Masuk Daftar
My Getplus

Bataha Santiago Digantung Akibat Lawan VOC

Selain orang Sangihe pertama, dia juga raja Katolik Indonesia pertama yang menjadi Pahlawan Nasional. Ini karena dia gigih melawan Belanda.

Oleh: Petrik Matanasi | 09 Nov 2023
Patung Bataha Santiago di Pulau Miangas. (www.djkn.kemenkeu.go.id/wikipedia.org)

BUKU pelajaran sejarah Indonesia hanya menyebut kerajaan-kerajaan Budha, Hindu, atau Islam saja. Kerajaan-kerajaan Kristen tak pernah ada dalam buku pelajaran. Maka jangan heran jika nama Bataha Santiago tak dikenal oleh banyak orang.

Dari sedikit yang mengenalnya, ada Angkatan Darat (AD). Matra dalam TNI itu mengabadikan nama Bataha Santiago sebagai nama Komando Resort Militer (KOREM) yang membawahi daerah di provinsi Sulawesi Utara, yakni Korem 131/Santiago yang berpusat di kota Manado. Selain itu, nama Santiago juga menjadi nama desa di Sangihe.

“Ia bernama Bataha yang dibaptis dalam agama Katolik dengan nama Santiago,” tulis JP Tooy dkk dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara.

Advertising
Advertising

Bataha Santiago, yang juga dikenal sebagai Don Sint Jagow dan Don Santiago, adalah raja Manganitu. Kini, Manganitu adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, sekira 200 km ke utara dari Manado. Buku Sejarah Daerah Sulawesi Utara  menyebut, kerajaan ini pernah berkuasa dari Pendarehokang sampai Tanjung Lembuwas dan kemudian oleh Datuk Kulano Makalupa diberi wilayah dari Paderehokang ke selatan sampai Tanjung Lelapide. Pusat kekuasaannya di Kauhis. Raja pertamanya Tolosang, lalu Rompoliu (kadang disebut Tompoliu), dan setelahnya baru Bataha Santiago berkuasa.

Baca juga: Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton

Kala itu Spanyol sudah berkuasa di Filipina. Di kawasan sekitar Filipina dan Sangihe itu  ajaran Katolik yang ikut dibawa orang Spanyol mulai dikembangkan sekitar tahun 1600-an. Dalam Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, Alex John Ulaen menyebut raja Manganitu itu bersahabat dengan Spanyol.

“Dia sudah terikat dengan Spanyol,” terang Alex Ulean kepada Historia.

Keterikatan itu bukan dengan politisi sipil atau pemimpin militer Spanyol di Filipina, melainkan dengan agamawan Spanyol. Ayahnya mengizinkan gereja berdiri di Manganitu. Hubungan dengan agamawan Katolik dari Spanyol membuat Bataha disekolahkan ke Manila. Namun tidak jelas ilmu apa yang dipelajari Bataha di Manila.

Sebagai kerajaan merdeka, Manganitu lebih dekat dengan Spanyol yang Katolik. Belanda yang Protestan waktu itu pengaruhnya belum mencapai Manganitu. Maskapai dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) baru menjajagi Mangunitu sejak masa pemerintahan Tompoliu. Dialah raja pertama yang menolak kedatangan kapal-kapal VOC di Manganitu. Sikap tersebut lalu diteruskan Bataha Santiago.

“Raja Bataha Santiago ini memerintah pada tahun 1670-1675. Selama masa pemerintahannya, ia tetap melanjutkan politik ayahnya dalam menghadapi masuknya pengaruh Belanda di Manganitu (Sangihe Besar) ,” catat JP Tooy dkk.

Baca juga: Sultan Baabullah, Pahlawan Nasional dari Ternate

Penolakan Belanda oleh Kerajaan Manganitu itu merupakan respon terhadap keegoisan VOC lewat kontrak yang ditawarkannya. Kontrak yang diinginkan VOC sendiri berisi: semua tanaman cengkeh harus ditebangi, tidak boleh ada agama lain selain agama Kristen Protestan, dan semua alat kebudayaan harus dibakar.

VOC ingin memonopoli cengkeh di Indonesia Timur. VOC ingin tanaman cengkeh di Manganitu tidak mengganggu bisnis cengkeh VOC. Agama Protestan sendiri adalah agama yang dianut mayoritas orang Belanda. Sedangkan membakar alat kebudayaan Manganitu berarti menghancurkan peradaban orang-orang Manganitu.

Penolakan Raja Bataha Santiago itu tentu saja ditanggapi VOC dengan perang. Pada 1675, Manganitu diserang tiga kali oleh armada VOC. Gubernur VOC untuk kawasan itu, Robertus Padtbrugge, mengawasi serangan.

 

Serangan itu membuat orang-orang Mangunitu bersiap. Tak hanya laki-laki, para perempuan pun rela turun berperang. Adik Bataha Santiago, Diamanti alias Don Carlos, dalam masa-masa gawat itu menjadi panglima perang orang-orang Manganitu. Diamanti dibantu adik laki-lakinya, Gaghinggihe, serta dua adik perempuannya: Apueng dan Sapela. Mereka membangun kubu pertahanan di Paghulu (kini desa Karatung) dan Batu Bahara. Mereka selalu memantau kapal-kapal asing dari Batu Bahara.

Baca juga: Maria Walanda Maramis, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara

Dua serangan pertama VOC bisa dipatahkan. Namun dalam serangan ketiga, Paghulu jatuh hingga perlawanan dipusatkan Raja Bataha Santiago di Batu Bahara. Armada VOC dengan kapal bermeriam dan senjata api lainnya tentu lebih modern daripada Kerajaan Manganitu. Batu Bahara juga akhirnya jatuh. Menurut Alex John Ulaen, puluhan orang Manganitu pengikut Bataha Santiago terbunuh ketika melawan armada VOC itu. Raja Bataha Santiago pun kemudian diajak berunding.

“Namun perundingan itu hanyalah siasat bagi Padtbrugge untuk dapat dengan mudah tanpa pengorbanan menangkap raja itu hidup-hidup. Setelah raja Raja Bataha Santiago ditangkap, ia segera dibawa ke Tahuna,” catat JP Tooy dkk.

Keteguhan Bataha Santiago yang terus bertekad melawan Belanda membuatnya dihukum gantung oleh VOC di Tanjung Tahuna. Desa tempatnya dihukum mati itu kemudian kemudian dinamai Santiago.*

TAG

sulawesi utara pahlawan nasional voc

ARTIKEL TERKAIT

Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia Susunan Pemerintahan VOC Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Awal Mula Meterai di Indonesia Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Ambisi van Goens Membangun Batavia Baru di Ceylon Kisah Dua Anak Gubernur Jenderal VOC yang Bermasalah