Usulan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Masjkur mendapat persetujuan berdasarkan hasil pertemuan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada 6 November 2019. Selain Masjkur, ditetapkan pula lima tokoh lainnya sebagai Pahlawan Nasional, yakni Rohana Kudus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, M. Sardjito, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan A.A. Marimis.
Kabar ini mendapat sambutan baik dari Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, Masjkur menjadi tokoh NU kesembilan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Usulannya pun telah diajukan sejak 2009.
“Seingat saya sejak tahun 2009 yang efektif. Sudah lama kemudian menguap. Baru belakangan tahun 2014 diusulkan namun gagal,” kata Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekjen PBNU kepada Historia.
Selama ini NU telah mengusulkan beberapa nama calon Pahlawan Nasional, mulai dari Saifuddin Zuhri, Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Ahmad Shidiq hingga Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Masjkur paling "senior".
“Di medan laga, beliau komandan Hizbullah. Kemudian perang gerilya melawan agresi Belanda. Perang bersama Pak Soedirman, keliling Jawa bergerilya. Itu perjuangan yang memang riil. Ia berjuang di meja perundingan, lapangan, dan Konstituante. Sehingga beliau pantas diangkat sebagai pahlawan, bahkan terlambat sebenarnya,” kata Abdul Mun’im.
Dari Pesantren ke Medan Laga
Masjkur lahir di Singosari, Malang, pada 30 Desember 1902 dari pasangan Maksum dan Maemunah. Ia mengenyam pendidikan di tujuh pesantren berbeda di berbagai daerah. Dari Pesantren Bungkuk Singosari di kampung halamannya hingga Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asyari. Ia juga pernah menjadi murid KH Kholil Bangkalan di Madura dan terakhir belajar di Pesantren Jamsaren, Solo.
Soebagijo I.N. dalam K.H. Masjkur, Sebuah Biografi menyebut, pada 1923 Masjkur mendirikan pondok pesantren Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) di kampung halamannya di Singosari, Malang. Ia juga aktif sebagai ketua NU cabang Malang pada 1926. Kemudian pada 1938, ia diangkat sebagai anggota PBNU yang bermarkas di Surabaya.
Baca juga: Hizbullah Zaman Jepang
Pada zaman pendudukan Jepang, Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Ia juga aktif dalam laskar Hizbullah, kesatuan sukarela khusus Islam di bawah Masyumi. Ia mendapat pelatihan kemiliteran dan pelatihan khusus ulama dari Jepang.
Masjkur kemudian menjadi anggota Syuu Sangi-kai, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun, anggotanya tidak mempunyai hak bertanya atau wewenang membuat undang-undang. Tugasnya hanya memberi nasihat. Meski demikian, dalam banyak kesempatan, Masjkur seringkali mengeluarkan pendapat yang membela nasib rakyat.
Tak lama kemudian Masjkur menjadi anggota pengurus Badan Pembantu Prajurit (BPP) yang bertugas menghimpun dana untuk keperluan prajurit dan keluarga yang ditinggalkan.
Di akhir masa pendudukan Jepang, Masjkur menjadi anggota Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Meski sempat terjadi perdebatan soal Islam sebagai dasar negara, Masjkur dan tokoh-tokoh Islam lain akhirnya menerima konsep Pancasila usulan Sukarno.
“Dengan sadar kelompok Islam pada waktu itu menerima konsep Bung Karno tentang Pancasila, dengan dasar pemikiran bahwa yang terpenting pada saat itu ialah utuhnya Negara Kesatuan RI yang akan lahir itu,” sebut Soebagijo.
Baca juga: Jihad ala NU
Pada 19 September 1945, terjadi perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Tergugah oleh peristiwa itu, Masjkur menghimpun para pemuda Islam dalam laskar Hizbullah, kelanjutan dari zaman Jepang. Laskar ini turut bertempur di Surabaya melawan pasukan Inggris yang geram pasca tewasnya Mayor Jenderal Mallaby.
