Kamar Panas untuk Diponegoro
Selama penahanan sementaranya di Batavia, sang pangeran merana dalam kepanasan dan penyakit malaria.
PANGERAN Diponegoro bisa jadi merupakan musuh terbesar pemerintah kolonial Belanda di abad ke-19. Perang Jawa yang dilancarkannya bikin Belanda ketar-ketir. Perlawanan sang pangeran Jawa ini menyedot biaya besar dari kas perekonomian Belanda. Tidak aneh pihak Belanda mengupayakan apapun untuk mengakhiri perlawanan Diponegoro, termasuk lewat jebakan tipu muslihat.
Tak banyak diketahui, sebelum diasingkan ke Sulawesi, Diponegoro sempat ditahan di Batavia. Diponegoro menempati kamar penahanan yang sempit di Stadhuis, Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta. Dia berada di sana antara 8 April sampai 3 Mei 1830 sambil menanti keputusan lanjutan atas nasib dirinya.
Baca juga: Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro
“Sangat menyedihkan. Kamar yang cukup panas. Iklim (Batavia) yang sangat tak cocok bagi Pangeran,” ujar Peter Carey dalam pameran pendahuluan “Kamar Diponegoro” di Museum Sejarah Jakarta, Kota Tua, Jakarta Pusat, 12 November 2018. Carey, sejarawan Inggris dari Oxford University, telah melakukan studi seumur hidup tentang Diponegoro. Dalam pameran itu, Carey juga bertindak sebagai pemandu.
Selain ranjang pribadi, di ruang kamar itu terdapat meja tulis yang biasa digunakan Diponegoro untuk menulis. Di samping meja tulis, ada sangkar burung karena Diponegoro punya kegemaran memelihara binatang. Semuanya masih asli. Menurut Carey, semula kamar tersebut merupakan apartemen pribadi sipir (kepala bui) kota Batavia yang wajib mengosongkannya sementara apabila tahanan politik berstatus tinggi ditempatkan di sana.
“Kepada pasukan pengawal Belanda, Pangeran Diponegoro mengatakan bahwa dirinya tak akan tahan tinggal di ruangan seperti itu, sebab panas bukan main,” tutur Carey.
Baca juga: Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia
Diponegoro tak seorang diri. Selama 26 hari penahanannya di Batavia, Diponegoro ditemani sang istri Raden Ayu Retnoningsih, adik perempuannya Raden Ayu Dipowiyono, saudara ipar Raden Tumenggung Dipowiyono, dan 16 punakawan (pembantu akrab). Semua pengikut Diponegoro diasramakan di belakang Stadhuis.
Tak banyak yang bisa dilakukan Diponegoro semasa penahanan di Batavia. Untuk mengisi waktu, Diponegoro menulis surat kepada keluarganya. Satu surat untuk ibunda Raden Ayu Mongkorowati. Satu surat lagi untuk putra sulungnya, Pangeran Diponegoro Muda. Surat-surat itu menguraikan keprihatinan Diponegoro akan nasib dirinya selama dalam tahanan.
Baca juga: Di Balik Sketsa Wajah Diponegoro
Untuk memulihkan malaria yang dideritanya, Diponegoro rajin memakan jejamuan seperti temu lawak dan beras kencur. Dia pun gemar mengunyah sirih. Seorang seniman merangkap hakim Batavia, Adrianus Johanes jan Bik yang bertugas mengawasi Diponegoro juga sempat melukis sketsa wajah Diponegoro. Sesekali, Diponegoro diizinkan berkeliling ke pelataran belakang yang kini menjadi alun-alun museum.
Setelah titah Gubernur Jenderal van den Bosch keluar, hukuman kepada Diponegoro diputuskan. Diponegoro diasingkan dan tak akan kembali lagi ke tanah leluhurnya di Jawa. Pengasingan Diponegoro berlangsung hingga akhir hayatnya di Manado (1830-33) kemudian Makassar (1833-55).
“Selama 25 tahun dia tak dibunuh tapi semacam dikubur hidup-hidup,” kata Carey.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar