Masuk Daftar
My Getplus

Mohammad Tabrani, Pahlawan Nasional dari Madura

Mohammad Tabrani merupakan tokoh pers yang berperan dalam pergerakan kemerdekaan. Ketua Kongres Pemuda I ini dikenal sebagai penggagas bahasa Indonesia.

Oleh: Amanda Rachmadita | 12 Nov 2023
Presiden Joko Widodo menyerahkan penghargaan gelar Pahlawan Nasional Mohammad Tabrani Soerjowitjitro kepada putrinya, Amie Primarni di Istana Negara, Jakarta, 10 November 2023. (Agung/Humas Setkab).

PEMERINTAH menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional 2023 kepada enam tokoh, yaitu Mohammad Tabrani Soerjowitjitro (Jawa Timur), Ratu Kalinyamat (Jawa Tengah), Ida Dewa Agung Jambe (Bali), KH Abdul Chalim (Jawa Barat), KH Ahmad Hanafiah (Lampung), dan Bataha Santiago (Sulawesi Utara).

Tabrani merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda I di Jakarta pada 30 April hingga 2 Mei 1926. Pria kelahiran Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904, itu telah akrab dengan gagasan kebangsaan dan pergerakan kemerdekaan sejak menjadi anggota Jong Java saat masih sekolah menengah pertama.

“Sejak perhimpunan pemuda Tri Koro Dharmo menjelma menjadi Jong Java (1918), sebagai murid MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) kelas 1 saya masuk menjadi anggota cabang Surabaya. Ketika itu ketuanya Sutopo, pelajar NIAS,” kata Tabrani dalam otobiografinya, Anak Nakal Banyak Akal.

Advertising
Advertising

Tabrani termasuk utusan dari Surabaya yang menghadiri Kongres Jong Java pertama di Solo pada 1918. Kegiatannya dalam Jong Java berlanjut di Bandung ketika melanjutkan pendidikan di AMS. Selain aktif menulis dalam majalah organisasi, ia juga mulai mengasah kemampuannya sebagai wartawan di koran Indonesia maupun Belanda. Namun, kesibukannya berdampak pada kegiatan akademik. Ia tak naik kelas dan pindah ke sekolah bagi calon pegawai bumiputra (OSVIA) di Serang, Banten pada 1923.

Baca juga: Perjalanan KH Abdul Chalim Nandur Cinta Tanah Air

Kepindahan Tabrani tak menghentikan kegiatannya dalam berorganisasi. Ia mengumpulkan siswa OSVIA dan Normal Serang untuk mendirikan cabang Jong Java yang disahkan oleh pusat. Setahun di OSVIA Serang, ia pindah ke OSVIA Bandung.

Setelah lulus OSVIA, Tabrani memilih menjadi wartawan. Pada 1925, ia menjadi anggota redaksi harian Hindia Baroe, yang didirikan Haji Agus Salim, di Jakarta. Di tengah kesibukannya sebagai wartawan, ia terus mengembangkan gagasan kebangsaan dan nasionalisme. Ia menyadari persatuan nasional dapat terwujud bila organisasi-organisasi pemuda dari berbagai wilayah bersatu untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.

“Ibaratkan benih padi, diam-diam ia tumbuh. Jumlah pengikutnya belum banyak, tetapi cukup besar untuk mengambil inisiatif membentuk sebuah panitia (15 November 1925), yang bertujuan menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama,” kata Tabrani.

Menurut Bambang Sularto dalam Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama ke Sumpah Pemuda, dorongan menggelar kongres pemuda dipicu oleh semangat Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, yang melalui majalah Indonesia Merdeka menyebarkan semangat perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. “Pengurus Perhimpunan Indonesia mengirimkan sejumlah majalah Indonesia Merdeka ke tanah air. Dikirim ke alamat-alamat berbagai organisasi pemuda. Antara lain Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Sekar Rukun,” tulis Bambang.

