Awalnya pasangan Prabowo-Sandiaga Uno menolak membawa sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, setelah ada aksi 22 Mei 2019 yang memakan korban jiwa, kubu 02 akhirnya mendaftarkan juga gugatan ke MK. Tim kuasa hukum BPN (Badan Pemenangan Nasional) dipimpin oleh Bambang Widjojanto, mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam keterangan pers di gedung MK (24/5/2019), Bambang menyebut “inilah pemilu terburuk di Indonesia yang pernah terjadi selama Indonesia berdiri.” Banyak orang yang menyayangkan penyataan itu karena semua orang tahu, tentunya juga Bambang, bagaimana pemilu pada masa Orde Baru.
Inilah pengalaman menyakitkan warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam pemilu pertama Orde Baru.
Menjelang Pemilu 1971, rezim Orde Baru mengerahkan tentara untuk menghabisi basis-basis NU. Banyak warga NU dari pedalaman Jawa Barat meninggalkan rumah-rumah mereka untuk menyelamatkan diri. Losarang di Indramayu adalah desa yang paling menderita dan warganya paling banyak mengungsi ke kantor pusat PBNU di Jakarta.
Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?
“Saya menyaksikan rumah penduduk dan masjid dihancurkan. Di beberapa rumah yang kami masuki, kami melihat betapa rumah-rumah itu ditinggalkan dengan tiba-tiba oleh penghuninya. Di atas meja makan sebuah rumah, misalnya, masih ada piring nasi dan cangkir-cangkir kaleng. Di atas piring-piring itu berserakan makanan yang sudah membusuk. Memilukan sekali,” kata Panda Nababan dalam otobiografinya Menembus Fakta.
Sebagai wartawan Sinar Harapan, Panda diajak Rois Syuriyah NU KH Jusuf Hasyim untuk meliput hancurnya basis NU di Losarang. Jusuf memberikan bahan-bahan tulisan yang berisi pengakuan warganya bahwa tentara menggunakan organisasi Angkatan Muda Siliwangi. “Inilah yang dipakai menjadi ujung tombak menghancurkan kami,” kata Jusuf.
Baca juga: NU Bentuk KPK untuk Melawan DI/TII
Panda menulis laporan tentang teror yang dialami pendukung NU di Indramayu dengan judul “Empatpuluh Lima Djam Bersama Orang Kuat NU”. Orang kuat NU dimaksud adalah Jusuf Hasyim. Tulisan itu dimuat di halaman satu dan direncanakan berseri. Namun, akibat tulisan itu, Panda dijemput tentara dan diancam bila tulisannya tak ditarik, dia akan dihabisi dan Sinar Harapan akan dibredel.
Apa yang terjadi di Losarang adalah sebuah ironi. NU memainkan peran penting bagi lahirnya Orde Baru. Namun, NU justru dianggap sebagai penghalang dan kekuatannya secara sistematis digerogoti militer sejak Seminar Angkatan Darat tahun 1966 di Bandung.
“Dalam pandangan ABRI, sebuah organisasi keagamaan dengan basis massa yang begitu besar seperti NU akan selalu dipandang sebagai hal yang membahayakan apabila dibiarkan tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik,” kata Idham Chalid dalam Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah. Idham Chalid menjabat sebagai ketua umum PBNU sejak 1956.
Baca juga: Idham Chalid, Politisi Air yang Tak Lagi Mengalir
Akhir Partai NU
Pemilu 1971 adalah pemilu pertama di era Orde Baru. Menurut sejarawan Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru, NU paling kritis di antara partai-partai peserta pemilu 1971. Juru kampanye NU dengan keras menyerang intimidasi yang menimpa para anggotanya. Subchan ZE, tokoh NU, melakukan kampanye yang keras dengan menyerang Golkar dan beberapa tokoh penting seperti Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, dan Menteri Dalam Negeri Amirmahmud.
Ali Moertopo memimpin Operasi Khusus yang mengendalikan berbagai organisasi dan partai politik untuk memenangkan Golkar. Amirmahmud dijuluki oleh NU sebagai menteri buldozer karena mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1969, yang merupakan muslihat pemerintah untuk meng-Golkar-kan pegawai negeri sipil.
Baca juga: Sebut Kafir, Kiai NU Diadili
“Subchan ZE pernah mempunyai gagasan akan mengadukan pelaksanaan pemilu dengan korban-korban yang dialami oleh warga NU itu kepada PBB dan Amnesti Internasional. Namun, hal itu urung dilakukan,” kata Idham.
Selama masa kampanye, terjadi banyak intimidasi terhadap calon pemilih agar memilih Golkar. Langkah-langkah represif itu berhasil memenangkan Golkar dengan meraih 62,8 persen suara. Sementara total suara yang diraih partai-partai Islam hanya 27,1 persen: NU (18,7 persen), Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi (7,3), Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII (2,3), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau Perti (0,7). Sisa suara dibagi lima partai peserta pemilu lainnya.
“Inilah pemilu paling brutal yang pernah saya lihat. Bahkan, perolehan suara sudah diatur sebelumnya oleh pemerintah,” kata Panda, yang kemudian menjadi politisi PDI Perjuangan.
Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
Kendati NU meraih suara lebih tinggi daripada pemilu 1955, Rois Am NU KH Abdul Wahab Chasbullah merasa kecewa. Di depan Muktamar NU ke-25 pada Desember 1971, Wahab memberikan isyarat bahwa tak ada gunanya NU menjadi partai politik karena Partai NU dan partai manapun takkan mungkin menang pemilu dan akan jatuh banyak korban secara mubazir.
“Namun, Rois Am juga menasihatkan agar NU tidak sampai menarik diri dari DPR/DPRD hasil pemilu 1971 demi menghindarkan mudarat yang mungkin akan lebih menyengsarakan sesuai dengan prinsip fiqih, akhaffudl dlararain, mengambil risiko bahaya yang lebih ringan,” kata Idham.
Wahab Chasbullah wafat pada 1972. Posisinya kemudian ditempati KH Bisri Syansuri.
Setelah memenangkan pemilu, rezim Orde Baru memaksa partai-partai politik untuk berfusi. Empat partai Islam, NU, Parmusi, PSII, dan Perti, dilebur menjadi Partai Persatuan Permbangunan (PPP). Sedangkan lima partai lainnya, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Murba berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).