Pada masa revolusi fisik ini, Masjkur menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara. Tugasnya membuat peraturan-peraturan yang disamakan dengan undang-undang dan tindakan-tindakan lain yang tersebut dalam undang-undang keadaan bahaya.
Lima Kali Jadi Menteri Agama
Menurut Ahmad Syafi’i dalam "K.H. Masjkur: Kementerian Gerilya dan Waliyul Amri" yang termuat dalam buku Menteri-Menteri Agama RI, suatu hari di bulan November 1947, Masjkur dipanggil Sukarno ke Yogyakarta. Rupanya, ia hendak diangkat menjadi menteri agama dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Namun, pada 23 Januari 1948, Amir Sjarifuddin harus mundur dari jabatan Perdana Menteri karena Perjanjian Renville.
Amir digantikan Mohammad Hatta. Dalam Kabinet Hatta I ini, Masjkur meneruskan tugasnya sebagai menteri agama. Pada masa ini, Masjkur ditugaskan ke Jawa Barat untuk menemui S.M. Kartosoewiryo, imam DI/TII yang mendirikan Negara Islam Indonesia.
Baca juga: Detik-detik Terakhir Kartosoewirjo
Meski tak berhasil menemui Kartosoewiryo, menurut Abdul Mun’im, Masjkur cukup berhasil meredam gerakan DI/TII. “Beliau menteri agama yang punya pengalaman lapangan. Cukup baik meredam gerakan DI/TII,” kata Mun’im yang menyusun buku Fragmen Sejarah NU.
Sebagai menteri agama, Masjkur juga berperan dalam penyelidikan dan pencatatan jumlah korban Peristiwa Madiun 1948. Timnya berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pengarahan dan memperkuat ketahanan mental masyarakat.
Ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Masjkur termasuk menteri yang lolos dari sergapan. Sejak itu, ia gerilya dari Solo ke Ponorogo kemudian Trenggalek. Ia juga sempat bergabung dengan pasukan Panglima Jenderal Soedirman.
Baca juga: Banjir Darah di Cibugel oleh DI/TIl
Setelah Yogyakarta kembali ke tangan Republik, Masjkur menjadi menteri agama dalam Kabinet Hatta II dan berlanjut pada era acting Perdana Menteri Mr. Susanto Tirtoprodjo.
Pada 19 April 1953, Ketua Umum PBNU Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Masjkur yang menjabat Ketua I menggantikannya sebagai ketua umum. Pada 30 Juli 1953, ia ditunjuk lagi menjadi menteri agama dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Kritis terhadap Orde Baru
Pasca Pemilu 1955, dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Masjkur terpilih sebagai salah satu anggota Konstituante. Setelah Konstituante dibubarkan, ia menjadi anggota DPR Gotong Royong. Ia kemudian menjadi anggota staf biro politik Komando Tertinggi Retooling Aparatur (Kotrar).
Masjkur tetap aktif di dunia politik hingga rezim berganti. Pada masa Orde Baru, ia menjadi anggota DPR dan pernah menjabat ketua Fraksi Persatuan Pembangunan. Di masa represif itu, ia termasuk tokoh yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang keliru.
Baca juga: NU dalam Pemilu Pertama Orde Baru
“Bersama yang lain, waktu itu mengkritisi undang-undang kepartaian karena partai dikebiri sedemikian rupa. PPP bersuara sangat keras. Tapi akhirnya PPP dibersihkan dari unsur NU,” ujar Abdul Mun’im.
Masjkur juga menentang UU Perkawinan yang dianggap sekuler. Ia juga keras menentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa bikinan rezim Soeharto.
“Beliau juga menentang P4 karena negara dianggap memonopoli penafsiran tentang Pancasila. Bukan beliau anti-Pancasila tapi monopoli penafsiran Pancasila yang ditentang,” jelas Abdul Mun’im.
Di akhir penjalanan hidupnya, Masjkur tetap aktif di NU. Ia menjabat ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) hingga meninggal dunia pada 18 Desember 1992.