Baca juga: Pahlawan Nasional Bataha Santiago Digantung Akibat Lawan VOC

Pertemuan demi pertemuan digelar untuk mempersiapkan kongres pemuda. Pertemuan pada 15 November 1925 memutuskan Tabrani sebagai ketua kongres. Berbagai persiapan dilakukan dan bantuan datang dari sejumlah tokoh dan organisasi pemuda. Meski begitu, kekhawatiran kongres batal menggelayuti pikiran Tabrani dan kawan-kawan. Tabrani mafhum kongres akan dipandang sebagai ancaman oleh Belanda. Oleh karena itu, ia memutuskan agar pidato yang akan dibawakan dalam kongres dibuat tertulis.

“Selain itu semua teks pidato diperbanyak seperlunya dan dengan sendirinya selaku ketua mengetahui isinya sebelum diucapkan dalam kongres. Teks pidato itu kemudian diteliti oleh sebuah panitia yang terdiri atas Yamin, Djamaloedin, Sanusi Pane, dan saya selaku ketuanya,” kata Tabrani.

Tantangan lain adalah mengurus surat izin ke kepolisian Hindia Belanda. Tabrani dibantu tiga teman sekolah seorang mantri polisi sebagai pembantu dekat tuan Visbeen, Komisaris Kepala Polisi di Markas Besar Kepolisian Hindia Belanda; pembantu wedana, dan pembantu jaksa.

Saat bertemu tuan Visbeen, Tabrani menyampaikan akan memimpin pengawasan jalannya kongres. Ia juga berjanji akan memberikan salinan pidato dan ceramah-ceramah dalam kongres kepada pihak kepolisian. Visbeen setuju dan menandatangani surat izin penyelanggaraan kongres.

Baca juga: KH Syam'un, Pahlawan Nasional dari Banten

Untuk mengecoh perhatian anggota Dinas Intelijen Politik (PID), Tabrani meminta bantuan kawan lamanya yang ia temui di Markas Besar Kepolisian untuk hadir dan mengajak berbincang aparat Belanda itu selama kongres berlangsung.

“Nah, selama sidang-sidang Kongres Pemuda Indonesia Pertama berlangsung, semua pejabat PID dari pemimpinnya sampai para pembantunya, yang duduk berkelompok dan berpencar lebih banyak omong-omong daripada memperhatikan sungguh-sungguh semua pidato. Teks lengkap sehabis diucapkan disampaikan dengan rapinya. Karenanya sampai hari terakhir hingga malam jamuan perpisahan berjalan lancar tanpa gangguan PID, padahal isi dan sifat serta corak pidato Sumarto dan saya cukup merah dan cukup tegas, yaitu menuju Indonesia merdeka,” kata Tabrani.

Selain sebagai ketua Kongres Pemuda I, Tabrani juga dianggap penggagas bahasa Indonesia. Peristiwa ini muncul di tengah persiapan penyelenggaraan kongres pemuda. Mohammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Namun, Tabrani menanggapi, karena dalam konsep yang diusulkan Yamin, pada nomor satu dan dua disebut tanah Indonesia dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa persatuannya seharusnya bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu.

Baca juga: KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional

Jawaban Tabrani tak disambut baik Yamin karena menganggap kala itu bahasa Indonesia belum ada, yang ada bahasa Melayu. Menurut Tabrani, jika bahasa Indonesia belum ada, maka Kongres Pemuda I dapat menjadi momen yang tepat untuk melahirkan bahasa Indonesia. Setelah melalui diskusi panjang, Yamin diberi kesempatan mempertimbangkan kembali konsepnya. Keputusan mengenai konsep tersebut ditunda hingga Kongres Pemuda II.

“Itulah sebabnya maka yang kini terkenal dengan Sumpah Pemuda bukan hasil keputusan Kongres Pemuda Indonesia Pertama (1926), tetapi hasil keputusan Kongres Pemuda Indonesia Kedua (1928). Arsiteknya Yamin dengan catatan, bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia selaras dengan pesan yang dititipkan kepadanya oleh Kongres Pemuda Indonesia Pertama,” kata Tabrani.

