRI ibarat harta karun tiada tara untuk bahan penelitian sejarah lokal. Dalam arsip Karesidenan Yogyakarta, Peter menemukan banyak bahan penting dalam penyusunan disertasinya yang meneliti tentang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Baca juga: Delapan Kesamaan Diponegoro dan Sukarno
Disertasi Peter Carey rampung pada 1975 berjudul “Pangeran Dipanegara and The Making of the Java War, 1825-1830”. Disertasi yang dipertahankan di Oxford University itu kemudian dibukukan dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785--1855 (2011), terdiri dari tiga jilid yang tebalnya mencapai 1000-an halaman. Buku karya Peter Carey ini menjadi rujukan otoritatif bagi siapa saja yang ingin mengetahui sosok Pangeran Diponegoro. Lebih dari separuh hidup Peter Carey dihabiskan untuk meneliti sosok Diponegoro.
“Semua yang saya tahu mengenai Diponegoro datang dari arsip. Baca dan membaca, mengunyahnya seperti Diponegoro mengunyah sirih,” tandas Peter Carey.
Dari arsip, Peter Carey memperoleh gambaran mengenai sosok Diponegoro yang utuh dan manusiawi. Dia tak pernah menduga sang pangeran adalah pribadi yang sangat menarik. Disebutkan bahwa Diponegoro gemar bermain catur, mengunyah sirih, bahkan selera humornya sarkastik. Ilmu firasat Diponegoro juga dikatakan sangat tepat sekali. Musuh-musuh Diponegoro dari kalangan Belanda banyak yang hidupnya berakhir tragis; meninggal dalam aib. Ada yang menjadi gembel di Den Haag dan mati sebagai gelandangan. Dan deskripsi yang pasti seperti itu hanya bisa datang dari arsip.
“Membaca saja tidak cukup. Kita harus hidup berdempet dengan arsip dan mengunjunginya setiap hari dalam benang otak kita,” demikian imbau Peter Carey.
Baca juga: Khazanah Arsip Kolonial yang Melimpah