Masuk Daftar
My Getplus

KPK Melawan DI/TII

NU dianggap pengkhianat Islam dan membantu Republik Indonesia Kafir. Menteri dari NU membentuk KPK untuk melawan DI/TII.

Oleh: Nur Janti | 08 Jul 2017
Idham Chalid, Ketua I PBNU, menjabat Wakil Perdana Menteri II merangkap Kepala Badan Keamanan, dalam resepsi perkenalan anggota Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang diadakan Presiden dan Wakil Presiden di Istana Negara, 26 Mei 1956. Foto: repro biografi Idham Chalid, "Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah."

Sepulang dari Bandung menuju Jakarta, Idham Chalid, Ketua I PBNU, menginap di Puncak. Tiba-tiba gerombolan DI/TII menembakinya dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang. Untungnya, segera datang bantuan tentara dari Cipanas. Kontak senjata berlangsung berjam-jam. Malam menjadi bising karena desingan peluru. Mereka lari menjelang subuh dengan menderita banyak korban jiwa dan luka-luka. Di pihak tentara juga ada yang terluka.

Pengalaman lain yang dialami Idham ketika naik kereta api menuju Jawa Timur. Dia ditembaki gerombolan DI/TII antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung peluru hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H. Djumaksum. “Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan,” kata Idham dalam biografinya, Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah.

Dari 24 Maret 1956 hingga 9 April 1957, Idham menjabat Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan. Salah satu perhatian utama Kabinet Ali Sastroamidjojo II itu adalah pemulihan keamanan dari DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Advertising
Advertising

“Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam, yaitu Darul Islam Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh,” kata Idham.

Baca juga: Ketika DI/TII memburu PKI

Menurut Idham, DI/TII merugikan Islam. Banyak umat Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Mungkin di Aceh tidak terjadi perbuatan seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan di mana gerombolan DI/TII membakar madrasah dan masjid yang tidak sependapat dengan mereka.

“NU yang dianggap sebagai pengkhianat Islam karena keluar dari Masjumi juga dianggap musuh utama DI/TII. Mereka menganggap NU membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Apalagi salah seorang ketuanya menjadi wakil perdana menteri yang memegang urusan keamanan. Beberapa orang pimpinan cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka,” kata Idham.

Sejarawan Cornelis van Dijk mengungkapkan bahwa pada Juli 1953 DI/TII melancarkan aksi serentak. Komandan DI/TII di Ciamis Selatan, Uchjan Effendi, memerintahkan pasukannya meningkatkan aksi untuk mengacaukan musuh. Mereka melakukan tindakan apa pun untuk membuat kekacauan.

“Angkatan Kepolisian Negara Islam, misalnya, ditugaskan untuk menghukum warga yang tidak sepakat dengan Darul Islam. Uchjan juga memberikan perintah kepada masing-masing satuan Angkatan Kepolisian yang beroperasi pada tingkat kecamatan. Mereka ditugaskan untuk membunuh paling sedikit satu orang warga dan membakar paling sedikit lima bangunan yang didirikan pemerintah Republik dalam waktu dua minggu. Ancamannya, bila ada anggota yang gagal melakukan aksi ini akan dituntut secara hukum,” tulis Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan.

Baca juga: Fragmen DI/TII dalam film Darah dan Doa

Dalam menghadapi DI/TII, Idham melibatkan para kiai. Dia membentuk KPK (Kiai-Kiai Pembantu Keamanan) yang diketuai KH Muslich dari Jakarta. Anggotanya ditunjuk satu orang dari masing-masing wilayah di mana terdapat DI/TII. Khusus untuk Jawa Barat sebagai daerah yang paling luas dikuasai DI/TII, KPK menunjuk dua orang wakil yaitu KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid.

Anggota KPK lainnya antara lain KH Baidowi Tafsir (Jakarta), KH Malik (Jawa Tengah), KH As’ad Syamsul Arifin (Jawa Timur), KH Ahmad Sanusi (Kalimantan), KH Zahri (Lampung), KH Jusuf Umar (Sumatra Selatan), KH Kahar Ma’ruf (Sumatra Tengah), Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (Aceh dan Sumatra Utara), dan KH Abdullah Joesoef (Sulawesi).

“Mereka dengan sungguh-sungguh melaksanakan panggilan kewajibannya sebagai seorang Islam dan warga negara untuk berbicara dengan rakyat tentang kesadaran mematuhi ajaran agama dan hidup bernegara,” kata Idham.

Mereka menghubungi para kiai di daerah masing-masing untuk menyampaikan kesadaran itu karena gangguan keamanan yang berlarut-larut merugikan negara dan rakyat. Mereka melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya.

Baca juga: Detik-detik terakhir imam DI/TI SM Kartosoewirjo

Panglima-panglima militer di daerah gembira dengan adanya KPK. Dalam setiap peninjauan maupun operasi militer mereka selalu mengikutsertakan KPK. Di daerah yang berhasil dikuasai, sang kiai memberikan ceramah kepada rakyat. Mereka juga memberikan penyadaran kepada anggota gerombolan DI/TII yang menyerah.

“Mereka sama sekali tidak diganjar dengan nilai penghasilan tertentu, tetapi hanya mendapat sekadar uang jalan dan uang saku,” kata Idham. “Jasa kiai-kiai pembantu keamanan tidak bisa saya lupakan.”

TAG

DI/TII NU

ARTIKEL TERKAIT

Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Mengenal Kain Tenun Halaban, Sobi, dan Cual Sambas Hasrat Nurnaningsih Menembus Hollywood Nurnaningsih Datang, Kota Medan Berguncang Tenun Nusantara Merambah Generasi Muda Pulangnya Arca Ganesha dari Lereng Semeru Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau Gelut di Tapanuli Lini Masa Wacana Pemindahan Ibukota Dolok Martimbang, Pesawat Kepresidenan Indonesia Pertama