Untuk mewujudkan persatuan nasional dan kemerdekaan Indonesia, Tabrani tak hanya berjuang melalui organisasi tetapi juga melalui tulisan-tulisannya sebagai wartawan. Pada 1927, ia menimba ilmu jurnalistik di Amsterdam, Belanda. Di sana, ia bekerja sebagai pembantu harian di surat kabar De Telegraaf, Rotterdam Nieuwsblad, dan Het Volk. Selanjutnya ia belajar jurnalistik di Berlin, Jerman.

Ilmu yang didapat Tabrani selama berkelana di Eropa dituangkan dalam buku Ons Wapen (Senjata Kita) yang terbit di Den Haag, Belanda, pada 1929. Tabrani membahas keadaan pers Indonesia di tengah pendudukan Belanda dan peran pers dalam perjuangan kemerdekaan. Menurutnya, surat kabar berbahasa Belanda juga dapat menjadi corong untuk menyuarakan gagasan persatuan dan kemerdekaan, serta pelengkap pers nasional berbahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah. Ia mendorong harian-harian berbahasa Indonesia terus aktif, bahkan perlu ditambah khususnya di daerah-daerah yang belum memiliki surat kabar berbahasa Indonesia.

Baca juga: Akhirnya Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Menurut Mirjam Maters dalam Van zachte wenk tot harde hand: persvrijheid en persbreidel in Nederlands-Indië, 1906-1942, buku yang ditulis Tabrani merupakan sebuah cetak biru pers Indonesia. “Namanya kian dikenal pada 1929 tatkala ia menerbitkan sebuah buku [di Belanda] yang berisi saran-saran untuk meningkatkan standar pers Indonesia,” tulis Maters.

Buku tersebut cukup sukses menarik perhatian publik Belanda. Sayangnya, begitu tiba di Indonesia ratusan buku itu disita pemerintah Hindia Belanda. Meski belum dapat merealisasikan rencana yang terkandung dalam Ons Wapen, yakni mendirikan harian nasional yang modern dalam bahasa Belanda, setibanya di tanah air pada awal tahun 1931, Tabrani memimpin majalah mingguan berbahasa Indonesia, Revue Politik di Jakarta. Ia juga turut mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI).

Pria yang pernah menjabat ketua Persatuan Djurnalistik Indonesia (PERDI) tahun 1933 hingga 1940 itu kemudian memimpin harian umum Pemandangan dan majalah mingguan bergambar Pembangun. Dalam Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia disebut Tabrani melalui Pemandangan ikut memperjuangkan Petisi Sutardjo (1936) yang berisi tuntutan kepada pemerintah Hindia Belanda agar Indonesia diberi kesempatan membentuk parlemen sendiri.

Baca juga: Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton

Pada masa pendudukan Jepang, Tabrani diperbantukan pada Djawa Hoko Kai (Himpunan Kebaktian) dan Djawa Shinbun Kai (Gabungan Persuratkabaran di Jawa). Ia pernah ditahan di Sukamiskin, Bandung selama satu tahun karena dianggap menentang pemerintah Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Tabrani menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu, anggota PNI ini juga menjadi pegawai tinggi Kementerian Penerangan Dalam Negeri dalam urusan peranakan dan bangsa asing, serta menjadi anggota perancang Panitia Pers dan Undang-Undang Pers.

Di samping aktivitasnya dalam pergerakan kemerdekaan dan jurnalistik, Tabrani memiliki perhatian terhadap pendidikan rakyat. Ia sempat memimpin perguruan nasional Sekolah Kita di Pamekasan, Madura pada 1930-an. Lembaga pendikan itu tak hanya mengajarkan pengetahuan umum, tetapi juga ilmu jurnalistik, bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, serta stenografi hingga ilmu dagang. Biaya yang dibebankan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat dan tidak membebankan uang masuk.

Menjelang usia ke-75 tahun, Tabrani yang pernah menjabat ketua Persatuan Eksportir dan Importir Nasional dan wakil ketua Majelis Industri Indonesia itu memutuskan undur diri dari segala kegiatan. Meski begitu kadang kala ia menulis di media massa dan memberikan ceramah. Kondisi kesehatan yang menurun membuatnya dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Ia tutup usia pada 12 Januari 1984.*

TAG

pahlawan nasional

ARTIKEL TERKAIT

Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar